MAKALAH ULUMUL QUR’AN
“CARA TURUN DAN
PENYAMPAIAN WAHYU AL QUR’AN”
Disusun untuk memenuhi tugas Mata
Kuliah Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu :
Shobirin, S.Ag, M.Ag
Disusun
oleh :
Dian
Noviana Sari : 1420210044
ESRB-2
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
Program Studi
Ekonomi Syari’ah
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al Qur’an adalah
sumber inspirasi kehidupan umat manusia. Karena semua yang dibutuhkan oleh
manusia tersedia di dalamnya. Tinggal mau atau tidak kita mengambilnya dan
menggunakannya. Jika kita belum menemukan apa-apa di dalamnya, padahal kita
senantiasa membacanya, boleh jadi interaksi kita dengan Al Qur’an belum
sempurna, karena kita membacanya hanya sekedar membaca, tanpa melihat aspek
lain yang justru lebih penting.
Dalam mempelajari subbab ini, penulis membahas tentang wahyu yang terdengar sangat melekat dengan
Al-Qur’an. Dari mulai pengertian
wahyu, macam-macam wahyu, cara turun dan penyampaiannya, pelestarian wahyu
Al-Qur’an, hubungan akal dan wahyu Al-Qur’an, serta pendapat para ahli mengenai
proses pewahyuan Al-Qur’an. Untuk itu, makalah ini menyajikan
pendalaman materi tentang wahyu yang terdapat dalam Al-Qur’an.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan wahyu?
2.
Apa saja macam-macam wahyu itu?
3.
Bagaimana cara turun dan penyampaian wahyu Al-Qur’an?
4.
Bagaimana pelestarian wahyu Al-Qur’an?
5.
Apa hubungan akal dan wahyu Al-Qur’an?
6.
Bagaimana pendapat para ulama tentang proses pewahyuan Al-Qur’an?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wahyu
Wahyu menurut ilmu bahasa
ialah isyarat yang cepat dengan tangan dan sesuatu isyarat yang dilakukan bukan
dengan tangan. Wahyu menurut istilah ialah sebutan bagi sesuatu yang dituangkan
dengan cara cepat dari Allah e dalam dada Nabi-nabi-Nya sebagaimana
dipergunakan juga untuk lafadz Al Qur’an. Yang dimaksudkan dengan wahyu dalam
surat Asy-Syura (42) ayat 21 ialah sesuatu yang dibisikkan (di hujamkan) ke
dalam sukma.[1]
Al-Wahy (wahyu) adalah
kata mashdar (infinitif). Dia menunjuk pada dua pengertian dasar, yaitu;
tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu, dikatakan, “Wahyu ialah informasi secara
tersembutnyi dan cepat yang khusus ditujukan kepada orang tertentu tanpa
diketahui orang lain.”[2]
Secara etimologi
(kebahasaan) Pengertian wahyu meliputi :
- Ilham
al-fithri li al-insan (ilham yang menjadi fitrah
manusia). Seperti wahyu terhadap ibu Nabi Musa,
!$uZøym÷rr&ur
#n<Î)
ÏdQé&
#ÓyqãB
÷br&
ÏmÏèÅÊör&
( ÇÐÈ
dan
Kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah Dia,…” (Al-Qashash:7)
- Ilham yang
berupa naluri pada binatang, seperti wahyu kepada lebah,
4ym÷rr&ur
y7/u
n<Î)
È@øtª[$#
Èbr&
ÉϪB$#
z`ÏB
ÉA$t6Ågø:$#
$Y?qãç/
z`ÏBur
Ìyf¤±9$#
$£JÏBur
tbqä©Ì÷èt
ÇÏÑÈ
dan
Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di
pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia", (An-Nahl:68)
- Isyarat yang
cepat melalui isyarat, seperti isyarat Zakaria yang diceritakan Al Qur’an,
yltsmú
4n?tã
¾ÏmÏBöqs%
z`ÏB
É>#tósÏJø9$#
#Óyr÷rr'sù
öNÍkös9Î)
br&
(#qßsÎm7y
Zotõ3ç/
$|ϱtãur
ÇÊÊÈ
“Maka
ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka;
hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang.” (Maryam:11)
- Bisikan setan
untuk menghias yang buruk agar tampak indah dalam diri manusia.
