MAKALAH
HAWALAH
Disusun Guna Memenuhi
tugas
Mata Kuliah : sejarah
ekonomi islam
Hari, Jam Kuliah : Selasa,
jam ketiga
Dosen Pengampu : Amirus
Sodiq, Lc., M.A
Disusun Oleh :
Nuril Maftukhan (1420210062)
Kelas/Semester : Ekonomi
Islam B/3
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS JURUSAN
SYARI’AH (EKONOMI SYARI’AH)
TAHUN AKADEMIK 2015/2016
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
MASALAH
Latar
belakang
Islam
adalah agama yang sempurna. Dengan demikian Islam telah mengatur cara hidup
manusia dengan sistem yang serba lengkap. diantaranya, bermuamalah kepada
sesama manusia . Di antara muamalat yang
telah diterapkan kepada kita ialah Al Hiwalah.
Al
Hiwalah merupakan sistem yang unik, yang sesuai untuk diadaptasikan kepada
manusia. Hal ini karena al Hiwalah sangat erat hubungannya dengan kehidupan
manusia .
Al hiwalah sering berlaku dalam permasalahan
hutang piutang. Maka salah satu cara untuk menyelesaikan masalah hutang piutang dalam muamalah adalah al
hiwalah.
Al
Hiwalah bukan saja digunakan untuk menyelesaikan masalah hutang piutang,akan
tetapi bisa juga digunakan sebagai
pemindah dana dari individu kepada individu yang lain atau syarikat dan firma.
sebagai mana telah digunakan oleh sebagian sistem perbankan.
Dalam
hal ini penulis berkesempatan untuk mengkaji tentang al Hiwalah.yang berkaitan
dengan definisi, dalil yang berkaitan,
rukun dan syarat. Penulis juga akan membicarakan mengenai al Hiwalah di dalam
sistem perbankan dan hal lain yang berkaitan dengan hiwalah.[1]
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa
itu hawalah?
2. Apa
dasar hukum hawalah?
3. bagaimana
rukun hawalah?
4. Apa
saja syarat wakalah?
5. Apa
saja jenis-jenis hawalah?
6. Bagaimana
unsur kerelaan dalam hawalah?
7. Bagaimana
beban muhil setelah hawalah?
8. Apa
yang menjadi penyebab berakhirnya hawalah?
9. Bagaimana
pengaplikasian hawalah dalam perbankan?
10. Apa
manfaat dan risko dari Hawalah?
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
PENGERTIAN HAWALAH
Secara bahasa pengalihan hutang dalam hukum islam disebut sebagai hiwalah
yang mempunyai arti lain yaitu Al-intiqal dan Al-tahwil, artinya adalah memindahkan dan mengalihkan.
Penjelasan
yang dimaksud adalah memindahkan hutang dari tanggungan muhil (orang
yang berhutang) menjadi tanggungan muhal'alaih (orang yang melakukan
pembayaran hutang).
Sedangkan pengertian Hiwalah secara
istilah, para Ulama’ berbeda-beda dalam mendefinisikannya, antara lain sebagai
berikut:
Menurut Hanafi,
yang dimaksud hiwalah
نقل المطا لبة من دمة المديون إلى دمة الملتزم
“Memidahkan tagihan
dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab
pula”.
Al-jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan Hiwalah adalah:
نقل الدين من
دمة إلى دمة
“Pemindahan
utang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain”.
Syihab
al-din al-qalyubi bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah:
عقد يقتضى
انتقال دين من دمة إلى دمة
“Akad yang
menetapkan pemindahan beban utang dari seseorang kepada yang lain”.[2]
Jadi,
Al-Hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain
yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalm istilah para
ulama, hali ini merupakan pemindahan beban utang dari muhil (orang yang
berutang) menjadi tanggungan muhal ‘alaih atau orang yang berkewajiban membayar
utang.
Secara sederhana, hal itu dapat dijelaskan
bahwa A (muhal) memberi pinjaman kepada B (muhil), sedangkan B masih mempunyai
piutang pada C (muhal ‘alaih). Begitu B tidak mampu membayar utangnya pada A,
ia lalu mengalihkan beban utangnya pada C. Dengan demikian, C yang harus
membayar utang B kepada A, sedangkan utang C sebelumnya pada B dianggap
selesai.
