MAKALAH
ILMU MUNASABAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu : Shobirin S.ag, M.ag.
Oleh :
Kelas / Semester : B / II
Nuril
Maftukhan (1420210062)

SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN
SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM/ PRODI EKONOMI SYARIAH
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dewasa
ini, ilmu-ilmu mengenai kitab suci umat islam, al-Qur’an al-Karim sudah tidak
terlalu diminati oleh kaum pemuda. Padahal, kaum pemuda saat inilah yang akan
menggantikan dan meneruskan estafet keilmuan pedoman umat islam tersebut.
Padahal, dalam keeharian, al-Qur’an sangatlah berperan aktif dalam setiap
aktivitas dalam masyarakat. Secara tidak sadar, ilmu al-Qur’an telah menjad
bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat muslim, namun sayangnya,
kajian mengenai perkembangan ulum al-Qur’an semakin banyak ditinggalkan.
Al-Qur’an
sebagai pegangan hidup umat islam memegang peran yang sangat besar terhadap
perkembangan keilmuan teologi islam karena al-Qur’an ialah sumber terbesa dan
terpercaya dari seluruh disiplin ilmu pengetahuan baik agama maupun umum. Maka,
kajian terhadap al-Qur’an seharusnya menjadi hal yang sangat menarik dan tak
ada habismya.
Salah
satu kajian dalam disiplin ilmu ini ialah “munasabah”. Istilah tersebut mungkin
terdengar asing untuk kalangan awam, ataupun akademisi yang tidak berkecimpung
di dunia ulum al-Qur’an. Hal ini tentulah sangat disayangkan mengingat betapa
besarnya peran munasabah dalam penafsiran al-Qur’an.
Selama
ini, kebanyakan orang lebih mengenal “asbab an-Nuzul” daripada “munasabah”.
Padahal, dengan mengetahui sebab-sebab turunnya saja, para mufassir (ahli
tafsir) masih mendapat kesulitan dalam menemukan tafsiran yang tepat mengenai
suatu ayat atau surat dalam al-Qur’an. Dengan mengetahui munasabah dalam
al-Qur’an, seseorang akan lebih mudah mengetahui maksud dari suatu ayat ataupun
surat dalam al-Qur’an.
Hubungan
antara ayat ataupun surat dalam al-Qur’an tentulah tidak disususn secara
sembarangan karena setiap penyusunan dalam al-Qur’an memiliki makna yang saling
berkaitan dan sangat membantu dalam penafsiran al-Qur’an. Bahkan, sebagian
mufassir ada yang lebih mempercayai munasabah dalam al-Qur’an daripada asbab
an-nuzul yang belum diketahui betul kebenarannya.
Maka,
diharapkan bahwa para akademisi akan lebih mengenal dan memahami arti munasabah
dalam al-Qur’an sehingga dapat menganalisa keterkaitan antar ayat, surat,
maupun juz dalam al-Qur’an sehingga akan mempermudah mempelajari al-Qur’an dan
mengkaji lebih dalam apa-apa yang terkandung dalam al-Qur’an secara
komprehensif dan ilmiah.
Kami
akan menjelaskan “munasabah” lebih rinci dalam makalah sederhana ini dengan
berpatokan pada tiga pokok pembahasan yang sesuai dengan Rumusan Masalah dalam
makalah ini.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apakah yang dimaksud dengan Munasabah?
2.
Bagaimana sejarah perkembangan ilmu Munasabah al-Qur’an?
3.
Apa pokok bahasan ilmu Munasabah?
4.
Apa macam-macam munasabah dalam al-Qur’an?
5.
Apa fungsi mempelajari ilmu munasabah?
6.
Bagaimana pandangan para ulama’ mengenai munasabah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
MUNASABAH
Secara
etimologi, munasabah berasal dari bahasa arab dari asal kata
nasaba-yunasibu-munasabahan yang berarti musyakalah (keserupaan)[1],
dan muqarabah. Lebih jelas mengenai pengertian munasabah secara etimologis
disebutkan dalam kitab Al burhan fi ulumil Qur”an bahwa munasabah merupakan
ilmu yag mulia yang menjadi teka-teki akal fikiran, dan yang dapat digunakan
untuk mengetahui nilai (kedudukan) pembicara terhadap apa yang di ucapkan.
Sedangkan
secara terminologis definisi yang beragam muncul dari kalangan para ulama
terkait dengan ilmu munasabah ini. Imam Zarkasyi salah satunya, memaknai
munasabah sebagai ilmu yang mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan
akhirnya, mengaitkan lafal-lafal umum dan lafal lafal khusus, atau hubungan
antar ayat yang terkait dengan sebab akibat, illat dan ma’lul, kemiripan ayat
pertentangan (ta’arudh).[2]
Manna
Al-Qathan dalam mabahis fi ulum Al-Qur’an menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan munasabah dalam pembahasan ini adalah segi-segi hubungan antara satu
kata dengan kata yang lain dan satu ayat dengan ayat yang lain atau antara satu
surat dengan surat yang lain. Menurut M Hasbi Ash Shiddieq membatasi pengertian
munasabah kepada ayat-ayat atau antar ayat saja.