¨bÎ)ur
úüÏÜ»u¤±9$#
tbqãmqãs9
#n<Î)
óOÎgͬ!$uÏ9÷rr&
öNä.qä9Ï»yfãÏ9
( ÇÊËÊÈ
“Sesungguhnya
perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu
membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu.”(Al-An’am:121)[3]
“dan
Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, Yaitu syaitan-syaitan
(dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada
sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu
(manusia).” (Al-An’am:112)
- Apa yang
disampaikan Allah kepada para malaikat-Nya berupa suatu perintah untuk
dikerjakan.
øÎ)
ÓÇrqã
y7/u
n<Î)
Ïps3Í´¯»n=yJø9$#
ÎoTr&
öNä3yètB
(#qçGÎm;sWsù
úïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
4 ÇÊËÈ
(ingatlah),
ketika Tuhanmu mewahyukan kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku bersama
kamu, Maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang telah beriman".
(Al-Anfal:12)
Ustadz Muhammad Abduh
mendefinisikan wahyu di dalam Risalah At-Tauhid sebagai “pengetahuan
yang didapati seseorang dari dalam dirinya sengan suatu keyakinan bahwa
pengetahuan itu dating dari Allah, baik dengan melalui perantaraan ataupun
tidak. Yang pertama melalui suara yang terjelma dalam telinganya atau bahkan
tanpa suara. Beda antara wahyu dengan ilham adalah bahwa ilham itu intuisi yang
diyakini oleh jiwa yang mendorong untuk mengikuti apa yang diminta, tanpa sadar
darimana datangnya. Hal seperti itu serupa dengan perasaan lapar, haus, sedih,
dan senang”.
B. Macam-Macam Wahyu
Menurut pendapat Muhammad
Abduh, ada tiga macam wahyu yaitu :
- Wahyu yang
ditujukan bersama kepada kaum khawas serta kaum awam, dan merupakan sebahagiaan
besar dari ayat-ayat Al-Qur’an.
- Wahyu yang
ditujukan hanya kepada kaum awam dan jumlahnya sedikit.
- Wahyu yang
ditujukan hanya kepada kaum khawas dan wahyu serupa inilah yang paling
sedikit jumlahnya.[4]
C. Cara Turun dan Penyampaian Wahyu
1. Mimpi.[5]
Aisyah Radhiyallahu Anha berkata, “Sesungguhnya apa yang mula-mula
terjadi pada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah mimpi yang
benar di dalam tidur. Beliau tidaklah melihat mimpi kecuali mimpi itu datang
bagaikan terangnya pagi hari.”[6]
2. Dihembuskan
ke dalam jiwa Nabi perkataan yang dimaksudkan. Mujahid dan kebanyakan ahli
tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan wahyu dalam Q.S Asy-Syura (42)
ayat 51 ialah Tuhan memasukkan wahyu yang dimaksudkan ke dalam jiwa Nabi.
3. Gerincingan
lonceng yang sangat keras. Martabat inilah yang paling berat diterima Nabi.[7]
Apabila Wahyu yang turun kepada Rasulullah dengan cara ini, biasanya beliau
mengumpulkan segala kekuatan dan kesadarannya untuk menerima, menghafal dan
memahaminya. Terkadang suara itu seperti kepakan sayap-sayap malaikat, seperti
diisyaratkan di dalam hadits,
“Apabila
Allah menghendaki suatu urusan di langit, maka para malaikat memukul-mukulkan
sayapnya karena tunduk kepada firman-Nya, bagaikan geemrincingnya mata rantai
di atas batu-batu yang licin.” (HR. Al-Bukhari)[8]
4. Malaikat
menyerupakan dirinya sebagai seorang lelaki. Jibril pernah datang kepada Nabi
dlam rupa Dihyah ibn Khalifah, seorang lelaki yang sangat elok rupanya.
5. Jibril
memperlihatkan dirinya kepada Nabi dalam rupanya yang asli yang mempunyai enam
ratus sayap.
6. Allah
berbicara dengan Nabi dari belakang hijab, baik Nabi dalam keadaan sadar (jaga)
seperti di malam Isra’ ataupun dalam tidur, seperti yang diriwayatkan oelh
At-Turmudzy dari Hadits mu’adz.