2.
DASAR HUKUM
HAWALAH
Hawalah
dibolehkan berdasarkan Sunnah dan ijma.
a. Hadits
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari
Abu Hurairah bahwa Rasulullah pernah bersabda,
مَطْلُ
الْغَنِىِّ ظُلْمٌ فَاِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِىِّ فَلْىَتْبَعْ
“menunda pembayaran bagi orang yang sudah
mampu adalah suatu kezaliman. Dan jika salah seorang dari kamu diikutkan
(di-hawalah-kan) kepada orang yang mampu/kaya, terimalah hawalah itu.”
Pada hadits tersebut,
rasulullah memberitahukan kepada orang
ayng mengutangkan, jika orang yang berutang menghawalahkan kepada orang yang
kaya atau mampu, hendaklah ia menerima hawalah tersebut dan hendaklah iamenagih
pada orang yang dihawalahkan (muhal ‘alaih). Dengan demikian,
haknya dapat terpenuhi.
Sebagian ulam berpendapat bahwa perintah
untuk menerima Hawalah dalam hadits tersebut menunjukkan wajib. Oleh sebab itu,
wajib bagi yang mengutangkan (muhal) menerima hawalah. Adapun mayoritas ulam
berpendapat bahwa perintah itu menunjukkan Sunnah. Jadi, Sunnah hukumnya
menerima hawalah bagi muhal.
b. Ijma
Ulama sepakat membolehkan hawalah. Hawalah
di bolehkan pada utang yang tidak berbentuk barang/benda karena hawalah adalah
perpindahan utang. Oleh sebab itu, harus pada uang atau kewajiban finansial.[3]
3.
RUKUN HAWALAH
Menurut
mazhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan melakukan hiwalah) dari
pihak pertama, dan qabul (penyataan menerima hiwalah) dari pihak kedua dan
pihak ketiga.
Menurut
mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali rukun hiwalah ada enam yaitu:
1.
Pihak
pertama, muhil (المحيل):
Yakni orang
yang berhutang dan sekaligus berpiutang,
2.
Pihak kedua,
muhal atau muhtal (المحال او المحتال):
Yakni orang
berpiutang kepada muhil.
3.
Pihak ketiga
muhal ‘alaih (المحال عليه):
Yakni orang
yang berhutang kepada muhil dan wajib membayar hutang kepada muhtal.
4.
Ada
hutang pihak pertama pada pihak kedua, muhal bih (المحال به):
Yakni hutang
muhil kepada muhtal.
5.
Ada hutang
pihak ketiga kepada pihak pertama
Utang muhal
‘alaih kepada muhil.
4. SYARAT
HAWALAH
Syarat-syarat yang diperlukan pihak
pertama (al-muhil) adalah :
1.
Cakap melakukan
tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu baligh dan berakal. Khiwalah
tidak sah bila dilakukan anak-anak meskipun ia sudah mengerti (mumayyiz),
ataupun dilakukan oleh orang gila.
2.
Ada pernyataan
persetujuan atau rida. Jika pihak pertama dipaksa untuk melakukan khiwalah
maka akad itu tidak sah. Adapun persyaratan ini berdasarkan pertimbangan bahwa
sebagian orang merasa keberatan dan terhina harga dirinya, jika kewajibannya
untuk membayar utang dialihkan kepada pihak lain.
Syarat-syarat yang diperlukan oleh pihak
kedua (al-muhal) sebagai berikut :
1.
Cakap melakukan
tindakan hukum, yaitu baligh dan berakal sebagaimana pihak pertama.
2.
Ada persetujuan
pihak kedua terhadap pihak pertama yang melakukan khiwalah. Persyaratan
ini berdasarkan pertimbangan bahwa kebiasaan orang dalam membayar utang
berbeda-beda, ada yang mudah dan ada juga yang sulit membayarnya, sedangkan
menerima pelunasan utang itu merupakan hak pihak kedua.
Syarat-syarat yang diperlukan oleh pihak
ketiga (al-muhal ‘alaih) adalah :
1.
Cakap melakukan
tindakan hukum, yaitu baligh dan berakal sebagaimana pihak pertama dan kedua.
