Makalah
PEREKONOMIAN PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Sejarah Ekonomi Islam
Dosen Pengampu : Amirus Shodiq, Lc., M.A.
Disusun Oleh :
Nika Kusbianti 1420210042
Awaliyatu Khoirunnisa 1420210056
Eva Zuliana 1420210068
Salamatun Nasikha 1420210078
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
PRODI EKONOMI SYARI’AH
TAHUN 2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Setelah
wafatnya Rasulullah SAW, pemerintahan diteruskan oleh Khulafaur Rasyidin yaitu
khalifah-khalifah yang diberi petunjuk dan dipilih sebagai kepala Negara dan
pemerintahan sekaligus sebagai pemimpin umat Islam. Sahabat Rasulullah SAW yang
menjadi Khulafaur Rasyidin ada empat orang, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin
Khatab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Masa
Khulafaur Rasyidin yang lamanya tidak lebih dari tiga puluh tahun, dimulai
sejak tahun 11-41 H/632-661 M. Keempat
khalifah ini meneruskan perjuangan Rasulullah SAW dengan cara dan gaya yang
berbeda-beda. Mengenai kebijakan di bidang ekonominya pun, keempat khalifah ini
memiliki langkah yang berbeda pula. Pada masa Khulafaur Rasyidin ini, sistem
ekonomi yang telah terbentuk berkembang lebih jauh dan
menemukan bentuk yang ideal. Tidak sekedar teori, namun sudah berimplikasi
besar terhadap pengembangan Islam.
Oleh
sebab itu, makalah ini akan membahas mengenai bagaimana para Khulafaur Rasyidin
menerapkan sistem ekonomin dalam masa pemerintahan masing-masing yaitu sistem
ekonomi masa Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, dan Ali
bin Abi Thalib. Tujuannya supaya para pembaca dapat mengidentifikasi apa saja
hal yang menjadikan sistem ekonomi pada masa ini dapat berkembang begitu pesat.
Selain itu, dapat pula menjadi salah satu acuan untuk mengembangkan sistem
ekonomi pada masa sekarang.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
Perekonomian pada Masa Abu Bakar As-shiddiq ?
2.
Bagaimana
Perekonomian pada Masa Umar bin Khattab ?
3.
Bagaimana
Perekonomian pada Masa Utsman bin Affan ?
4.
Bagaimana
Perekonomian pada Masa Ali bin Abi Thalib ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Perekonomian pada
Masa Abu Bakar As-shiddiq
Setelah
Rasulullah saw wafat, Abu Bakar As-Shiddiq yang bernama lengkap Abdullah ibn
Abu Quhafah Al-Tamimi terpilih sebagai khalifah yang pertama. Ia merupakan
pemimpin agama sekaligus kepala negara kaum muslimin. Selama masa
pemerintahannya Abu Bakar banyak menghadapi persoalan dalam negeri yang berasal
dari kelompok murtad, nabi palsu, dan orang-orang yang menolak membayar zakat
kepada negara. Berdasarkan hasil musyawarah
dengan para sahabat yang lain, ia memutuskan untuk memerangi kelompok tersebut
melalui apa yang disebut sebagai perang Riddah (perang melawan kemurtadan).
Setelah berhasil menyelesaikan urusan dalam negeri, Abu Bakar mulai melakukan
ekspansi ke wilayah utara untuk menghadapi pasukan Romawi dan Persia yang
selalu mengancam kedudukan umat Islam. Namun, ia meninggal dunia sebelum usaha
ini selesai dilakukan.[1]
Sebelum
menjadi khalifah, Abu Bakar tinggal di
Sikh yang terletak di pinggir kota Madina tempat Baitul Mal dibangun. Abu
Ubaida ditunjuk sebagai penanggungjawab Baitul Mal. Setelah 6 bulan, Abu Bakar
pindah ke Madinah dan bersamaan dengan itu sebuah rumah dibangun untuk baitul
mal. Sistem pendistribuan yang lama tetap dilanjutkan sehingga pada saat wafatnya
hanya satu dirham yang yang tersisa dalam pembendaharaan keuangan.