7. Israfil
turun membawa beberapa kalimat wahyu, sebelum Jibril datang membawa wahyu
Al-Qur’an.[9]
D.
Pelestarian
Wahyu Al-Qur’an
1.
Pelestarian Wahyu pada Masa Nabi saw
Pelestarian
Al-Qur'an Al-Quran sejak diturunkan pertama kali sudah dimintakan oleh Nabi saw
untuk ditulis kepada para Sahabat. Setiap ayat-ayat yang turun, yang banyak
disaksikan oleh para sahabat secara mutawatir, diperintah oleh Nabi saw untuk
ditulis. Banyak upaya yang dilakukan berkaitan dengan pelestarian Al-Quran, di
antaranya:
a.
Ditulis oleh para penulis wahyu seperti Abu
Bakar, Zaid bin Tsabit, Ali bin Abu Thalib, Usman bin
Affan, Ubai bin Kaab (mula-mula
menjadi juru tulis Nabi dari golongan Anshar. Beliau juga seorang yang banyak
menulis wahyu), Amir ibn Fuhairah (Amir menjadi
juru tulis surat-surat Nabi yang dikirimkan kepada beberapa orang raja untuk
mengajak mereka kepada Islam), Mu'awiyah bin Abi Sufyan, Yazid
(saudara Mu’awiyah), dan beberapa orang lainnya.;
b.
Dihafalkan oleh para sahabat dalam
berbagai kesempatan seperti di waktu salat, waktu temu bersama;
Para
sahabat yang menghafal Al-Qur’an sepenuhnya dari golongan Muhajirin adalah Abu
Bakar ash-Shiddiq, Umar ibn Al-Khaththab, Utsman ibn Affan, ali ibn Abi Thalib,
Thalhah, Sa’ad, Hudzaifah, Abdullah ibn Abbas, Amer ibn Ash, Abdullah ibn Amer
ibn Ash, Mu’awiyah, Ibnu Zubair, Abdullah ibn Assa’ib, Aisyah Ummu al-Mukminin,
Hafshah Ummu al-Mukminin (orang yang juga seorang ahli tulis pada masa itu)
serta Ummu Salamah Ummu al-Mukminin.
Dari
golongan Anshar adalah Ubay ibn Ka’ab, Muadz ibn Jabal, Zaid ibn Tsabit, Abu
Darda’, Abu Zaid, Majma’ ibn Jariyah (Haritsah) dan Anas ibn Malik.
Selain
itu terdapat lagi beberapa sahabat yaitu Ubadah ibn Shamit, Fudhalah ibn Ubaid,
Maslamah ibn Khalid, Qais Abi Sha’sha’ah, Tamim ad-Dary, Uqbah ibn Amir,
Salamah ibn Makhlad dan Abu Musa al-Asy’ary.[10]
c.
Malaikat mengecek Al-Quran sewaktu bulan
ramadhan
Di
antara sahabat yang terkenal sebagai guru yang mengajarkan al-Qur’an kepada
sesamanya dan kepada para tabi’in ialah Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib,
Ubay ibn Ka’ab, Zaid ibn Tsabit, Ibnu Mas’ud, Abu Darda’ dan Abu Musa
al-Asy’ary. Tujuh shahaby besar
inilah yang terkenal sebagai pengajar al-Qur’an di masa Nabi saw dan
sesudahnya.[11]
d.
Dijadikan sumber ajaran keagamaan yang
dikuatkan dengan hadis.
Tulisan-tulisan
juru tulis Rasul itu disimpan di rumah Rasul dan mereka menulis untuk diri
mereka masing-masing. Semua ahli ilmu menetapkan bahwa susunan ayat Al-Qur’an
disusun menurut susunan Rasul semata-mata, bukan menurut kemauan para juru
tulisnya.[12]
2.
Pelestarian Hadits
a.
Sekalipun ada larangan menulis hadis (terutama
yang di lembar yang satu dengan Al-Quran), tetapi Nabi saw dalam banyak
kesempatan menyuruh sahabat untuk menulis hadis seperti: untuk Abu Syah, untuk
menyurati sejumlah Raja agar menurutu seruan masuk agama Islam;
b.
Dihafalkan oleh para sahabat, selain juga
menghafalkan Al-Quran;
c.
