BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perekonomian Islam sebagai sebuah struktur baru dimulai pada
periode Madinah dan relatif masih sederhana dengan komitmen yang tinggi
terhadap etika dan norma, serta perhatiannyayang besar terhadap keadilan dan
pemerataan kekayaan dengan kegiatan perekonomian didominasi perdagangan dan
kegiatan lainnya seperti bertani, beternak dan berkebun. Kegiatan ekonomi pasar
relatif menonjol pada masa itu, dimana untuk mejaga agar mekanisme pasar tetap
berada dalam bingkai etika dan moralitas islam Rosulullah mendirikan Al Hisbah
sebagai sebuah institusi yang bertugas sebagai pengawas pasar (Market
Controller). Rosulullah juga membentuk Baitul Maal, sebuah institusi yang
bertindak sebagai pengelola keuangan Negara. Dimana Baitul Maal ini memegang
peranan yang sangat penting bagi perekonomian, termasuk dalam menentukan
kebijakan yang bertujuan untuk untuk kesejahteraan masyarakat. Rasulullah
SAW. Mengawali pembangunan Madinah tanpa
sumber keuangan yang pasti, sementara distribusi kekayaan pada saat itu masih
sangat timpang. Kaum Muhajirin tidak memiliki kekayaan karena mereka
meninggalkan seluruh hartanya di Mekkah. Oleh karena itu Rosulullah
mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshor sehingga dengan sendirinya
terjadi redistribusi kekayaan. Selanjutnya untuk memutar roda perekonomian,
Rosulullah mendorong kerjasama diantara anggota masyarakat (misalnya muzaraah,
mudharabah, musaqah dan lain-lain) sehingga terjadi peningkatan produktivitas.
Namun, sejalan dengan perkembangan masyarakat Muslim, maka sumber penerimaan
Negara juga menigkat. Sumber pemasukan Negara berasal dari beberapa
sumber,tetapi yang paling pokok adalah Zakat dan Ushr.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
Sejarah Peradaban Ekonomi Islam Klasik ?
2.
Bagaimana
Sistem Ekonomi yang diterapakan oleh Rasullah SAW di Kota Madinah ?
3.
Bagaimana
Sumber-Sumber Penerimaan Negara Pada Masa Islam Klasik?
4.
Bagaimana Sumber-Sumber Pengeluaran Negara?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Peradaban Ekonomi Islam Klasik
Sebelum
Islam datang, situasi kota Yatsrib sangat tidak menentu karena tidak mempunyai
pemimpin yang berdaulat secara penuh. Hukum dan pemerintahan di kota ini tidak
pernah berdiri dengan tegak dan masyarakat dengan senantiasa hidup dalam
ketidakpastian. Aus dan Khazraj yang merupakan dua kabilah terbesar di kota
Yatsrib senantiasa terlibat dalam pertikaian untuk memperebutkan kekuasaan.
Mereka juga berjanji akan selalu menjaga keselamatan diri Nabi dan para
pengikutnya serta ikut memelihara dan mengembangkan ajaran Islam.
Atas kedua bai‘at tersebut dan setelah mendapat perintah
Allah Swt serta melihat fakta bahwa Islam mengalami tantangan dan rintangan
yang sangat berat dari kaum kafir Quraisy selama 13 tahun sejak wahyu pertama
diturunkan, Nabi Muhammad Saw berhijrah dari kota Makkah ke kota Yatsrib. Sesuai dengan perjanjian, di kota
yang bertanah subur ini, Rasulullah Saw disambut dengan hangat serta diangkat
sebagai pemimpin penduduk kota Yatsrib. Sejak saat itu, kota Yatsrib berubah
nama menjadi kota Madinah.
Berbeda
halnya dengan kota Makkah, Islam menjadi kekuatan politik pada periode Madinah.
Dalam jangka waktu yang relatif singkat, Rasulullah Saw telah menjadi pemimpin
sebuah komunitas kecil yang jumlahnya terus meningkat dari waktu ke waktu.