Dalam
pengertian istilah, munasabah diartikan sebagai ilmu yang membahas hikmah
korelasi urutan ayat Al-Qur’an atau dengan kalimat lain, munasabah adalah usaha
pemikiran manusia dalam menggali rahasia hubungan antar surat atau ayat yang
dapat diterima oleh akal. Dengan demikian diharapkan ilmu ini dapat menyingkap
rahasia illahi, sekaligus sanggahanya, bagi mereka yang meragukan Al-Qur’an
sebagai wahyu.[3]
Sedangkan
menurut para ulama :
1. Menurut Manna’ al-Qattan
Manna’
al-Qattan dalam kitabnya Mabahits fi Ulum al-Qur’an, munâsabah menurut bahasa
disamping berarti muqarabah juga musyakalah (keserupaan). Sedang menurut
istilah ulum al-Qur’an berarti pengetahuan tentang berbagai hubungan di dalam
al-Qur’an, yang meliputi : Pertama, hubungan satu surat dengan surat yang lain;
kedua, hubungan antara nama surat dengan isi atau tujuan surat; ketiga,
hubungan antara fawatih al-suwar dengan isi surat; keempat, hubungan antara
ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat; kelima, hubungan satu ayat
dengan ayat yang lain; keenam, hubungan kalimat satu dengan kalimat yang lain
dalam satu ayat; ketujuh, hubungan antara fashilah dengan isi ayat; dan
kedelapan, hubungan antara penutup surat dengan awal surat.
Jadi Menurut Manna’
Khalil Qattan :
وجـهُ
الإرتـبــاطِ بـين الجـمـلـةِ والجـمـلـةِ فى الأيـةِ الـواحــدة أوبـين الأيـة والأيــة
فـي الأيــة الـمـتـعــددةِ أو بــينَ الســورة والســـورة.
Artinya :
“Munasabah
adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan dalam satu ayat, atau antar
ayat pada beberapa ayat atau antar surat didalam Al-Qur’an”.
2. Menurut Imam
al-Zarkasyi
Menurut
Imam al-Zarkasyi kata munâsabah menurut bahasa adalah mendekati (muqârabah),
seperti dalam contoh kalimat : fulan yunasibu fulan (fulan mendekati/menyerupai
fulan). Kata nasib adalah kerabat dekat, seperti dua saudara, saudara sepupu,
dan semacamnya. Jika keduanya munâsabah dalam pengertian saling terkait, maka
namanya kerabat (qarabah). Imam Zarkasyi sendiri memaknai munâsabah sebagai
ilmu yang mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan
lafadz umum dan lafadz khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait dengan
sebab akibat, ‘illat dan ma’lul, kemiripan ayat, pertentangan (ta’arudh) dan
sebagainya. Lebih lanjut dia mengatakan, bahwa keguanaan ilmu ini adalah
“menjadikan bagian-bagian kalam saling berkait sehingga penyusunannya menjadi
seperti bangunan yang kokoh yang bagian-bagiannya tersusun harmonis”
Jadi Menurut Az-Zarkasyi,
adalah :
المـناسبة
أمر معـقـولٌ إذاعُــِرِض عـلى الـمـقـول تـلـقّــتـه
بــاالـقـبـُول.
Artinya :
“Munasabah
adalah suatu hal yang dapat dipahami, tatkala dihadapkan kepada akal, akal itu
pasti menerimanya”.
3. Menurut Ibn Al-Arabi :
إرتـبــاط
أ ِيّ الـقـرأن بعـضـها بـبـعـض حـتى تـكون كا الكـلمـة الـواحـدةِ مـتّـسقــةِ المعـاني
مـنتـظـمـةِ المـبــــاني ,عـلمٌ عـظـيـــمٌ
Artinya :
“Munasabah
adalah keterikatan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan suatu
ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi. Munasabah
merupakan ilmu yang sangat agung”.
4. Menurut Al-Biqa’i, yaitu :
“Munasabah
adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan di balik susunan atau
urutan bagian-bagian Al-Qur’an, baik ayat
dengan ayat, atau surat dengan surat”.
Jadi,
dalam konteks ‘Ulum Al-Qur’an, Munasabah berarti menjelaskan korelasi makna
antar ayat atau antar surat, baik korelasi itu bersifat umum atau khusus;
rasional (‘aqli), persepsi (hassiy), atau imajinatif (khayali) ; atau korelasi
berupa sebab akibat, ‘illat dan ma’lul,
perbandingan, dan perlawanan.
Pada dasarnya pengetahuan
tentang munasabah atau hubungan antara ayat-ayat itu bukan tauqifi (tak dapat
diganggu gugat karena telah ditetapkan Rasul), tetapi didasarkan pada ijtihadi
seorang mufassir dan tingkat penghayatannya terhadap kemukjizatan Al-Qur’an,
rahasia retorika, dan segi keterangannya yang mandiri.