Sewaktu
memberikan sambutan selaku khalifah terpilih, Abu Bakar menunjukkan rasa
tanggungjawabnya terhadap rakyat. Dikisahkan bahwa ia mengatakan “Hai rakyatku,
awasilah agar aku menjalankan pemerintahan dengan hati-hati. Aku bukan yang
terbaik diantara kalin, aku membutuhkan semua nasehat dan bantuan kalian. Jika
aku benar dukunglah aku, jika aku salah tegurlah aku. Mengatakan yang benar
pada orang yang ditunjuk untuk memerintah merupakan kesetiaan yang tulus,
menyembunyikan adalah pengkhianatan. Menurut pandanganku, yang kuat dan yang
lemah adalah sama, kepada keduanya aku ingin berbuat adil. Bila aku taat kepada
Allah dan Rasul-Nya, taatlah kepadaku, jika aku mengabaikan hukum Allah dan
Rasul-Nya aku tidak lagi berhak untuk kalian taati”
Menurut
Siti Aisyah, ketika Abu Bakar terpilih beliau berkata “umatku telah mengetahui
yang sebenarnya bahwa hasil perdagangan saya tidak mencukupi kebutuhan
keluarga, tapi sekarang saya dipekerjakan untuk mengurus kaum muslimin”[2]
sejak menjadi khalifah, kebutuhan keluarga Abu Bakar diurus dengan menggunakan
harta baitul mal. Menurut beberapa
keterangan, ia diperbolehkan untuk mengambil dua setengah atau tiga per empat dirham setiap harinya dari baitul mal dengan
tambahan makanan berupa daging domba dan pakaian biasa, setelah berjalan
beberapa waktu, ternyata tunjangan tersebut kurang mencukupi. Oleh karena itu,
tunjangan Abu Bakar ditambah menjadi 2000 atau 2500 dirham, menurut riwayat
lain 6000 dirham per tahun.
Namun
demikian, beberapa waktu menjelang ajalnya, abu Bakar banyak menemui kesulitan
dalam mengumpulkan pendapatan negara sehingga ia menanyakan berapa banyak upah
atau gaji yang telah diterimanya. Ketika diberitahukan bahwa jumlah tunjangannya
sebesar 8000 dirham, ia langsung memerintahkan untuk menjual sebagian besar
tanah yang dimilikinya dan seluruh hasil penjualannya diberikan kepada negara.
Di samping itu, Abu Bakar juga menanyakan lebih jauh mengenai berapa banyak
fasilitas yang telah dinikmatinya selama menjadi khalifah. Ketika diberitahu fasilitas yang diberikan
kepadanya berupa seorang budak yang bertugas memelihara anak-anaknya dan
membersihkan pedang-pedang milik kaum muslimin, seekor unta pembawa air dan
sehelai pakaian biasa, ia segera menginstruksikan untuk mengalihkan semua
fasilitas tersebut kepada pemimpin berikutnya nanti. Pada saat diangkat sebagai
khalifah dan mengetahui hal ini, Umar berkata “Wahai abu bakar, engkau telah
membuat tugas penggantimu ini menjadi sangat sulit”.
Dalam
usahanya meningkatkan kesejahteraan umat islam, Khalifah Abu Bakar melaksanakan
berbagai kebijaksanaan ekonomi seperti yang telah dipraktekkan Rasulullah saw.
Ia sangat memperhatikan keakuratan perhitungan zakat, sehingga tidak terjadi
kelebihan atau kekurangan pembayarannya. Dalam hal ini, Abu Bakar pernah
berkata pada Anas, “Jika seseorang mempunyai kewajiban untuk mambayar zakat
berupa seekor unta betina berumur 1 tahun tetapi dia tidak mempunyainya lalu
menawarkan seekor unta betina berumur 2 tahun, maka hal yang demikian dapat
diterima dan petugaz zakat akan mengembalikan pada orang tersebut 20 dirham
atau dua ekor domba sebagai pengganti kelebihan dari pembayaran zakatnya”.
Dalam kesempatan yang lain Abu Bakar juga pernah berkata “Kekayaan orang yang
berbeda tidak dapat digabung atau kekayaan yang telah digabung tidak dapat
dipisahkan (karena dikhawatirkan akan terjadi kelebihan atau kekurangan
pembayaran zakat)”. Hasil pengumpulan zakat tersebut dijadikan sebagai
pendapatan negara dan disimpan dalam baitul mal untuk langsung didistribusikan
seluruhnya kepada kaum muslim hingga tidak ada yang tersisa.
Abu
Bakar As-shiddiq juga melaksanakan kebijakan pembagian tanah hasil taklukan,
sebagian diberikan kepada kaum muslimin dan sebagian tetap menjadi tanggungan
negara. Disamping itu, ia juga mengambil alih tanah-tanah dari orang yang
murtad untuk kemudian dimanfaatkan demi kepentingan umat Islam secara
keseluruhan.
Sedangkan
dalam mendistribusikan harta Baitul Mal tersebut, Abu Bakar menerapkan prinsip
kesamarataan, yakni memberikan jumlah yang sama kepada semua sahabat Rasulullah
saw. Dan tidak membeda-bedakan antara sahabat yang terlebih dahulu memeluk
Islam dengan sahabat yang kemudian, antara hamba dengan orang merdeka, dan
antara pria dengan wanita. Menurutrutnya, dalam hal keutamaan beriman, Allah
swt yang akan memeberikan ganjarannya, sedangkan dalam masalah kebutuhan hidup,
prinsip kesamaan lebih baik daripada prinsip keutamaan.