Sahabat yang sadar bahwa larangan yang
diikuti dengan suruhan itu berati perbu- atan yang boleh dilakukan, menulis
hadis di dalam dokumen masing-masing, seperti Sahabat Abu Bakar, Amr bin Ash,
Ali bin Abi Thalib, dan Abu Hurairah;
d.
Dijadikan sumber ajaran keagamaan di
samping Al-Quran.
3.
Usaha Pelestarian Lanjutan
Setelah
masa Nabi saw, Al-Quran yang sudah tuntas ketentuannya dari Nabi saw, setahap
demi setahap difinalkan pelestariannya, hingga ia tuntas dibukukan dengan lengkap
sekaligus model mushafnya di masa Khalifah Utsman, yang terjaga dengan baik
hingga sekarang. Hal demikian beda dengan hadis. Hadis, tidak disuruh tulis
oleh Nabi saw. Namun, ia bersama Al-Quran dijadikan sumber ajaran keagamaan
untuk dilaksana kan di dalam kehidupan. Karenanya, baik terhadap Al-Quran
maupun terhadap hadis, sama dipegangi asumsi yang sama.
Para
ahli hadis berasumsi, "Ada kesepakatan batin umat untuk
menghadapitantangan sumber ajaran keagamaan, bahwa selain membu-kukan Al-Quran mereka juga
sepakat membukukan hadis pada waktu yang tidak sepaket dengan pembukuan
Al-Quran; mereka juga bertekad menyelesaikan persoalan kedua nash itu untuk
menghadapi tantangan kehidupan umat masa kemudian" (Erfan, Respons
Muhadditsun Menghadapi Kehidupan Umat, 2005:26).
Dengan
asumsi itu, baik Al-Quran maupun hadis, sama tetap dilestarikan oleh umat
sampai dibukukannya secara resmi. Hanya saja, Al-Quran jauh lebih cepat
selesainya dari hadis. Karena Al-Quran memang disengaja dari awal proses
penyelesaian pembukuannya, sementara hadis disusuli kemudian, terutama, setelah
disepakati untuk dibukukan secara resmi yang dilakukan secara bulat dan
bertahap sejak masa pemerintahan Khalifah Umar bin 'Abdul Aziz (99-101 H), dari
kalangan tabiin.
Pelestarian
wahyu Al-Quran dan hadis dilakukan sejak masa Nabi Muhammad saw, yang
dilanjutkan ke masa-masa sesudahnya. Keduanya, tetap dalam upaya pelestarian
sehingga selesai dibukukan secara resmi. Al-Quran selesai dibukukan pada masa
Sahabat Utsman, sedang hadis yang bermula sejak masa Tabiin, selesai juga
dibukukan pada beberapa sesudahnya.
E. Hubungan akal dengan wahyu Al-Qur’an
Dalam Islam, akal memiliki posisi yang sangat mulia.
Meski demikian bukan berarti akal diberi kebebasan tanpa batas dalam memahami
agama. Islam memiliki aturan untuk menempatkan akal sebagaimana mestinya.
Bagaimanapun, akal yang sehat akan selalu cocok dengan syariat Islam dalam
permasalahan apapun. Dan wahyu baik berupa Al-qur’an dan Hadits bersumber dari
Allah SWT, pribadi Nabi Muhammad SAW yang menyampaikan wahyu ini, memainkan
peranan yang sangat penting dalam turunnya wahyu. Wahyu merupakan perintah
yang berlaku umum atas seluruh umat manusia, tanpa mengenal ruang dan waktu,
baik perintah itu disampaikan dalam bentuk umum atau khusus. Apa yang dibawa
oleh wahyu tidak ada yang bertentangan dengan akal, bahkan ia sejalan dengan
prinsip-prinsip akal. Wahyu itu merupakan satu kesatuan yang lengkap, tidak
terpisah-pisah. Wahyu itu menegakkan hukum menurut kategori perbuatan manusia
baik perintah maupun larangan. Sesungguhnya wahyu yang berupa Al-qur’an dan
As-sunnah turun secara berangsur-angsur dalam rentang waktu yang cukup panjang.