Rasulullah pun menjadi pemimpin bangsa Madinah. Ajaran Islam yang berkenaan
dengan kehidupan masyarakat (mu’amalah) banyak turun di kota ini. Dengan
demikian, pada periode Madinah, Nabi Muhammad Saw mempunyai kedudukan sebagai
kepala negara di samping pemimpin agama. Dengan kata lain, dalam diri Nabi
Muhammad Saw terkumpul 2 power sekaligus, power spritual dan power kenegaraan.
Setelah
diangkat sebagai kepala negara, Rasulullah Saw segera melakukan perubahan
drastis dalam menata kehidupan masyarakat Madinah. Hal utama yang dilakukan
Rasulullah Saw adalah membangun sebuah kehidupan sosial, baik di lingkungan
keluarga, masyarakat, institusi, maupun pemerintahan, yang bersih dari berbagai
tradisi, ritual, dan norma yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Seluruh aspek kehidupan masyarakat disusun berdasarkan nilai-nilai Qur’ani,
seperti persaudaraan, persamaan, kebebasan dan keadilan
Madinah
merupakan negara yang baru terbentuk yang tidak memiliki harta warisan sedikit
pun. Hal ini merupakan implikasi nyata dari kehidupan masyarakat Madinah di
masa lalu yang selalu dihiasi oleh berbagai peperangan antar suku yang tidak
pernah berhenti, hingga Islam hadir di tengah-tengah mereka. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa kondisi masyarakat Madinah masih sangat tidak menentu dan
memprihatinkan yang mengindikasikan bahwa negara tidak dapat dimobilisasi dalam
waktu dekat. Oleh karena itu, Rasulullah harus memikirkan jalan untuk mengubah
keadaan secara perlahan-lahan dengan mengatasi berbagai masalah utama tanpa
tergantung pada faktor keuangan. Dalam hal ini, strategi yang dilakukan oleh
Rasulullah adalah dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
- Membangun
Masjid
Setibanya di kota Madinah, tugas pertama
yang dilakukan oleh Rasulullah Saw adalah mendirikan mesjid yang merupakan asas
utama dan terpenting dalam pembentukan masyarakat Muslim. Rasulullah menyadari
bahwa komitmen terhadap sistem, akidah, dan tatanan Islam baru akan tumbuh dan
berkembang dari kehidupan sosial yang dijiwai oleh semangat yang lahir dari
aktivitas mesjid. Di tempat ini, kaum Muslimin akan sering bertemu dan
berkomunikasi, sehingga tali ukhuwwah dan mahabbah semakin
terjalin kuat dan kokoh.
Selain
menjadi tempat ibadah, mesjid yang kemudian hari dikenal sebagai Mesjid Nabawi
ini juga berfungsi sebagai Islamic Centre. Seluruh aktivitas kaum
Muslimin dipusatkan di tempat ini mulai dari tempat pertemuan para anggota
parlemen, sekretariat negara, mahkamah agung, markas besar tentara, pusat
pendidikan dan pelatihan para juru dakwah, hingga bait al-māl. Dengan
fungsi mesjid yang sedemikian beragam tersebut, Rasulullah Saw berhasil
menghindari pengeluaran yang terlalu besar untuk pembangunan infrastruktur bagi
Negara Madinah yang baru terbentuk.
- Merehabilitasi
Kaum Muhajirin.
Setelah mendirikan mesjid, tugas berikutnya
yang dilakukan oleh Rasulullah Saw adalah memperbaiki tingkat sosial dan
ekonomi kaum Muhajirin. Kaum Muslimin yang melakukan hijrah pada masa ini
berjumlah sekitar 150 keluarga, baik yang sudah tiba di Madinah mau pun yang
masih dalam perjalanan, dan berada dalam kondisi yang memprihatinkan karena
hanya membawa sedikit perbekalan.
Di kota
Madinah, sumber mata pencaharian mereka hanya bergantung pada bidang pertanian
dan pemerintah belum mempunyai kemampuan untuk memberikan bantuan keuangan
kepada mereka. Menerapkan kebijakan yang sangat arif dan bijaksana, yakni
dengan cara menanamkan tali persaudaraan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar.