Dengan
demikian, selama masa pemerintaha Abu Bakar As-Shiddiq, harta baitul mal tidak
pernah menumpuk dalam jangka waktu yang lama karena langsung disistribusikan
kepada seluruh kaum muslimin, bahkan ketika Abu bakar As-Shiddiq wafat hanya
ditemukan satu dirham dalam pembendaharaan negara. Seluruh kaum muslimin diberikan
bagian yang sama dari hasil pendapatan negara. Apabila pendapatan meningkat,
seluruh kaum muslimin mendapat manfaat yang sama dan tidak ada seorangpun yang
dibiarkan dalam kemiskinan. Kebijakan tersebut berimplikasi pada peningkatan
aggregate demand dan aggregate supply yang pada akhirnya akan menaikkan total
pendapatan nasional, disamping memeperkecil jurang pemisah antara orang-orang
yang kaya dengan yang miskin.[3]
Abu
Bakar meninggal pada 13 Hijrah atau 13 Agustus 634 Masehi dalam usia 63 tahun,
dan kekhalifahannya berlangsung selama dua tahun tiga bulan sebelas hari.
Jenazah Abu Bakar dikubur disamping Rasulullah saw.[4]
Dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan umat islam,
khalifah Abu bakar as shidiq melaksanakan berbagai kebijakan ekonomi seperti yang
telah di praktikan oleh Rasulullah :
1. Perhatian yang besar terhadap keakuratan penghitungan
zakat
2. Melaksanakan kebijakan pembagian tanah hasil taklukan
3. Mengambil alih tanah-tanah dari orang murtad untuk
dimanfaatkan demi kepentingan umat Islam
4. Distribusi harta Baitul Mal menerapkan prinsip
kesamarataan, dengan begitu selama pemerintahan Abu bakar As Shidiq harta di
Baitul mal tidak pernah menumpuk dalam jangka waktu lama karena langsung di
distribusikan kepada kaum muslim.
B.
Perekonomian pada
Masa Umar bin Khattab
Untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan
dan perpecahan di kalangan umat Islam, Abu Bakar As-shiddiq bermusyawarah
dengan para pemuka sahabat tentang calon penggantinya. Berdasarkan hasil
musyawarah tersebut, ia menunjuk Umar bin Khattab sebagai khalifah Islam yang
kedua. Setelah diangkat sebagai
khalifah, Umar bin Khattab memperkenalkan isltilah Amir al-Mu’minin (komandan
orang-orang yang beriman).
Pada masa pemerintahnnya yang berlangsung selama
sepuluh tahun, Umar bin Khattab banyak melakukan ekspansi hingga wilayah Islam
meliputi Jazirah Arab, sebagian wilayah kerajaan Romawi (Syiria, Palestina dan
Mesir), serta seluruh wilayah kerajaan Persia, termasuk Irak. Atas
keberhasilannya tersebut, orang-orang barat menjuluki Umar bin Khattab sebagai the saint paul of Islam.[5]
1.
Pendirian baitul mal
Kontribusi terbesar Umar bin Khattab adala
membentuk perangkat administrasi yang baik untuk menjalankan roda pemerintahan
yang besar. Ie mendirikan institusi administrasi yang hamper tidak mungkin dilakukan
pada abad ketujuh sesudah masehi. Pada tahun 16 Hijriah, Abu Hurairah, Amil
Bahrain mengunjungi Madinah dan membawa 500.000 dirham kharaj. Itu adalah jumlah yang besar sehingga khalifah
mengadakan pertemuan dengan majlis syura untuk menanyai pendapat mereka dan
kemudian diputuskan bersama bahwa jumlah tersebut tidak untuk didistribusikan
melainkan untuk disimpan sebagai cadangan darurat membiayai angkatan perang dan
kebutuhan lainnya untuk umat. Untuk menimpan dana tersebut, baitul mal yang
regular dan permanen didirikan untuk pertama kalinya di ibukota kemudian
dibangun cabang-cabang dan di ibukota propinsi. Abdulah bin Arqam ditunjuk
sebagai pengurus Baitul mal besama asistennya. Setelah menaklukan Syiria Sawad
dan Mesir, penghasilan baitul mal meningkat, kharaj dan sawad mencapai
seratus juta dinar, dari mesir dua juta dinar.
Bersamaan dengan reorganisasi baitul mal, Umar
mendirikan Diwan Islam yang terman yang disebut al-divan. Sebenarnya al-divan
adalah sebuah kantor yang ditujukan untuk membayar tunjangan-tunjangan angkatan
perang dan pension serta tunjangan lainnya dalam basis yang regular dan tepat.
Khalifah Umar juga menunjukan sebuah komite yang terdiri dari nassab ternama untuk membuat
laporan sensus penduduk Madinah sesuai dengan tingkat kepentingan dan kelasnya.