Seperti
halnya pengetahuan tentang Asbabun Nuzul
yang mempunyai pengaruh dalam memahami makna dan menafsirkan ayat, maka
pengetahuan tentang munasabah atau korelasi antar ayat dengan ayat dan surat
dengan surat juga membantu dalam pentakwilan dan pemahaman ayat dengan baik dan cermat. Oleh sebab itu
sebagian ulama menghususkan diri untuk menulis buku mengenai pembahasan ini.
Tetapi dalam pendapat lain dikemukakan atas dasar perbedaan pendapat tentang
sistematika (perbedaan urutan surat dalam Al-Qur’an) adalah wajar jika teori
Munasabah Al-Qur’an kurang mendapat perhatian dari para ulama yang menekuni
‘Ulum Al-Qur’an walaupun keadaan sebenarnya Munasabah ini masih terus dibahas
oleh para mufassir yang menganggap Al-Qur’an adalah Mukjizat secara keseluruhan
baik Redaksi maupun pesan ilahi-Nya.
B. SEJARAH
PERKEMBANGAN MUNASABAH
Menurut Asy Syarahbani, seperti dikutip
Az Zarkasyi dalam Al Burhan, orang pertama yang menampakkan munasabaah dalam
menafsirkan Al-Qur’an ialah Abu Nakar An Naisaburi (wafat tahun 342 H).
Besarnya perhatian An Naisaburi terhadap munasabah nampak dari ungkapan As
Suyuti sebagai berikut : “Setiap kali ia duduk di atas kursi, apabila dibacakan
Al-Qur’an kepadanya, beliau berkata, “Mengapa ayat ini diletakkan di samping
ayat inibdan apa rahasia diletakkan surat ini di samping surat ini?” Beliau
mengkritik para ulama Bagdad sebab mereka tidak mengetahui.”
Tindakan An Naisaburu merupakan kejutan
dan langkah baru dalam dunia tafsir waktu itu. Beliau mempunyai kemampuan untuk
menyingkap persesuian, baik antarayat ataupun antarsurat, terlepas dari segi
tepat atau tidaknya, segi pro dan kontra terhadap apa yang dicetuskan beliau.
Satu hal yang jelas, beliau di pandang sebagai Bapak Ilmu Munasabah.
Tokoh yang mula-mula membicarakan
tentang ilmu ini ialah al-Imam Abu Bakr an-Naisaburi (meninggal 323H). Selain
beliau terdapat banyak lagi ulama yang membahas. Antara lain:
1. Al-Imam al-Biqa‘ie - Nazm ad-Durar fi
Tanasub al-Ayi was Suwar
2. Al-Imam as-Suyuti – Tanasuq ad-Durar wa
Tanasub as-Suwar
3. Al-Imam al-Farahi al-Hindi – Dala’il
an-Nizam
Selain mereka para ulama seperti
az-Zamakhsyari, ar-Razi, al-Baidhawi, Abu Hayyan, al-Alusi, Rasyid Ridha,
Sayyid Qutb, Dr. Muhammad Abdullah Darraz dan lain-lain turut menyentuh tentang
ilmu ini dan mempraktikkannya dalam penulisan kitab-kitab tafsir mereka.
Sungguhpun begitu, ilmu ini bukanlah disepakati
kewujudannya atau diterima oleh semua ulama, mereka yang kontra mewajibkan
syarat yang ketat untuk ilmu ini ialah: ‘Izzudin Bin Abdis Salam, as-Syaukani,
as-Syinqiti dan sebagainya. Mereka ini berhujah bahwa ilmu al-Munasabah ini
adalah takalluf (beban) dan ia tidak dituntut oleh syara’.[4]
C. POKOK
PEMBAHASAN MUNASABAH
Pembahasan Ilmu Munasabah ini terkait dengan
bagian-bagian Ulumul Qur’an, baik ayat-ayat ataupun surah-surahnya yang satu
dengan yang lain persesuaian dan persambungannya. Hubungan dan persambungan
dari bagian-bagian Al-Qur’an itu bermacam-macam. Ada yang berupa hubungan
antara makna umum dan khusus, atau hubunngan pertalian (talazum), seperti
hubungan antara sebab dengan akibatnya, ilat dengan ma’lulnya, atau antara dua
hal yang sama, maupun antara dua hal yang kontradiksi.
Jadi, pembahasan Ilmu Munasabah atau Ilmu Tanaasubul
Ayat Was Suwar ini ialah macam-macam hubungan dan persambungan, serta kaitan
dari ayat-ayat Al-Qur’an yang satu dengan yang lain, dan antara surah Al-Quran
yang satu dengan yang lain, dalam berbagai bentuk persesuaian dan persambungan.[5]
D. MACAM-MACAM
MUNASABAH
Berdasarkan kepada beberapa pengertian
sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, pada prinsipnya munasabah al-Qur’an
mencakup hubungan antar kalimat, antar ayat, serta antar surat. Macam-macam
hubungan tersebut apabila diperinci akan menjadi sebagai berikut :
1. Munasabah antara surat dengan surat.
2. Munasabah antara nama surat dengan
kandungan isinya.
3. Munasabah antara kalimat dalam satu ayat.
4. Munasabah antara ayat dengan ayat dalam
satu surat.