Dalam hal ini, Rasulullah Saw membuat suatu bentuk persaudaraan baru, yakni
persaudaraan berdasarkan agama, menggantikan persaudaraan berdasarkan darah.
- Membuat
Konstitusi Negara.
Setelah mendirikan mesjid dan mempersaudarakan
kaum Muhajirin dengan kaum Anshar, tugas berikutnya yang dilakukan Rasulullah
Saw adalah menyusun Konstitusi Negara yang menyatakan tentang kedaulatan
Madinah sebagai sebuah negara. Dalam konstitusi Negara Madinah ini, pemerintah
menegaskan tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab setiap warga negara, baik
Muslim maupun Non-Muslim, serta sistem pertahanan dan keamanan negara. Sesuai
dengan prinsip-prinsip Islam, setiap orang dilarang melakukan berbagai
aktivitas yang dapat mengganggu stabilitas kehidupan manusia dan alam.
d. Meletakkan Dasar-Dasar Sistem
Keuangan Negara.
Setelah melakukan berbagai upaya stabilisasi di
bidang sosial, politik serta pertahanan dan keamanan negara, Rasulullah
meletakkan dasar-dasar sistem keuangan negara sesuai dengan ketentuan-ketentuan
Al-Qur’an. Seluruh paradigma berpikir di bidang ekonomi serta aplikasinya dalam
kehidupan sehari-hari yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dihapus dan
digantikan dengan paradigma baru yang sesuai dengan nilai-nilai Qur’ani, yakni persaudaraan,
persamaan, kebebasan dan keadilan.
B.
Sistem
Ekonomi yang diterapakan oleh Rasullah SAW di Kota Madinah
Madinah
merupakan negara yang baru terbentuk dengan kemampuan daya mobilitas yang
sangat rendah dari sisi ekonomi. Oleh karena itu, peletakan dasar-dasar sistem
keuangan negara yang dilakukan oleh Rasulullah Saw merupakan langkah yang
sangat signifikan, sekaligus brilian dan spektakuler pada masa itu, sehingga
Islam sebagai sebuah agama dan negara berkembang dengan pesat dalam jangka
waktu yang relatif singkat.
Sistem ekonomi yang diterapkan oleh
Rasulullah Saw berakar dari prinsip-prinsip Qur’ani. Al-Qur’an yang merupakan
sumber utama ajaran Islam telah menetapkan berbagai aturan sebagai petunjuk
bagi umat manusia dalam melakuktan aktivitas di setiap aspek kehidupannya,
termasuk di bidang ekonomi. Prinsip Islam yang paling mendasar adalah kekuasaan
tertinggi hanya milik Allah semata dan manusia diciptakan sebagai khalifah-Nya
di muka bumi. Hal ini merupakan suatu anugerah, rahmat serta kasih sayang Allah
Swt yang sangat besar terhadap umat manusia.
Dalam rangka mengemban amanah
sebagai khalifah-Nya, manusia diberi kebebasan untuk mencari nafkah sesuai
dengan hukum yang berlaku serta dengan cara yang adil. Islam tidak membatasi
kepemilikan pribadi, alat-alat produksi, barang dagangan atau pun perdagangan,
tetapi hanya melarang perolehan kekayaan melalui cara-cara yang ilegal atau
tidak bermoral.
Allah Swt telah
menetapkan melalui sunnah-Nya bahwa jenis pekerjaan atau usaha apa pun yang
dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip Qur’ani tidak akan pernah menjadikan
seseorang kaya raya dalam jangka waktu yang singkat. Oleh karena itu, setiap
aktivitas ekonomi yang dapat mendatangkan uang dalam jangka waktu yang singkat,
seperti perjudian, penimbunan kekayaan, penyelundupan, pasar gelap, spekulasi,
korupsi, bunga dan riba, bukan saja tidak sesuai dengan hukum alam dan
dilarang, tapi juga para pelakunya layak dihukum.