Laporan tersebut disusun an dengan urutan sebagai berikut: pertama, orang-rang yang mempunnyai hubungan dengan Nabi;kedua, mereka yang ikut dalam perang
badar dan uhud; ketiga, imigran ke
Abyssinia dan Madinah; keempat,
mereka yang bertarung dalam qadisiyyah atau yang hadir dalam sumpah hudaibiyah.
Pengeluaran tunjangan tiap tahun berbeda-beda
jumlahnya sebagaimana dapat dilihat dalam table berikut ini :
NO
|
PENERIMA
|
JUMLAH
|
1
|
Hazrat Aisyah dan Abbas (paman nabi)
|
12.000 dirham
|
2
|
Istri-istri Nabi selain Aisyah
|
10.000 dirham
|
3
|
Hazrat Ali, Hasan, Hussain dan pejuang-pejuang
badar
|
4.000
dirham
|
4
|
Bekas pejuang-pejuang uhud dan migrant ke
Abbyssinia
|
5.000
dirham
|
5
|
Muhajir dan muhajirat sebelum kemenangan mekkah
|
3.000
dirham
|
6
|
Putra-putra bekas penjuang badar. Mereka yang
memeluk Islam ketika ditaklukan, anak dari muhajirin dan Anshar. Mereka yang
ikut dalam perang qadisiyya, ubaila dan mereka yang hadir dalam sumpah
hudaibiyyah
|
2.000
dirham
|
Orang-orang Mekah diberi tunjangan 800 dirham,
warga Madinah 25 dinar, muslim di Yaman, Syiria dan Iraq 200 sampai 3000
dirham, anak yang baru hair dan yang tidak diakui masing-masing 100 dirham.
Tambahan pension untuk kaum muslim adalah gandum, minyak, madu dan cuka dalam
jumlah yang tetap.
2.
Kepemilikan tanah
Sepanjang pemerintahan Umar, banyak daerah yang
ditaklukan memlalui perjanjian damai, penaklukan ini memunculkan banyak masalah
baru. Pertanyaannya adalah bagaimana mengumumkan kebihakan Negara tentang
kepemilikan tanah yang ditaklukan.
Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut Umar bin
Khattab menerapkan beberapa peraturan-peraturan sebagai berikut :
a.
Wilayah Iraq yang ditaklukan dengan kekuatan, menjadi milik muslim dan
kepemilikan ini tidak dapat diganggu gugat, sedangkan bagian yang berbeda di
bawah perjanjian damai tetap dimiliki oleh pemilik sebelumnya dan kepemilikan
tersebut dapat dialihkan.
b.
Kharaj dibebankan pada semua tanah yang berada ddi bawah kategori
pertama, meskipun pemilik tersebut kemudian memeluk agama islam. Dengan demikian
tanah seperti itu tidak dapat dikonversikan menjadi tanah Ushr.
c.
Bekas pemilik tanah diberi hak kepemilikan, sepanjang mereka membayar
kharaj dan jizya.
d.
Sisa tanah yang tidak ditempati atau ditanami (tanah mati ) atau tanah
yang diklaim kembali (seperti basra) bila ditanami oleh muslim diperlakukan
sebagai tanah Ushr.
e.
Di sawad, kharaj dibebankan sebesar satu dirham gandum fan barley (jenis
gandum), dengan anggapan tanah tersebut dapat dilalui air. Harga yang lebih
tinggi dikenakan kepada ratbah (renpah atau cengkeh) dan perkebunan,
f.
Perjanjian damaskus (Syria) menetapkan pembayaran tunai, pembagian tanah
dengan muslim. Beban per kepala sebesar satu dinar.[6]
3.
Zakat
Kegiatan berternak dan memperdagangkan kuda
dilakukan secara besar-besaran di Syria dan di berbagai wilayah kekuasaan Islam
lainnya. Beberapa kuda mempunyai nilai jual yang tinggi, bahkan pernah
diriwayatkan bahwa seekor kuda arab taghlabi diperkirakan bernilai 20.000
dirham dan orang-orang Islam terlibat dalam perdagangan ini. Kemudian mereka mengusulkan
kepada khalifah agar ditetapkan kawajiban zakat, tetapi permintaan tersebut
tidak dikabulkan. Kemudian gubernur menulis surat kepada khalifah dan khalifah
Umar menanggapinya dengan sebuah intruksi agar gubernur menarik zakat dari
mereka dan mendistribusikannya kepada para fakir miskin serta budak-budak.
Sejak itu, kuda ditetapkan sebesar satu dinar atau satu dirham untuk setiap
empat puluh dirham.[7]
4.