Akal mempunyai daya yang kuat. Akal dapat mengetahui
adanya Tuhan dan kehidupan di dunia. Akal dapat sampai ke pengetahuan yang
lebih tinggi. Menurut pendapat Muhammad Abduh, manusia melalui akalnya dapat
mengetahui bahwa berterimakasih kepada Tuhan adalah wajib, bahwa kebajikan
adalah dasar kebahagiaan dan kejahatan adalah dasa kesengsaraan di akhirat.[13]
Muhammad Abduh juga berpendapat, betul manusia diberi
akal, tetapi akal tidak sanggup untuk mengetahui rahasia-rahasia hidup di
akhirat. Manusia memerlukan satu petunjuk lain di samping intuisi dan akal.
Petunjuk itu turun dari Tuhan dalam bentuk wahyu yang disampaikan kepada rasul-rasul.
Tuhan memilih dari kalangan manusia sendiri yang telah dianugerahi sifat-sifat
khusus dan mukjizat yang menimbulkan keyakinan dalam diri orang. Mereka datang
untuk meluruskan pemikiran akal.[14]
Rasul kita, Muhammad saw bukanlah Rasul pertama yang
diberi wahyu. Allah telah memberikan juga wahyu kepada rasul-rasul sebelum itu
sepeti yang diwahyukan kepadanya:
!$¯RÎ)
!$uZøym÷rr&
y7øs9Î)
!$yJx.
!$uZøym÷rr&
4n<Î)
8yqçR
z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur
.`ÏB
¾ÍnÏ÷èt/
4 !$uZøym÷rr&ur
#n<Î)
zOÏdºtö/Î)
@Ïè»yJóÎ)ur
t,»ysóÎ)ur
z>qà)÷ètur
ÅÞ$t6óF{$#ur
4Ó|¤Ïãur
z>qr&ur
}§çRqãur
tbrã»ydur
z`»uKøn=ßur
4 $oY÷s?#uäur
y¼ãr#y
#Yqç/y
ÇÊÏÌÈ Wxßâur
ôs%
öNßg»oYóÁ|Ás%
øn=tã
`ÏB
ã@ö6s%
Wxßâur
öN©9
öNßgóÁÝÁø)tR
øn=tã
4 zN¯=x.ur
ª!$#
4ÓyqãB
$VJÎ=ò6s?
ÇÊÏÍÈ
“Sesungguhnya Kami telah menyampaikan wahyu
kepadamu seperti Kami telah menyampaikan wahyu keapda Nuh dan nabi-nabi yang
kemudiannya, dan Kami telah menyampaikan wahyu pula kepada Ibrahim, Ismail,
Ishak, Ya’kub dan anak cucunya, Isa, Ayub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan kami
berikan Zabur kepada Daud. Dan kami telah mengutus rasul-rasul yang sungguh
telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak
Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa
dengan langsung.” (an-Nisa’[4]:163-164).[15]
Di tempat lain Muhammad Abduh jelaskan bahwa wahyu
datang untuk menolong dan meyakinkan akal bahwa apa yang diketahuinya melalui
usahanya sendiri tentang wujud Tuhan, sifat-sifat-Nya dan sebagainya adalah benar.
Wahyu datang untuk memperkuat pengetahuan itu dan bukan untuk membawa
pengetahuan baru. Umpamanya, mengetahui adanya Tuhan adalah baik dan wahyu
datang memperkuat kenyataan ini.[16]
Antara wahyu dan akal tidak selalu mendukung, karena seiring
perkembangan zaman akal yang semestinya mempercayai wahyu adalah sebuah
anugerah dari Allah terhadap orang yang terpilih, terkadang mempertanyakan
keaslian wahyu tersebut. Apakah wahyu itu benar dari Allah ataukah hanya
pemikiran seseorang yang beranggapan semua itu wahyu. Seperti pendapat Abu
Jabbar bahwa akal tak dapat mengetahui bahwa upah untuk suatu perbuatan baik
lebih besar dari pada upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik lain,
demikian pula akal tak mengetahui bahwa hukuman untuk suatu perbuatan buruk
lebih besar dari hukuman untuk suatu perbuatan buruk yang lain. Semua itu hanya
dapat diketahui dengan perantaraan wahyu. Al-Jubbai berkata wahyulah yang
menjelaskan perincian hukuman dan upah yang akan diperoleh manusia di akhirat.
Karena masalah akal dan wahyu dalam pemikiran kalam sering
dibicarakan dalam konteks, yang manakah diantara kedua akal dan wahyu itu yang
menjadi sumber pengetahuan manusia tentang Tuhan, tentang kewajiban manusia
berterima kasih kepada Tuhan, tentang apa yang baik dan yang buruk, serta
tentang kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk.