Berdasarkan
pandangannya yang paling prinsip tentang status manusia di muka bumi, Islam dengan
tegas dan keras melarang segala bentuk praktek ribawi atau bunga uang. Berbagai
pemikiran yang menyatakan bahwa pendapatan yang diperoleh dengan cara-cara
ribawi adalah sah, jelas merupakan pendapat yang keliru dan menyesatkan karena
praktek-praktek ribawi merupakan bentuk eksploitasi yang nyata. Islam melarang
eksploitasi dalam bentuk apa pun, apakah itu dilakukan oleh orang-orang kaya
terhadap orang-orang miskin, oleh penjual terhadap pembeli, oleh majikan
terhadap budaknya, oleh laki-laki terhadap wanita, atau oleh atasan terhadap
bawahannya.
Dari pemaparan di atas, dapat
disimpulkan beberapa prinsip pokok tentang kebijakan ekonomi Islam yang
dijelaskan Al-Qur’an sebagai berikut:
- Allah
Swt adalah penguasa tertinggi sekaligus pemilik absolut seluruh alam
semesta.
- Manusia
hanyalah khalifah Allah Swt di muka bumi, bukan pemilik yang
sebenarnya.
- Semua
yang dimiliki dan didapatkan manusia adalah atas rahmat Allah Swt. Oleh
karena itu, manusia yang kurang beruntung mempunyai hak atas sebagian
kekayaan yang dimiliki saudaranya.
- Kekayaan
harus berputar dan tidak boleh ditimbun.
- Eksploitasi
ekonomi dalam segala bentuknya, termasuk riba, harus dihilangkan.
- Menerapkan
sistem warisan sebagai media redistribusi kekayaan yang dapat
mengeliminasi berbagai konflik individu.
- Menetapkan
berbagai bentuk sedekah, baik yang bersifat wajib maupun sukarela,
terhadap para individu yang memiliki harta kekayaan yang banyak untuk
membantu para anggota masyarakat yang tidak mampu.[1]
C.
Sumber-Sumber
Penerimaan Negara Pada Masa Islam Klasik
1. Sumber-Sumber
Pendapatan Negara.
a)
Al-kharaj
= pajak hasil bumi
Al-khaaraj adalah apa yang
diwajibkan atas tanah yang ditaklukkan orang-orang muslim dengan kekerasan atau
secara damai.
Pada masa
pemerintahannya, Rasulullah Saw menerapkan jizyah, yakni pajak yang
dibebankan kepada orang-orang non-Muslim, khususnya Ahli Kitab, sebagai jaminan
perlindungan jiwa, harta milik, kebebasan menjalankan ibadah, serta
pengecualian dari wajib militer. Besarnya jizyah adalah 1 dinar/tahun untuk setiap
laki-laki dewasa yang mampu membayarnya. Perempuan, anak-anak, pengemis,
pendeta, orang tua, penderita sakit jiwa, dan semua yang menderita penyakit
dibebaskan dari kewajiban ini.
b)
Al-usyur yaitu 10% dari perdagangan dan
kapal-kapal orang asing yang datang ke negara Islam
Usyur; Al ‘Usyur atau Nisful ‘Usyur, Al ‘Usyur (atau 1/10) Adalah pungutan
atas pedagang ahlul harb (orang kafir yang
berdomisili di negeri kafir dan tidak terjalin perjanjian damai dengan negara
Islam atau bahkan negara kafir yang memerangi negara Islam), dipungut dari
mereka seper sepuluh dari total perniagaannya di negeri Islam. Sedangkan Nisful ‘Usyur (1/20) adalah pungutan atas
para pedagang ahlul zimmah, orang kafir yang
menghuni negeri Islam. Itulah pungutan yang dikenal dalam syari’at Islam.
Rawwas Qal’ah Jie mendefinisikan ‘usyur sebagai berikut: Apa yang
dipungut dari pedagang ahlu al-harb dan ahlu ad-dzimmah ketika mereka melewati
batas negara Islam. Pada masa lalu jumlah yang dipungut dari apa yang mereka
bawa adalah sepersepuluh.