5. Munasabah antara ayat dengan isi ayat itu
sendiri.
6. Munasabah antara uraian surat dengan
akhir uraian surat.
7. Munasabah antara akhir surat dengan awal
surat berikutnya.
8. Munasabah antara ayat tentang satu tema.
Dalam
upaya memahami lebih jauh tentang aspek-aspek munasabah yang telah diterangkan
di atas akan diajukan beberapa contoh di bawah ini.
1. Munasabah Antara Surat dengan Surat
Keserasian hubungan atau mnasabah antar surat ini pada
hakikatnya memperlihatkan kaitan yang erat dari suatu surat dengan surat
lainnya. Bentuk munasabah yang tercermin pada masing-masing surat, kelihatannya
memperlihatkan kesatuan tema. Salah satunya memuat tema sentral, sedangkan
surat-surat lainnya menguraikan sub-sub tema berikut perinciannya, baik secara
umum maupun parsial. Salah satu contoh yang dapat diajukan di sini adalah
munasabah yang dapat ditarik pada tiga surat beruntun, masing-masing Q. S
al-Fatihah (1), Q. S al-Baqarah (2), dan
Q. S al-Imran (3).
Satu
surah berfungsi menjelaskansurat sebelumnya, misalnya di dalam surat al-Fatihah
/ 1 : 6 disebutkan :
إهدنا
الصراط المستقيم (6)
Artinya
: “Tunjukilah kami jalan yang lurus” (Q. S al-Fatihah / 1 : 6)
Lalu
dijelaskan dalam surat al-Baqarah, bahwa jalan yang lurus itu ialah mengikuti
petunjuk al-Qur’an, sebagaimana disebutkan :
تلك
الكتاب لا ريب فيه هدى للمتقين( 2)
Artinya
: “Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang
bertakwa” (Q. S al-Baqarah / 2 : 2)
2. Munasabah Antara Nama Surat dengan
Kandungan Isinya
Nama satu surat pada dasarnya bersifat tauqifi
(tergantung pada petunjuk Allah dan Nabi-Nya). Namun beberapa bukti menunjukkan
bahwa suatu surat terkadang memiliki satu nama dan terkadang dua nama atau
lebih. Tampaknya ada rahasia dibalik nama tersebut. Para ahli tafsir
sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Sayuthi melihat adanya keterkaitan antara
nama-nama surat dengan isi atau uraian yang dimuat dalam suatu surat. Kaitan
antara nama surat dengan isi ini dapat di identifikasikan sebagai berikut :
a. Nama diambil dari urgensi isi serta
kedudukan surat. Nama surat al-Fatihah disebut dengan umm al-Kitab karena
urgensinya dan disebut dengan al-Fatihah karena kedudukannya.
b. Nama diambil dari perumpamaan ,
peristiwa, kisah atau peran yang menonjol, yang dipaparkan pada rangkaian
ayat-ayatnya; sementara di dalam perumpamaan, peristiwa, kisah atau peran itu
sarat dengan ide. Di sini dapat disebut nama-nama surat : al-‘Ankabut, al-Fath,
al-Fil, al-Lahab dan sebagainya.
c. Nama sebagai cerminan isi pokoknya,
misalnya al-Ikhlas karena mengandung ide pokok keimanan yang paling mendalam
serta kepasrahan : al-Mulk mengandung ide pokok hakikat kekuasaan dan
sebagainya.
d. Nama diambil dari tema spesifik untuk
dijadikan acuan bagi ayat-ayat lain yang tersebar diberbagai surat. Contoh
al-Hajj (dengan spesifik tema haji), al-Nisa’ (dengan spesifik tema tentang
tatanan kehidupan rumah tangga). Kata Nisa’ yang berarti kaum wanita adalah
irrig keharmonisan rumah tangga.
e. Nama diambil dari huruf-huruf tertentu
yang terletak dipermulaan surat, sekaligus untuk menuntut perhatian khusus
terhadap ayat-ayat di dalamnya yang memakai huruf itu. Contohnya : Thaha,
Yasin, Shad, dan Qaf.
3. Munasabah Antara Satu Kalimat dengan Kalimat Lainnya dalam Satu Ayat
Munasabah antara satu kalimat dengan kalimat yang
lainnya dalam satu ayat dapat dilihat dari dua segi. Pertama adanya hubungan
langsung antar kalimat secara konkrit yang jika hilang atau terputus salah satu
kalimat akan merusak isi ayat. Identifikasi munasabah dalam tipe ini
memperlihatkan irri-ciri ta’kid / tasydid (penguat / penegasan) dan tafsir /
i’tiradh (interfretasi /penjelasan dan cirri-cirinya). Contoh sederhana ta’kid
:
"فإن لم تفعلوا", diikuti "ولن تفعلوا" (Q.S al-Baqarah / 2:24).
Contoh
tafsir:
سبحان
الذي اسرى بعبده ليلا من المسجد الحرام الى المسد الأقصى
Kemudian
diikuti dengan (1:17/الإسراء) الذي باركنا حوله لنريه من
اياتنا
Kedua
masing-masing kalimat berdiri sendiri, ada hubungan tetapi tidak langsung
secara konkrit, terkadang ada penghubung huruf ‘athaf’ dan terkadang tidak ada.