Ushr
Sebelum Islam datang, setiap
suku atau kelompok yang tinggal di pedesaan biasa membayar pajak (‘ush) jual-beli (maqs). Besarnya adalah sepuluh persen
dari nilai barang
atau satu dirham untuk setiap transaksi. Namun, setelah Islam hadir dan menjadi sebuah
negara yang berdaulat di Semenanjung Arab, Nabi mengambil inisiatif untuk
mendorong usaha perdagangan dengan menghapus bea masuk antar provinsi yang
masuk dalam wilayah kekuasaan dan masuk dalam perjanjian yang ditandatangani
olehnya bersama dengan suku-suku yang tunduk kepada kekuasaannya. Secara jelas dikatakan bahwa
pembebanan sepersepuluh hasil pertanian kepada pedagang manbij (Hierapolis)
dikatakan sebagai yang pertama dalam masa Umar.
5.
Sedekah non muslim
Tidak ada ahli kitab yang
membayar sedekah atas ternaknya kecuali orang Kristen Bani Taghlib yang keseluruhan kekayaannya
terdiri dari hewan ternak. Mereka membayar dua kali lipat dari yang dibayar kaum
Muslimin. Umar mengenakan jizyah kepada ahli kitab Bani Taghlib , tetapi mereka
terlalu gengsi sehingga menolak membayar jizyah dan malah membayar sedekah. Nu'man ibn Zuhra
memberikan alasan untuk kasus mereka dengan mengatakan bahwa pada dasarnya
tidak bijaksana memperlakukan mereka seperti musuh dan seharusnya keberanian
mereka menjadi aset negara. Umar
menerima sedekah 2 kali lipat dengan syarat mereka tidak boleh membaptis
seorang anak atau memaksanya
menerima kepercayaan mereka. [8]
6.
Mata uang
Pada masa Nabi dan sepanjang masa pemerintahan
khulafaur rasyidin, koin mata uang dengan berbagai bobot telah dikenalkan di
jazirah Arab, seperti dinar, sebuah koin emas dan dirham, sebagai koin perak.[9]
7.
Klasifikasi dan alokasi pendapatan Negara
Pada periode awal Islam, kebijakan pemerintah yang
berkaitan dengan pendapatan Negara adalah mendistribusikan semua pendapatan
yang diterima. Kebijakan tersebut berubah pada masa Umar. Pada saat itu
pendapatan meningkat tajam dan baitul mal didirikan secara permanen di pusaat
kota dan ibukota provinsi.
Pendapatan yang diteria di baitul mal terbagi dalam
empaat bagian sebagai berikut :
a.
Pendapatan yang diperoleh dari zakat dan ushr yang dikenakan terhadap
muslim. Pendapatan ini umunya didistribusikan dalam tingkat lokal jiak
kelebihan penerimaan sudah disimpan di baitul mal pusat dan sudah dibagikan ke
delapan kelompok yang disebutkan secara jelas di dalam Alquran.
b.
Pendapatan yang diperoleh dari khums dan shadaqah. Pendapat ini di
bagikan kepada fakir miskin untuk membiayai kegiatan mereka dala mencari
kesejahteraan tanpa diskriminasi.
c.
Pendapatan yang diperoleh dari kharaj, fay, jizya, ushr dan sewa tetap
tahunan tanah-tanah yang diberikan. Pendapatan jenis ini digunakan untuk
membayar dana pensiun serta menutupi pengeluaran operasional administrasi,
kebutuhan militer.
d.
Berbagai macam pendapatan yang diterima dari semua macam sumber. Pada
bagian pendapatan yang keepat ini dikeluarkan untuk para perkerja, pemeliharaan
anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya.[10]
8.
Pengeluaran
Di antara alokasi pengeluaran dari harta baitul mal
tersebut, dana pensiun merupakan pengeluaran Negara yang paling penting.
Prioritas berikutnya adalah dana pertahanan Negara dan dana pembangunan.
Dana ini juga meliputi uaph yang dibayarkan kepada
para pegawai sipil.
Seperti halnya yang dilakukan oleh Rasulullah SAW,
khalifah Umar menetapkan bahwa Negara bertanggung jawab membayarkan atau
melunasi utang orang-orang yang menderita jatuh miskin, membayar terbusan para
tahanan muslim serta membayar biaya perjalanan para delegasi dan tukar menukar
hadiah dengan Negara lain.[11]
C.
Perekonomian pada
Masa Utsman bin Affan
Usman
bin Affan atau Usman bin Affan bin Abi AL-As bin Umayah bin Umawy Al-Qurasyi,
dipanggil Abu Abdullah dan bergelar Zu Al-Nurain (pemilik dua cahaya), karena
mengawini dua putri Rasulullah SAW, Ruqayah dan Ummu Kulsum. Usman bin Affan
dilahirkan di Mekah.[12]
Usman
bin Affan adalah seorang yang jujur dan saleh, tetapi sangat tua dan lemah lembut.
Dia adalah salah seorang dari beberapa orang terkaya di antara sahabat Nabi.