Ushur adalah Salah satu sumber pendapatan negara Islam (income)
yang berasal dari bea cukai barang impor (barang dagangan yang dibawa masuk ke
negara Islam). Pertama kali dipraktikkan di zaman Khalifah Umar bin Al-Khattab
dengan ketentuan nisab bagi cukai impor adalah 200 dirham atau 20 mitsal tanpa haul.
MA Manan (1992’’274), menerangkan tentang cara penaksiran dan pemungutan ushur,
di antaranya sebagai berikut: Bazis setempat akan diadakan oleh jawatan pajak
atau badan resmi lainnya yang dapat ditetapkan oleh Adminstrator Kepala atau
pemilik tanah.
Seorang wajib ushur boleh menghitung kewajiban ushur-nya
berdasarkan penaksiran sendiri dan menyampaikannya kepada Bazis dengan cara dan
bentuk yang mungkin ditetapkan. Bila Bazis setempat berpendapat bahwa suatu
penaksiran sendiri dari kewajiban ushur yang dilakukan oleh yang
berkepentingan dapat diterima, hal ini akan diberitahukanya kepada wajib ushur sebagai
ushur yang
ditetapkan baginya. Bila seorang wajib ushur tidak menyampaikan penaksiran
kewajiban ushurnya
dalam subseksi. Dalam hal kontrak, sewa yang segera berlaku sebelum mulainya
ordonansi ini, maka kewajiban membayar ushur bagi orang yang menyewakan
dan si penyewa akan dibagi secara adil di antara mereka oleh Bazis.[2]
c)
Al-zakah
= zakat harta 2,5% dari harta yang sampai nisab
Pada
tahun ke-2 Hijriyyah, Allah Swt mewajibkan kaum Muslimin menunaikan zakat
fitrah pada setiap bulan Ramadhan. Besar zakat ini adalah 1 sha’ kurma,
tepung, keju lembut, atau kismis; atau setengah sha’ gandum, untuk
setiap Muslim, baik budak atau orang merdeka, laki-laki atau perempuan, muda
atau tua, serta dibayarkan sebelum pelaksanaan shalat ‘Id. Setelah
kondisi perekonomian kaum Muslimin stabil, tahap selanjutnya Allah Swt
mewajibkan zakat māl pada tahun ke-9 Hijriyyah.
d)
Al-jizyah = pajak ahli dzimmah, yaitu orang
bukan islam yang bertempat tinggal bukan di negara Islam
Jizyah ( Bahasa Arab: جزْية ) adalah hak yang diberikan oleh Allah kepada
kaum Muslimin untuk menuntutnya daripada orang-orang kafir, kerana mereka
tunduk kepada pemerintahan Islam (Daulah Islamiyah).Jizyah ialah cukai yang dikenakan ke atas
individu bukan Islam yang berlindung di negara Islam. Jizyah merupakan harta
umum yang dibahagikan mengikut kemaslahatan rakyat, dan wajib diambil setiap
satu tahun dan tidak wajib diambil sebelum satu tahun. Hukum jizyah adalah wajib berdasarkan nash Al-Quran. Allah S.W.T. berfirman :
"Sampai mereka membayar jizyah dengan
patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk." (Surah
At-Taubah:29)
Abu Ubaid meriwayatkan di dalam kitab Al-Amwal dari Hassan bin Muhammad yang mengatakan:
Nabi pernah menulis surat kepada Majusi Hajar untuk mengajak mereka memeluk Islam :
"Siapa
sahaja yang memeluk Islam sebelum ini, serta siapa sahaja yang tidak
diambil jizyah atas dirinya: Hendaklah sembelihannya tidak dimakan, dan kaum
wanitanya tidak dinikahi."
Orang-orang kafir wajib dikenakan jizyah selagi mereka masih kufur,
namun apabila mereka memluk agama Islam maka jizyah tersebut gugur dari mereka.
Jizyah dikenakan ke atas orang , bukannya harta. Maka setiap orang kafir wajib
membayar jizyah dan bukan ke atas harta mereka.