Dalam konteks ini, munasabahnya terletak pada :
a. Susunan kalimat-kalimatnya berbentuk
rangkaian pertanyaan, perintah dan atau larangan yang tak dapat diputus dengan
fashilah. Salah satu contoh :
ولإن
سألتهم من خلق السماوات والأرض___ليقولون الله___قل الحمد لله (لقمن 25)
b. Munasabah berbentuk istishrad (penjelasan
lebih lanjut). Contoh :
يسألونك
عن الأهله___قل هي___ (البقره 189)
c. Munasabah berbentuk nazhir / matsil
(hubungan sebanding) atau mudhaddah / ta’kis (hubungan kontradiksi). Contoh :
ليس
البر ان تولوا وجوهكم قبل المشرك والمغرب___ولكن البر___(البقرة 177)
4. Munasabah Antara Ayat dengan Ayat dalam
Satu Surat
Untuk melihat munasabah semacam ini perlu diketahui
bahwa ini didaftarkan pada pandangan datar yaitu meskipun dalam satu surat
tersebar sejumlah ayat, namun pada hakikatnya semua ayat itu tersusun dengan
tertib dengan ikatan yang padu sehingga membentuk fikiran serta jalinan
informasi yang sistematis. Untuk menyebut sebuah contoh, ayat-ayat di awal Q. S
al-Baqarah : 1 – 20 memberikan sistematika informasi tentang keimanan,
kekufuran, serta kemunafikan. Untuk mengidentifikasikan ketiga tipologi iman,
kafir dan nifaq, dapat ditarik hubungan ayat-ayat tersebut.
Misalnya
surat al-Mu’minun dimulai dengan :
قد
افلح المؤمنون
Artinya
: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman”.
Kemudian
dibagian akhir surat ini ditemukan kalimat
انه
لا يفلح الكافرون
Artinya
: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tidak beruntung”.
5. Munasabah Antara Penutup Ayat dengan Isi
Ayat Itu Sendiri
Munasabah pada bagian ini, Imam al-Sayuthi menyebut
empat bentuk yaitu al-Tamkin (mengukuhkan isi ayat), al-Tashdir (memberikan
sandaran isi ayat pada sumbernya), al-Tawsyih (mempertajam relevansi makna) dan
al-Ighal (tambahan penjelasan). Sebagai contoh :
فتبارك
الله احسن الخالقين mengukuhkan ثم خلقنا
النطفة علقة bahkan mengukuhkan hubungan dengan dua ayat sebelumnya
(al-mukminun: 12-14).
6. Munasabah Antara Awal Uraian Surat dengan
Akhir Uraian Surat
Salah satu rahasia keajaiban al-Qur’an adalah adanya
keserasian serta hubungan yang erat antara awal uraian suatu surat dengan akhir
uraiannya. Sebagai contoh, dikemukakan oleh al-Zamakhsyari demikian juga
al-Kimani bahwa Q. S al-Mu’minun di awali dengan (respek Tuhan kepada
orang-orang mukmin) dan di akhiri dengan (sama sekali Allah tidak menaruh
respek terhadap orang-orang kafir). Dalam Q. S al-Qasash, al-Sayuthi melihat
adanya munasabah antara pembicaraan tentang perjuangan Nabi Musa menghadapi
Fir’aun seperti tergambar pada awal surat dengan Nabi Muhammad SAW yang
menghadapi tekanan kaumnya seperti tergambar pada situasi yang dihadapi oleh
Musa AS dan Muhammad SAW, serta jaminan Allah bahwa akan memperoleh kemenangan.
7. Munasabah Antara Penutup Suatu Surat
dengan Awal Surat Berikutnya.
Misalnya
akhir surat al-Waqi’ah / 96 :
فسبح
باسم ربك العظيم
“Maka
bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Besar”.
Lalu
surat berikutnya, yakni surat al-Hadid / 57 : 1 :
سبح
الله ما في السموات والأرض وهو الزيز الحكيم
“Semua
yang berada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran
Allah). Dan Dia-lah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
8. Munasabah Antar Ayat dengan Satu Tema
Munasabah antar ayat tentang satu tema ini,
sebagaimana dijelaskan oleh al-Sayuthi, pertama-tama dirintis oleh al-Kisa’i
dan al-Sakhawi. Sementara al-Kirmani menggunakan metodologi munasabah dalam
membahas mutasyabih al-Qur’an dengan karyanya yang berjudul al-Burhan fi
Mutasyabih al-Qur’an. Karya yang dinilainya paling bagus adalah Durrah
al-Tanzil wa Gharrat al-Ta’wil oleh Abu ‘Abdullah al-Razi dan Malak al-Ta’wil
oleh Abu Ja’far Ibn al-Zubair.
Munasabah
ini sebagai contoh dapat dikemukakan tentang tema qiwamah (tegaknya suatu
kepemimpinan). Paling tidak terdapat dua ayat yang saling bermunasabah, yakni
Q. S al-Nisa’ / 4 : 34 :
الرجال
قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم.