Berbeda
halnya dengan Abu Bakar As-Shiddiq dalam menentukan calon penggantinya,
khalifah Umar ibn Al-Khattab membentuk sebuah tim tim yang terdiri dari enam
orang sahabat, yaitu Ustman bin Affan,Ali bin Abi Thalib,Thalhah,Zubair bin
Al-Awwam,Sa’ad bin Abi Waqqas dan Abdurrahman bin Auf. Ia meminta kepada tim
tersebut untuk memilih salah seorang di antara mereka sebagai penggantinya.
Setelah Umar bin Al Khattab wafat, tim ini melakukan musyawarah dan berhasil
menunjuk Utsman bin Affan sebagai Khalifah Islam ketiga setelah melalui
persaingan ketat dengan Ali bin Abi Thalib.
Pada
masa pemerintahannya yang berlangsung selama 12 tahun. Khalifah Usman bin Affan
berhasil melakukan ekspansi ke wilayah Armenia, Cyprus, Rhodes dan bagian yang
tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan. Ia juga berhasil menumpas
pemberontakan di daerah Khurasan dan Iskandariyah.[13]
Pada
enam tahun pertama kepemimpinannya, Balkh, Kabul, Ghazni, Kerman dan Sistan
ditaklukkan. Untuk menata pendapatan baru, kebijakan Umar diikuti. Tidak lam
setelah Negara-negara tersebut ditaklukkan, kemudian tindakan efektif
diterapkan dalam rangka pengembangan sumber daya alam. Aliran air digali, jalan
dibangun, pohon buah-buahan ditanam dan keamanan perdagangan diberikan dengan
cara pembentukan organisasi kepolisian tetap.
Di
Mesir ketika angkatan laut Byzantinum memasuki Mesir, kaum muslim diawal
perintah Usman mampu mengerahkan dua ratus kapal dan memenangkan peperangan laut
yang hebat. Demikian kaum muslimin membangun supremasi kelautan di wilayah
Mediteriania. Laodicea dan wilayah semenanjung Syria, Tripoli, dan Barca di
Afrika Utara menjadi pelabuhan pertama Negara Islam. Sementara itu biaya
pemeliharaan angkatan laut sangat tinggi yang semuanya menjadi bagian dari
beban pertahanan di periode ini.[14]
Khalifah
Usman bin Affan tidak mengambil upah kantornya. Sebaliknya dia meringankan
beban Negara. Hal ini menimbulkan kesalahpahaman antara khalifah dan Abdul bin
Arqam, salah seorang sahabat Nabi yang terkemuka yang berwenang melaksanakan
kegiatan Baitul Mal. Konflik ini tidak hanya menolak untuk menerima upah (
sebagai pelayan kaum muslimin untuk kepentingan Allah SWT ), tetapi juga
menolak hadir dalam pertemuan publik yang dihadiri khalifah.
Dilaporkan
bahwa untuk mengamankan zakat dari gangguan dan masalah dalam pemeriksaaan
kekayaan yang tidak jelas oleh bebebrapa pengumpul yang nakal, Usman
mendelagasikan kewenangan kepada pemilik untuk menaksir kepemilikannya sendiri.
Dalam hubungannya dengan zakat dalam sambutan Ramadhan biasanya dia mengatakan,
“ Lihat bulan pembayaran zakat telah tiba. Barang siapa memiliki properti dan
utang, biarkan dia untuk mengurangi dari apa yang dia miliki, apa yang dia
utang dan membayar zakat untuk properti yang masih tersisa.”
Tabir
menyebutkan ketika menjadi khalifah, Usman menaikkan pensiunan sebesar seratus
dirham, tetapi tidak ada rinciannya. Dia juga menambah santunan dengan pakaian.
Selain itu ia memperkenalkan kebiasaan membagikan makanan di masjid untuk
orang-orang menderita, pengembara dan orang miskin.
Untuk
meningkatkan pengeluaran pertahanan dan perlautan, meningkatkan dana pension,
dan pembangunan berbagai wilayah taklukan baru, Negara membutuhkan dana
tambahan. Oleh, karena itu khalifah Usman bin Affan membuat beberapa perubahan
administrasi tingkat atas dan mengganti Gubernur. Ada dialog yang sangat
terkenal dalam sejarah antara Usman dan Amr berkaitan dengan strukturalisasi
ini. “kharaj dan jizya yang ditingkatkan Amr dari Mesir berjumlah satu juta
dinar, tetapi dinaikkan oleh Abdullah bin Sa’ad menjadi empat juta. Ketika
Usman menegur ucapan Amr, ‘setelah unta perahan anda menghasilkan susu lebih.’
Amr membalas, ‘ hal ini karena dia menguruskan yang muda.”