Perkataan jizyah diambil daripada perkataan
jaza', yang mana jizyah itu diambil kerana kekufuran mereka. Oleh kerana itu
jizyah tersebut tidak akan gugur sehingga mereka memeluk agama Islam. Jizyah juga tidak akan gugur walapun mereka
ikut berperang. Ini kerana jizyah itu bukan bayaran untuk melindungi mereka.
Jizyah juga tidak akan diambil melainkan daripada orang yang mampu sahaja.
Allah berfirman: "Illa'an Yadin." Maksudnya kerana kemampuan mereka.
Oleh kerana itu jizyah tidak diambil daripada orang yang tidak mampu. Disamping
itu jizyah diambil daripada kaum lelaki sahaja dan tidak wajib bagi kaum wanita, anak-anak dan juga orang gila. Walaupun wanita
tersebut datang ke negara Islam dan sanggup membayar jizyah sebagai bayaran
kerana ingin menetap di sana, namun jizyahnya tidak wajib diambil , dia akan
diterima tinggal di negara Islam dan dia bebas untuk tinggal dimana sahaja di
negara Islam.
Jumlah jizyah ditetapkan mengikut
kebijaksanaan dan ijtihad Khalifah. Harus diingat bahawa jizyah itu hendaklah
tidak melebihi kemampuan orang yang berhak membayar jizyah. Daripada Ibnu Abi
Najih yang mengatakan: "Aku bertanya kepada Mujahid: 'Apa alasannya
penduduk Syam dikenakan 4 dinar sedangkan penduduk Yaman hanya 1 dinar?'
Mujahid menjawab: 'Hal itu haya untuk mempermudah'." (Hadis ini
dikeluarkan oleh Imam Bukhari).
Apabila
Jizyah dikenakan terhadap orang yang mampu, manakala dia keberatan untuk
membayarnya, maka dia dianggap mempunyai hutang jizyah. Dia akan diperlakukan
sebagaimana orang yang berhutang dalam keadaan yang dia keberatan. Kemudian
akan dilihat bagaimana mudahnya.[3]
e)
Al-fai
–i
Al-fai-i adalah harta yang didapatkan dari musuh tanpa
berperang seperti harta yang tidak bergerah (tanah) atau merupakan harta yang
di peroleh dari al-islam secara tunai.[4]
Pengarang kitab as-Siyasah wal-Iqtishaad fit-Tafkiir il-Islaami berkata
tentang a- fai-i ini bahwa
tatkala a- fai-i disebutkan bersama dengan harta rampasan, al-kharaaj
dan jizyah yang dimaksudkan adalah harta yang diambil secara damai
dan berlawanan dengan ghanimah yang diambil yang diambil secara paksa.
Harat yang diambil secara damai adalah yang diambil tanpa perang. Sebagai
implikasinya, yang terpenting menurut pendapat Abu Yusuf adalah selama bala
tentara tidak melaksanakan operasi militer berupa penikaman atau pengepungan,
maka yang diambil itu dianggap a- fai-i bukan ghanimah.
Apabila a- fai-i itu diperoleh dengan damai, maka syarat-syarat
perdamaian itu harus dipegang erat dan ini telah diisyaratkan pada bagian
terdahulu. Allah berfirman:
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah
kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya....” (an-Nahl:91)
Apa yang diperoleh kaum muslimin dengan cara damai, pengelolaanya seperti
pengelolaan seperti cara membagi seperlima ghanimah. Sedangkan empat
seperlima yang tersisa itu khusus untuk baitul mal dan ia merupakan asas
pendapatan. Tanah kharaaj setelah ditetapkan untuk tidak dibagikan
kepada pasukan perang sebagian pengkaji dinamakan a- fai-i . berikut ini
salah satu bentuk yang termasuk dalam kategori a- fai-i. Apabila penjajahan kafir memiliki benda milik
di wilayah Islam yang dijajah lalu mereka angkat kaki dari tanah itu-sebagai
akibat dari suatu revolusi dan berakhir pada sebuah perjanjian damai-maka
seperlima dari demua yang ditinggalkannya dibagikan pada penyakuran yang
seperlima (dari ghanimah) dan sisanya diserahkan kepada baitul mal kaum
muslim sebagaimana yang terjadi, misalnya, di aljazair. Setiap orang perancis
yang mengungsi dan meninggalkan harta atau tanah apabila itu dia rampas dari
orang yang memiliki bukti pemilikan, maka seperlima diberikan kepada
orang-orang fakir dan selebihnya untuk baitul mal kaum muslim.[5]
d) Khumus
Khumus atau rikaz adalah harta karun temuan pada
periode sebelum islam.