Dan
Q. S al-Mujadalah / 58 : 11 :
يرفع
الله الذين امنوا منكم والذين اوتو العلم درجات والله بما تعملون خبير.
Tegaknya
qiwamah (konteks parsialnya qiwamat al-rijal ‘ala al-nisa’) erat sekali
kaitannya dengan faktor ilmu pengetahuan / teknologi dan faktor ekonomi. Q. S
an-Nisa’ menunjuk kata kunci “bimaa fadhdhala” dan “al-ilm”. Antara “bimaa
fadhdhala” dengan “yarfa” terdapat kaitan dan keserasian arti dalam kata kunci
nilai lebih yang muncul karena faktor ‘ilm.
Munasabah
al-Qur’an diketahui berdasarkan ijtihad, bukan melalui petunjuk Nabi (tauqifi).
Setiap orang bisa saja menghubung-hubungkan antara berbagai hal dalam kitab
al-Qur’an.[6]
E. FUNGSI
MEMPELAJARI MUNASABAH
Fungsi dari munasabah Al-Qur’an, Di antaranya adalah
sebagai berikut:
1. Mengetahui
persambungan / hubungan antara bagian al-Qur’an, baik antarakalimat-kalimat
atau ayat-ayat maupun surah-surahnya yang satu dengan yanglain sehingga lebih
memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab al-Qur’an dan memperkuat
keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.Karena itu, Izzuddin Abd.
Salam mengatakan bahwa ilmu munasabah itu adalah ilmu yang baik sekali. Ketika
menghubungkan kalimat yang satu dengan kalimat yang lain, beliau mensyaratkan
harus jatuh pada hal-hal yang betul-betul berkaitan, baik di awal ataupun di
akhirnya.
2. Mempermudah
pemahaman al-Qur’an. Misalnya ayat enam dari surat Al-Fatihah yang artinya,
“Tujukilah kami kepada jalan yang lurus” disambungdengan ayat tujuh yang
artinya, “Yaitu, jalan orang-orang yang Engkau anugerahinikmat atas mereka.
“Antara keduanya terdapat hubungan penjelasan bahwa jalanyang lurus dimaksud
adalah jalan orang-orang yang telah mendapat nikmat dariAllah SWT.
3. Menolak
tuduhan bahwa susunan al-Qur’an kacau. Tuduhan misalnya munculkarena penempatan
surat al-Fatihah pada awal Mushhaf sehingga surat inilahyang pertama dibaca.
Padahal, dalam sejarah, lima ayat dari surat al-‘Alaqsebagai ayat-ayat pertama
turun kepada Nabi SAW. akan tetapi, Nabi menetapkan letak al-Fatihah di awal
Mushhaf yang kemudian disusul dengan surat al-Baqarah.Setelah didalami,
ternyata dalam urutan ini terdapat munasabah. Surat al-Fatihah mengandung
unsur-unsur pokok dari syariat Islam dan pada surat ini termuat doa manusia untuk
memohon petunjuk ke jalan yang lurus. Surat al-Baqarah diawali dengan petunjuk
al-Kitab sebagai pedoman menuju jalan uang lurus. Dengandemikian, surat
al-Fatihah merupakan titk bahasan yang akan diprinci pada surat berikutnya,
al-Baqarah. Dengan mengemukakan munasabah tersebut, ternyatasusunan ayat-ayat
dan surat-surat Al-Qur’an tidak kacau melainkan mengandungmakna yang dalam.
4. Dengan
ilmu munasabah itu, dapat diketahui mutu dan tingkat ke-Balaghah-an bahasa
al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lain,serta
persesuaian ayat / surahnya yang satu dari yang lain, sehingga lebihmenyakinkan
kemukjizatannya, bahwa al-Qur’an itu benar-benar wahyu dariAllah SWT dan bukan
buatan Nabi Muhammad SAW. karena itu, Abdul Djalaldalam bukunya menambahkan
Imam Fakhruddin al-Razi mengatakan kebanyakan keindahan-keindahan al-Qur’an
terletak pada susunan dan penyesuaiannya, sedangkan susunan kalimat yang paling
bersetaraadalah saling berhubungan antara bagian yang satu dengan bagian yang
lainnya.Sebagaimana yang dinyatakan oleh ahli ulumul Qur’an diantaranya
adalahAbu Bakar bin al-Arabi, Izzuddin bin Abdus-Salam bahwa ilmu munasabah adalahilmu
yang baik ( ilmun hasanun ), ilmu mulia ( ilmun syarifun ), ilmu yang agung ( ilmun
adzimun ). Dari semua julukan ini menandakan bahwa ilmu munasabah mendapat
tempat dan penghargaan yang cukup tinggi atau peran yang cukupsignifikan dalam
memahami dan menafsirkan al-Qur’an. Sehingga az-Zarkasyi berpendapat bahwa ilmu
ini dapat dijadikan tolak ukur untuk mengetahui kecerdasanseorang mufassir. Kedudukan
ilmu ini semakin terasa kebutuhannya manakalah seseorangmenafsirkan al-Qur’an
menggunakan metode tafsir al-maudhu’I (tematik) atau al-muqaran (komparasi),
karena metode ini memperhatikan keterkaitan ( munasabah)antara ayat yang
berbicara tentang masalah yang sejenis. (A Zarkasyi,1988: 63) Berlainan dengan
ilmu asbabun-nuzul yang digolongkan
kedalam ilmu sima’I dan karenanya maka bersifat naqli (periwayatan), maka ilmu
munasabah digolongkan ke dalam kelompok ilmu-ilmu ijtihadi yang karenanya
bersifat penalaran. Sebagai ilmu ijtihadi ilmu ini sangat berpeluang untuk
dikembangkan dalam upayamemperkaya dan memperkuat penafsiran al-Qur’an, yaitu
dengan cara mencarihubungan antara ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai aspeknya.[7]
F. PANDANGAN
ULAMA’ MENGENAI MUNASABAH
Dalam menyikapi munasabah, para ulama terbagi kedalam
dua golongan yang pertama: golongan yang tertarik dengan munasabah, dan yang
kedua, Golongan yang tidak tertarik dan menganggap munasabah tidak perlu di
kaji. Golongan pertama diwakili oleh Abu Bakar al-Nisabury, Fakhrudin al-Razi,
Fakhrudin al-Razi seorang ulama yang sangat peduli terhadap munasabah, baik
munasabah antar ayat atau antar surat.