Al-Qur’an berbicara kepada akal manusia dan bukan
hanya kepada perasaannya. Akal dimuliakan Allah dengan menunjukkan perintah dan
larangan-Nya di dalam akal. Nabi juga berbicara kepada akal dan membuat akal
menjadi hakim antara apa yang bernar dan apa yang salah.
Keharusan manusia mempergunakan akalnya, bukanlah
hanya ilham yang terdapat dalam dirinya, tetapi juga merupakan ajaran
Al-Qur’an. Kitab suci Al-Qur’an memerintahkan kita untuk berpikir dan
mempergunakan akal serta melarang kita memakai sikap taklid. Al-Qur’an tidak
semata-mata memberi perintah-perintah, tetapi mendorong manusia berpikir. Ayat
menyebut sifat-sifat Tuhan, tetapi manusia tidak diminta percaya begitu saja. Argumen
dibawa untuk memperkuat apa yang disebut oleh ayat.[17]
F. Pendapat Para Ulama tentang Proses Pewahyuan Al-Qur’an
Di dalam al-Qur’anul karim terdapat nas mengenai kalam
Allah kepada para malaikatnya:
øÎ) ÓÇrqã y7/u n<Î) Ïps3Í´¯»n=yJø9$# ÎoTr& öNä3yètB (#qçGÎm;sWsù úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä 4ÇÊËÈ
"Ingatlah ketika tuhanmu mewahyukan
kepada malaikat: ‘Sesungguhnya Aku bersama kamu, teguhkan pendirian orang-orang
yang beriman’ “ (al anfal [8]:12)
Nas-nas diatas dengan tegas menunjukkan bahwa Allah berbicara
kepada para malaikat tanpa perantaraan dan dengan pembicaraan yang dipahami
oleh para malaikat itu.
Telah nyata
pula bahwa Alquran telah dituliskan di lauhil mahfuz,
ö@t/ uqèd ×b#uäöè% ÓÅg¤C ÇËÊÈ Îû 8yöqs9 ¤âqàÿøt¤C ÇËËÈ
“Bahkan ia adalah Quran yang mulia yang
tersimpan di lauhil mahfuz”(al buruj[85]:21-22)
Para ulama berpendapat mengenai cara turunnya wahyu
Allah berupa Al-Qur’an kepada Jibril dengan beberapa pendapat :
a.
Bahwa
Jibril menerimanya secara pendengaran dari Allah dengan
lafalnya
yang khusus
b.
Bahwa
Jibril menghafalnya dari lauhul mahfuz
c.
Bahwa
maknanya disampaikan kepada Jibril, sedang lafalnya adalah
lafal Jibril, atau lafal Muhammad SAW
Pendapat pertama itulah yang benar, dan pendapat itu
yang dijadikan pegangan oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah, serta diperkuat oleh
hadits Nawas bin Sam’an .
Menisbahkan Al-Qur’an kepada Allah itu terdapat dalam
beberapa ayat :
y7¯RÎ)ur ¤)n=çGs9 c#uäöà)ø9$# `ÏB ÷bà$©! AOÅ3ym AOÎ=tæ ÇÏÈ
“Sesungguhnya
kamu benar-benar diberi Al-Qur’an dari Allah yang Mahabijaksana dan Maha
Mengetahui”. (an-Naml [27]:6).
#sÎ)ur
4n?÷Gè?
óOÎgøn=tæ
$uZè?$t#uä
;M»oYÉit/
tA$s%
úïÏ%©!$#
w tbqã_öt
$tRuä!$s)Ï9
ÏMø$#
Ab#uäöà)Î/
Îöxî
!#x»yd
÷rr&
ã&ø!Ïdt/
4 ö@è%
$tB
Ücqä3t
þÍ<
÷br&
¼ã&s!Ïdt/é&
`ÏB
Ç!$s)ù=Ï?