e) Amwal
fadhila
Sumber
pendapatan negara selanjutnya yaitu amwal fadhila, adalah harta benda kaum
muslimin yang meninggal tanpa ahli waris atau berasal dari barang-barang
seseorang muslim yang meninggalkan negerinya.
f) Wakaf
Wakaf adalah harta benda yang didedikasikan kepada kaum muslimin yang
disebabkan karena Allah dan pendapatannya akan di depositkan di baitul mal.
g) Shadaqah
Shadaqah dalam istilah berarti pembuktian keimanan yang diwujudkan dengan
bentuk pengorbanan materi. Sumber pemasukan pendapatan shadaqah dari kaum
muslimin yaitu Qurban dan Khaffarat.[6]
D. Sumber-Sumber Pengeluaran Negara
Baitul mal dalam Islam memiliki
tugas-tugas sebagai berikut:
1.
Gaji pegawai
dan Jaminan Rakyat
Al bukhari
meriwayatkan dari Aisyah yang menceritakan bahwa saat Abu Bakar menjadi
khalifah, dia berkata, “Sungguh kaumku telah tahu bahwa pekerjaanku sanggup
menghidup keluargaku. Pada saat aku sibuk mengurusi kaum muslimin keluarga Abu
Bakar akan makan dari harta ini dan orang-orang muslim akan dipekerjakan
didalamnya”
Abu Dawud
meriwayatkan dengan sanad sahih dari Umar r.a. yang berkata “Aku bekerja di
masa Rasulullah saw. Dan beliau memberikan gaji atas pekerjaanku itu”
Disini kita
harus menjelaskan bahwa suatu jenis pekerjaan tidak perlu ada kecuali apabila
dibutuhkan dan legal menurut syariat. Negara tidak boleh menciptakan jenis
pekerjaan yang tidak diperlukan umat dan tidak boleh menciptakan pekerjaan yang
tidak legal. Ia tidak boleh mengeluarkan dana untuk hal-hal yang tidak logis.
2.
Pendanaan
proyek-proyek umum
Kita melihat
suatu bagian dari tujuan-tujuan umum sistem ekonomi Islam, seperi adanya
ekonomi Islam sebagai ekonomi perang dan sebagai ekonomi yang merealisasikan
kebutuhan-kebutuhan dasar umat. Ini semua membutuhkan dana supaya proyek-proyeknya
bisa terwujud. Disamping itu disini ada berbagai proyek yang secara pasti wajib
di kembangkan negara Islam, seperti proyek pembangkit listrik dengan tenaga
air. Sebab itu air umum adalah milik umat, maka proyek yang memanfaatkan air
lebih baik menjadi milik umat.
Meskipun demikian, proyek-proyek yang
biayanya diambil dari baitul mal harus memenuhi syarat berikut:
a)
Proyek tersebut
akan mewujudkan tujuan Islami
b)
Proyek itu
memberikan maanfaat pada umat
c)
Tidak
mengeluarkan dana yang sebenarnya tidak dibutuhkan dalam proyek
d)
Dana
pembangunan jembatan, penggalian pengairan, pemeliharaan air sungai dan air
minum, pembangunan jaringan transportasi yang dapat menghubungkan anggota
masyarakat, pendirian industri perang raksasa dan pengadaan armada laut termasuk
dalam kategori proyek tersebut.