Lahan
luas yang dimiliki keluarga kerajaan Persia diambil alih oleh Umar, tetapi dia
menyimpannya sebagai lahan Negara yang tidak dibagi-bagi. Sementara itu Usman
membaginya kepada individu-individu untuk reklamasi dan untuk kontribusi
sebagai bagian yang diprosesnya kepada baitul maal. Dilaporkan bahwa lahan ini
pada masa Umar menghasilkan Sembilan juta dirham, tetapi pada masa Usman ketika
lahan telah dibagikan kepada individu-individu. Penerimaannya meningkat menjadi
lima puluh juta. Pada periode selanjutnya dia juga mengizinkan menukar lahan
tersebut dengan lahan yang berada di Hijaz dan Yaman, sementara kebajikan Umar
tidak demikian.
Meskipun
tidak ada pengendalian harga, khalifah sebelumnya tidak menyerahkan harga
konsumen ke tangan pengusaha. Umar berusaha untuk tetap mendapatkan informasi
tentang situasi harga bahkan informasi harga barang yang sulit dijangkaunya.
Sementara Usman biasanya mendiskusikannya pada waktu jamaah berkumpul (mungkin
pada salat jum’at). Dalam pemerintahan Usman komposisi kelas sosial di dalam
masyarakat berubah demikian cepat sehingga semakin sulit menengahi berbagai
kepentingan yang ada. Di saat itu muncul empat kelompok masyarakat; suku
Quraysh Mekah, Kaum Anshor, Suku Arab pengembara dan penduduk Negara-negara
yang ditaklukkan. Semua kelompok ini bersaing satu dengan yang lain untuk
memperoleh kekuasaan dan kontrol yang lebih besar atas kekayaan materi.
Pada
saat berbagai utusan dari Kufah, Basrah, dan Mesir datang menemui Usman untuk
mendesak khalifah agar memecat para gubernurnya yang notabennya adalah
kerabat-kerabat sendiri, tetapi Usman menolak. Mereka kemudian mengepung rumah
Usman dan menuntut pengunduran diri, Usman juga menolak. Pengepungan terus
berjalan sampai beberapa hari. Sebagian di antara mereka memaksa masuk ke dalam
rumah untuk kemudian membunuhnya. Ini terjadi pada bulan Dzulhijjah 35 H atau
17 juni 656 M, pada waktu berumur 82 tahun dan kekhalifahannya berlangsung
selama 12 tahun kurang 12 hari. Jenazahnya dimakamkan di Baqi’ waktu malam
hari.
D.
Perekonomian pada
Masa Ali bin Abi Thalib
Ali
bin Abi Thalib yang kunniyatnya adalah Abul Hasan dilahirkan pada tahun Gajah
ke-13. Ali keponakan Rasulullah saw dan dari suku Bani Hasyim , yang dipercaya
menjadi penjaga tempat suci ka’bah. Ali menikah dengan putri Rasulullah Fatimah
az-Zahra dikaruniai dua putra Hasan dan Husein.Setelah diangkat sebagai
khalifah Islam keempat oleh segenap kaum Muslimin, Ali ibn Abi Thalib langsung
mengambil beberapa tindakan, seperti memberhentikan para pejabat yang korupsi,
membuka kembali lahan perkebunan yang telah diberikan kepada orang-orang
kesayangan ustman, dan mendistribusikan pendapat pajak tahunan sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan Umar ibn Al-Khattab.[15]
Masa
pemerintahan Khalifah Ali ibn Abi Thalib yang hanya berlangsung selama enam
tahun selalu diwarnai dengan ketidakstabilan kehidupan politik. Ia harus
menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair ibn Al-Awwam, dan Aisyah yang menuntut
kematian Ustman ibn Affan. Berbagai kebijakan tegas yang diterapkannya
menimbulkan api permusuhan dengan keluarga Bani Umayyah yang dimotori oleh
Muawiyah ibn Abi Sofyan. Pemberontakan juga datang dari golongan Khawarij,
mantan pendukung Khalifah Ali ibn Abi Thalib yang kecewa terhadap keputusan
tahkim pada perang Shiffin.
Sekalipun
demikian, Khalifah Ali ibn Abi Thalib tetap beruaha untuk melaksanakan berbagai
kebijakan yang dapat mendorong peningkatan kesejahteraan umat islam. Menurut
sebuah riwayat, ia secara sukarela menarik diri dari daftar penerima dana
bantuan Baitul Mal, bahkan menurut riwayat yang lain , Ali memberikan sumbangan
sebesar 5000 dirham setiap tahun. Apapun faktanya, kehidupan Ali sangat
sederhana dan sangat ketat dalam membelanjakan keuangan negara. Dalam sebuah
riwayat, saudaranya yang bernama Aqil pernah menandatangani Khalifah Ali bin
Abi Thalib untuk meminta bantuan keuangan dari dana Baitul Mal. Namun, Ali
menolak permintaan tersebut. Dalam riwayat yang lain, Khalifah Ali diberitakan
pernah memenjarakan Gubernur Ray yang dianggapnya telah melakukan tindak pidana
korupsi.