ûÓŤøÿtR
( ÷bÎ)
ßìÎ7¨?r&
wÎ)
$tB
#Óyrqã
n<Î)
( þÎoTÎ)
ß$%s{r&
÷bÎ)
àMø|Átã
În1u
z>#xtã
BQöqt
5OÏàtã
ÇÊÎÈ
“Dan apabila
dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak
mengharap pertemuan dengan Kami berkata: ‘Datangkanlah Qur’an yang lain dari
ini atau gantilah ia’, Katakanlah: ‘Tidaklah patut bagiku untuk menggantikannya
dai pihak diriku sendiri. Akau tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan
kepadaku...’” (Yunus [10]:15).
Qur’an adalah kalam Allah dengan lafalnya, bukan kalam
Jibril atau kalam Muhammad. Sedang pendapat kedua di atas itu tidak dapat
dijadikan pegangan, sebab adanya Qur’an di lauhul mahfuz itu seperti hal-hal
ghaib yang lain, termasuk Qur’an.
Dan pendapat ketiga lebih sesuai dengan hadits, sebab
hadits itu wahyu dari Allah kepada Jibril, kemudian kepada Muhammad SAW secara
maknawi saja. Lalu hal itu diungkapkan dengan ungkapan beliau sendiri.
$tBur ß,ÏÜZt Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd wÎ) ÖÓórur 4Óyrqã ÇÍÈ
“Dia (Muhammad)
tidaklah berbicara menurut kemauan hawa nafsunya. Apa yang diucapkannya itu
tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya”. (an-Najm [53]:3-4).
Dan oleh sebab itulah diperbolehkan meriwayatkan
hadits menurut maknanya, sedang Qur’an tidak.[18]
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Wahyu ialah informasi secara tersembunyi dan cepat
yang khusus ditujukan kepada orang tertentu tanpa diketahui orang lain.
Macam-macam wahyu yaitu, wahyu yang ditujukan bersama kepada kaum khawas serta
kaum awam, dan merupakan sebagiaan besar dari ayat-ayat Al-Qur’an, wahyu yang
ditujukan hanya kepada kaum awam dan jumlahnya sedikit, dan wahyu yang
ditujukan hanya kepada kaum khawas dan wahyu serupa inilah yang paling sedikit
jumlahnya. Cara turun dan penyampaian wahyu Al-Qur’an ialah mimpi, dihembuskan
ke dalam jiwa Nabi perkataan yang dimaksudkan, gerincingan lonceng yang sangat
keras, malaikat menyerupakan dirinya sebagai seorang lelaki, Jibril
memperlihatkan dirinya kepada Nabi dalam rupanya yang asli yang mempunyai enam
ratus sayap, dan lain-lain.
Antara akal dan wahyu
tidak bisa ada pertentangan. Pelestarian Al-Qur’an dengan cara Ditulis oleh para penulis wahyu, dihafalkan oleh para sahabat
dalam berbagai kesempatan seperti di waktu salat, waktu temu bersama, malaikat
mengecek Al-Quran sewaktu bulan ramadhan, dijadikan sumber ajaran keagamaan
yang dikuatkan dengan hadits. Ada juga pelestarian hadits dan usaha pelestarian
lanjutan. Para ulama berpendapat mengenai cara turunnya wahyu Allah
berupa Al-Qur’an kepada Jibril dengan cara : bahwa Jibril menerimanya secara
pendengaran dari Allah dengan lafalnya yang khusus, bahwa Jibril menghafalnya
dari lauhul mahfuz, bahwa maknanya disampaikan kepada Jibril, sedang lafalnya
adalah lafal Jibril, atau lafal Muhammad SAW.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Al Qur’an Tafsir, (Jakarta:
Erlangga, 1998)
2.
Syaikh
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2006)
3.
Abdul
Djalal, Ulumul Qur’an, (Surabaya:
Dunia Ilmu, 2012)
4.
Harun
Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1987)
[3] Ibid, hlm 37
[4] Harun Nasution, Muhammad Abduh
dan Teologi Rasional Mu’tazilah, hlm 37
[11] Teungku M.Hasbi Ash-Shiddieqy, Op.cit, hlm.60
[12] Ibid, hlm.59-60
[13] Harun Nasution, Muhammad Abduh dan teologi rasional Mu’tazillah,
hlm.33-34
[15] Manna’ Khalil al-Qattan, Op.cit, hlm.35-36
[16] Harun Nasution, Op.cit, hlm.38
[18] Manna’ Khalil al-Qattan, Op.cit, hlm.42-43
No comments:
Post a Comment