Ia pernah memberikan apresiasi terhadap surat
al-Baqarah dengan mengatakan bahwa “barangsiapa yang menghayati dan merenungkan
bagian-bagian dari susunan dan keindahan urutan surat ini, maka pastiia akan
mengetahui bahwa al-Quran itu merupakan mukjizat lantaran kefasihan
lafal-lafalnya dan ketinggian mutu makna-maknanya. Jalaluddin al-Suyuthiy, ibn
al-Arabiy , Izzuddin ibn Abdis Salam, dll.
Golongan ulama yang menolak adanya munasabah dalam
al-Quran diwakili oleh Ma’ruf Dualibi. Ia paling keras menentang menggunakan
munasabah untuk menafsirkan ayat-ayat dan surat-surat dalam al-Quran. Ia
mengatakan, ‘maka termasuk usaha yang tidak perlu dilakukan adalah mencari-cari
hubungan di antara ayat-ayat dan surat-surat al-Quran.’ Karena menurutnya,
“al-Quran dalam berbagai ayat yang ditampilkannya hanya mengungkapkan hal-hal
yang bersifat prinsip (mabd’a) dan norma umum (kaidah) saja. Dengan demikian
tidaklah pada tempatnya bila orang bersikeras dan memaksakan diri mencari
korelasi (tanasub) antara ayat-ayat dan surat-surat yang bersifat tafshil
lantaran kefasihan lafal-lafalnya dan ketinggian mutu makna-maknanya.
Mahmud Syaltut seorang ulama kontemporer, kurang
setuju dengan analisis munasabah dan menolak menjadikan munasabah sebagai
bagian dari ilmu-ilmu al-Quran. Ia tidak
setuju dengan mufasir yang menggunakan munasabah untuk menafsirkan al-Quran.
Di sisi lain terdapat pendapat-pendapat tentang
munasabah: tertib surah dan ayat:
Para
ulama sepakat bahwa tertib ayat-ayat dalam al-qur’an adalah tauQifiy, artinya
penetapan dari Rasul, Sementara tertib
surah dalam Al-Qur’an masih terjadi perbedaan pendapat.
Al-Qhurtubi meriwayatkan pernyataan Ibn Ath-Thibb
bahwa tertib surat Al-Quran di perselisihkan, Dalam hal ini ada tiga golongan:
a. Tertib surat berdasarkan ijtihad para
sahabat. Pendapat ini diikuti oleh jumhur ulama seperti Imam Malik, Al-Qhadi
Abu Bakr At-Thibb. Beberapa alasan mereka adalah :
1. Tidak ada petunjuk langsung dari Rasulullah
tentang tertib surah dalam Al-Quran.
2. Sahabat pernah mendengar Rasul membaca
Al-Quran berbeda dengan susunan surah sekarang, hal ini di buktikan dengan
munculnya empat buah mushaf dari kalangan sahabat yang berbeda susunannya
antara yang satu dengan yang lainnya. Yaitu mushaf Ali, mushaf ‘Ubay, mushaf
Ibn Mas’ud, mushaf Ibnu Abbas.
3. Mushaf yang ada pada catatan sahabat
berbeda-beda ini menunjukkan bahwa susunan surah tidak ada petunjuk resmi dari
Rasul.
4. Alasan lain adalah riwayat Abu Muhammad
Al-Quraysi bahwa Umar memerintahkan agar mengurutkan surat At-Tiwal. Akan
tetapi, riwayat ini diberi catatan kaki oleh As-Sayuthi agar diteliti kembali.
b. Susunan surat berdasarkan petunjuk
Rasulullah Saw (taukifi).