Selama
masa Pemerintahanya , Khalifah Ali ib Abi Thalib menetapkan pajak terhadap para
pemilik hutan sebesar 4000 diham dan mengizinkan Ibnu Abbas, Gubernur Kuffah,
memungut zakat terhadap sayuran segar yang akan digunakan sebagai bumbu
masakan.
Seperti
yang telah disinggung , Ali tidak menghadiri pertemuan Majelis Syuro di Jabiya
yang diadakan oleh khalifah umar untuk memusyawarahkan beberapa hal penting
yang berkaitan dengan status tanah-tanah taklukan. Pertemuan itu menyepakati
untuk tidak mendistribusikan seluruh pendapatan Baitul Mal, tetapi menyimpan
sebagian sebagai cadangan. Ali menolak seluruh hasil pertemuan tersebut. Oleh
karena itu, ketika menjabat sebagai khalifah , Ali mendistribusikan seluruh
pendapat dan provisi yang ada di Baitul Mal Madinah, Basrah dan Kufah. Ali
ingin mendistribusikan harta Baitul Mal yang ada di Sawad, namun urung dilaksanakan demi menghindari
terjadinya perselisihan diantara kaum muslimin.
Pada
masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib , prinsip utama dari pemerataan distribusi
uang rakyat telah diperkenalkan. Sistem distribusi setiap pekan sekali untuk
pertama kalinya diadopsi. Hari kamis adalah hari pendistribusian atau hari
pembayaran. Pada hari itu, semua penghitungan diselesaikan dan pada hari sabtu
dimulai penghitungan baru. Cara ini mungkin solusi yang terbaik dari sudut
pandang hukum dan kondisi negara yang sedang berada dalam masa-masa transisi.
Khalifah Ali meningkatkan tunjangan bagi para pengikutnya di Irak.
Pada
masa Khalifah Ali bin Abi Thalib, alokasi pengeluaran kurang lebih masa tetap
sama sebagaimana halnya pada masa pemerintahan Khalifah Umar. Pengeluaran untuk
angkatan laut yang ditambah jumlahnya pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan
hampir seluruhnya dihilangkan karena sepanjang garis pantai Syria, Palestina,
dan Mesir berada dibawah kekuasaan muawiyah. Namun demikian, dengan adanya
penjaga malam dan patroli yang telah terbentuk sejak masa pemerintahan Khalifah
Umar, Ali membentuk polisi yang terorganisasi
secara resmi yang disebut syurthah dan pemimpinnya diberi gelar Shahibus
Syurthah. Fungsi lainnya dari Baitul Mal masih tetap sama dan tidak ada
perkembangan aktivitas yang berarti pada masa ini.
Khalifah
Ali memiliki konsep yang jelas tentang pemerintahan, administrasi umum dan
masalah-masalah yang berkaitan dengannya. Konsep ini dijelaskan dalam suratnya
yang terkenal yang ditujukan kepada Malik Asther bin Harits. Surat yang panjang
tersebut antara lain mendeskripsikan tugas , kewajiban serta tanggung jawab
para penguasa dalam mengatur berbagai prioritas pelaksanaan dispensasi keadilan
serta pengawasan terhadap para pejabat tinggi dan staf-stafnya, menjelaskan
kelebihan dan kekurangan para jaksa, hakim, dan abdi hukum lainnya, menguraikan
pendapat pegawai administrasi dan pengadaan bendahara. Surat ini menjelaskan
bagaimana berhubungan dengan masyarakat sipil , lembaga peradilan dan angkatan perang. Ali menekankan Malik
agar lebih memerhatikan kesejahteraan para prajurit dan keluarga mereka dan
diharapkan berkomunikasi langsung dengan masyarakat melalui pertemuan terbuka,
terutama dengan orang-orang miskin, orang-orang yang teraniaya dan para
penyandang cacat. Dalam surat tersebut, juga terdapat instruksi untuk melawan
korupsi dan penindasan, mengontrol pasar, dan memberantas para tukang catut
laba, penimbun barang dan pasar gelap. Singkatnya, surat itu menggambarkan
kebijakan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang ternyata konsep-konsepnya tersebut
dikutip secara luas dalam administrasi publik.[16]
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
B.
saran
DAFTAR
PUSTAKA
[1] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Edisi Ketiga,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), hlm.54-55
[3]Adiwarman Azwar Karim, Op.Cit., hlm. 56-58
[4] Heri Sudarsono, Op.Cit., hlm.117
[8]http://PELAKSANAAN%20SISTEM%20EKONOMI%20PADA%20MASA%20PEMERINTAHAN%20NABI%20MUHAMMAD%20DAN%20KHULAFAUR%20RASYIDIN.html diakses pada tanggal 19 september 2015 pada pukul
06.37 WIB.
[10]Adiwarman
Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam, The International Institute of Islamic Thought (IIIT), Jakarta,
2002, hal 53.
No comments:
Post a Comment