Para fuqaha
Hanafi berpendapat bahwa apa yang dipungut imam dari pajak, apa yang
dihadiahkan orang berperang kepada imam dan jizyah. Apa yang diambil mereka
tanpa perang dibelanjakan mereka untuk kepentingan umum kaum muslimin. Hal itu
semua dipakai untuk membiayai penjagaan tapal batas negara, membangun perairan
dan jembatan, menggaji para hakim dan pegawai kaum muslim,bendaharawan dan staf
dengan gaji yang mencukupi mereka dan keluarga. Ini juga dibayarkan untuk pasukan
perang dan keluarganya.
3.
Distribusi dana
yang tersisa kepada umat secara merata
Salah seorang
sahabat yang bernama Abu Salam menyerahkan sedekah kepada khalifah dan harat
itu ditempatkan di baitul mal. Abu bakar membagikannya kepada rakyat secara
berkelompok-kelompok. Setiap seratus orang mendapatkan sekian dan sekian. Dia
menyamakan pembagiannya untuk semua orang, baik orang bebas, budak, laki-laki,
perempuan, kecil ataupun besar. Abu bakar membeli unta, kuda, senjata untuk
dijalan Allah. Pada suatu waktu, dia pernah menbeli sutra yang didatangkan dari
desa. Lalu kain-kain itu dipisah-pisah untuk para janda penduduk Madinah pada
musim dingin.[7]
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Pada awal
masa pemerintahan Rasulullah, negara tidak mempunyai kekayaan apapun, karena
sumber penerimaan negara hampir tidak ada. Sampai tahun ke-4 hijrah pendapatan dan
sumber daya negara masih sangat kecil. Kekayaan pertama datang dari Banu Nadir,
karena melanggar perjanjian (piagam Madinah) dengan umat Islam sehingga mereka
ditaklukkan dandipaksa meninggalkan kota. Wakaf Islam pertama adalah dari
seorang Banu Nadir yang masuk Islam dan memberikan tujuh kebunnya. Dan hal ini
sebagai pemasukan pendapatan bagi negara.
Harta rampasan perang (ghanimah) merupakan sumber pendapatan atau pemasukan
negara, meskipun kontribusinya selama 10 tahun kepemimpinan Rasulullah tidak
lebih dari 2%. Zakat dan ushr merupakan sumber pendapatan pokok, terutama
setelah tahun ke-9 H di mana zakat mulai diwajibkan, tetapi sumber penerimaan negara tidak hanya diperoleh dari ghanimah,
zakat dan ushr saja melainkan bisa berasal dari shadaqah kaum muslim, kharaaj,
wakaf dan sumber pendapatan yang lain. Dan dari pendapatan itu, tentunya akan
digunakan sebagai pengeluaran misalnya pembelian alat-alat perang negara,
pembayaran pegawai, pendanaan proyek-proyek umum yang mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
B.
Saran
Demikianlan
makalah ini kami susun, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
pembaca. Dan dalam pembuatan makalah ini tentunya masih banyak kekurangan baik
dalam hal sistematika maupun dalam hal isi. Oleh sebab itu, kami mengharapkan
kritik dan saran dari semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Said Hawwa, Al-Islam,
Gema Insani, Jakarta:2004.
[1] Tersedia di situs http://sungai-jingah.blogspot.com/2013/02/sejarah-peradaban-ekonomi-islam-klasik.html, Diunduh pada hari rabu, 09-09-2015
jam 18:30 wib.
[2]Tersedia di situs https://sharianomics.wordpress.com/2010/12/12/definisi-usyur/, Diunduh
pada hari jum’at 11-09-2015 pukul 10:00 wib.
[3] Tersedia di situs https://ms.wikipedia.org/wiki/Jizyah, Diunduh pada hari jum’at, 11-09-2015
pukul 10:10 wib.
5 Tersedi di situs http://syariah.mywapblog.com/pemasukan-negara-pada-masa-rasulullah.xhtml, Diunduh pada hari jum’at, 11-09-2015 pukul 10:30 wib.
No comments:
Post a Comment