Di
antara ulama yang yang berpendapat
demikian adalah Al-Qadhi Abu Bakr Al-Anbari, Ibn Hajar, Al-Zarkasyi dan
As-Sayuthi. Alasan yang dikemukakan sebagai berikut :
1. Ijma’ sahabat terhadap mushaf Utsman.
Ijma’ ini tak akan mungkin terjadi kecuali kalau tertib itu tauqifiy,
seandainya bersifat ijtihadiy, niscaya pemilik mushaf lainnya akan berpegang
teguh pada mushafnya.
2. Hadist tentang hijzb Al-Quran yang diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dan Dawud dari Huzaifah As-Syaqafi.
c. Tertib surat sebagian taukifi dan sebagian
ijtihadiy. Di antara yang berpendapat demikian adalah Al-Baihaqi. Menurutnya:
“seluruh surat susunannya berdasarkan tauqif
Rasul kecuali surat Baraah dan Al-Anfal.
Al-Qhadi
Abu Muhammad Ibn Athiyah termasuk golongan ini, Dan alasan Lainnya:
Ternyata
tidak semua nama-nama surah itu diberikan oleh Allah, tapi sebagiannya
diberikan oleh Nabi dan bahkan ada yang diberikan oleh para sahabat. Adapun
yang diberikan oleh Allah adalah misalnya surat Al-Baqarah, At-Taubah, Ali
Imran dll. Nama surah yang diberikan oleh Nabi adalah yang Nabi sendiri
menyebutkan surah tersebut, seperti surah Thaha dan Yasin. Oleh para sahabat
seperti Al-Baro’ah, yaitu surat yang di awali dengan lafal basmalah.[8]
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari
uraian tentang “Munasabah Al-Qur’an” diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ‘Ilm
Munâsabah adalah ilmu tentang keterkaitan antara satu surat/ayat dengan surat/ayat
lainnya yang merupakan bagian dari Ulum al-Qur’an. Ilmu ini posisinya cukup
urgen dalam rangka menjadikan keseluruhan ayat al-Qur’an sebagai satu kesatuan
yang utuh (holistik). Sedangkan Munasabah adalah usaha pemikiran manusia dalam
menggali rahasia hubungan antar ayat atau surat yang dapat diterima oleh akal.
Dengan demikian diharapkan ilmu ini dapat menyingkap rahasia Ilahi, sekaligus
sanggahan-Nya, bagi mereka yang meragukan keberadaan Al-Qur’an sebagai wahyu.
Secara
umum Munasabah terbagi menjadi beberapa macam, yaitu:
1. Munasabah antara surah
dengan surah
2. Munasabah antara nama
surah dengan kandunganya
3. Munasabah antara ayat
dengan ayat dalam surah yang sama.
4. Munasabah antara ayat
dengan ayat dan hubungan antara satu sama lain.
5. Munasabah antara akhir
suatu surat dengan awal surat berikunya.
6. Munasabah antara
kalimah dengan kalimah dalam satu surah.
7. Munasabah awal uraian
surat dengan akhirnya
Pengetahuan antara Munasabah ini
sangat bermanfaat dalam memahami keserasian antara makna, kejelasan,
keterangan, keteraturan susunan kalimatnya dan keindahan gaya bahasa.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ad-Darraz,
‘Abdullah. An-Naba’ Al-‘Azhim, Dar-‘Urubah, Mesir, 1974.
2. al-Zarkasyi,
Badr al-Din. al Burhany fii ulum Al-Qur’an, (beirut:Dar al-Ma’rifah li
al-Tiba’ah wa al_Nasyir, 1972).
3. Ash
Shiddiqy, Hasbi. Sejarah Dan Pengantar Ilmui Tafsir, (Jakarta:Bulan Bintang,
1965).
7. http://www.scribd.com/doc/45969536/Munasabah-Al-Qur-An#scribd
[1]
Badr al-Din al-Zarkasyi,
al Burhany fii ulum Al-Qur’an, (beirut:Dar al-Ma’rifah li al-Tiba’ah wa
al_Nasyir, 1972), hal. 35-36.
[2]
Ibid
[3]
Hasbi Ash Shiddiqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmui Tafsir, (Jakarta:Bulan Bintang,
1965), hal. 95.
[4]
http://ki-stainsamarinda.blogspot.com/2012/09/munasabah-al-quran.html
di akses tanggal 30 mei 2015 pukul 12.00 WIB.
[5]
‘Abdullah
Ad-Darraz, An-Naba’ Al-‘Azhim, Dar-‘Urubah, Mesir, 1974, hlm. 159.
[6]
http://najmadanzahra.blogspot.com/2013/12/makalah-munasabah-ayat-dalam-al-quran.html
di akses tanggal 30 mei 2015 pukul 12.00 WIB.
[7]
http://www.scribd.com/doc/45969536/Munasabah-Al-Qur-An#scribd
di akses tanggal 30 mei 2015 pukul 12.00 WIB.
[8]
http://muhamri03.blogspot.com/2013/12/munasabah-al-quran.html
di akses tanggal 30 mei 2015 pukul 12.00 WIB.
No comments:
Post a Comment