2.
Adanya pernyataan
persetujuan dari pihak ketiga (al-muhal ‘alaih). Hal ini diharuskan
karena tindakan khiwalah merupakan tindakan hukum yang melahirkan
pemindahan kewajiban kepada pihak ketuga (al-muhal ‘alaih) untuk
membayar utang kepada pihak kedua (al-muhal), sedangkan kewajiban
membayar utang baru dapat dibebankan kepadanya, apabila ia sendiri yang
berutang kepada pihak kedua. Atas dasar itu, kewajiban itu hanya dapat
dibebankan kepadanya, jika ia menyetujui akad khiwalah.
3.
Imam Abu Hanifah menambahkan
syarat bahwa qabul atau pernyataan menerima akad harus dilakukan dengan
sempurna oleh pihak ketiga didalam suatu majelis akad.
Syarat-syarat yang diperlukan terhadap
utang yang dialihkan (al-muhal bih) adalah :
1.
Yang dialihkan itu
adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk utang piutang yang telah pasti.
2.
Pembayaran utang
itu mesti sama waktu jatuh tempo pembayarannya. Jika terjadi perbedaan waktu
jatuh tempo pembayaran di antara kedua utang itu, maka khiwalah tidak
sah.
Utang pihak pertama kepada pihak kedua
maupun utang pihak ketiga kepada pihak kedua mestilah sama jumlah dan
kualitasnya. Jika antara kedua utang itu terdapat perbedaan jumlah, misalnya
utang dalam bentuk uang, atau perbedaan kualitas misalnya utang dalam bentuk
barang, maka khiwalah itu tidak sah.[5]
5.
JENIS HAWALAH
Mazhab
Hanafi membagi hawalah menjadi beberapa bagian. Ditinjau dari segi obyek akad,
hawalah dapat dibagi dua:
a.
Hawalah Haq
Hawalah ini
adalah pemindahan piutang dari satu piutang kepada piutang yang lain dalam
bentuk uang bukan dalam bentuk barang. Dalam hal ini yang bertindak sebagai
Muhil adalah pemberi utang dan ia mengalihkan haknya kepada pemberi hutang yang
lain sedangkan orang yang berhutang tidak berubah atau berganti, yang berganti
adalah piutang. Ini terjadi jika piutang A mempunyai hutang kepada piutang B.
b.
Hawalah Dayn
Hawalah ini
adalah pemindahan hutang kepada orang lain yang mempunyai hutang kepadanya. Ini
berbeda dari hawalah Haq. Pada hakekatnya hawalah dayn sama pengertiannya
dengan hawalah yang telah diterangkan di depan.
Sedangkan
dari sisi lain:
a. Hawalah
Muthlaqoh terjadi jika orang yang berhutang (orang pertama) kepada orang lain (
orang kedua) mengalihkan hak penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari
pihak ketiga ini berhutang kepada orang pertama. Jika A berhutang kepada B dan
A mengalihkan hak penagihan B kepada C, sementara C tidak punya hubungan hutang
pituang kepada B, maka hawalah ini disebut Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab
Hanafi dan Syi’ah sedangkan jumhur ulama mengklasifikasikan jenis hawalah ini
sebagai kafalah.
b.
Hawalah
Muqoyyadah terjadi jika Muhil mengalihkan hak penagihan Muhal kepada Muhal
Alaih karena yang terakhir punya hutang kepada Muhal. Inilah hawalah yang boleh
(jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama.
Ketiga madzhab selain madzhab hanafi berpendapat bahwa hanya membolehkan hawalah muqayyadah dan menyariatkan pada hawalah muqayyadah agar utang muhal kepada muhil dan utang muhal alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Jika sudah sama jenis dan jumlahnya, maka sahlah hawalahnya. Tetapi jika salah satunya berbeda, maka hawalah tidak sah.
Ketiga madzhab selain madzhab hanafi berpendapat bahwa hanya membolehkan hawalah muqayyadah dan menyariatkan pada hawalah muqayyadah agar utang muhal kepada muhil dan utang muhal alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Jika sudah sama jenis dan jumlahnya, maka sahlah hawalahnya. Tetapi jika salah satunya berbeda, maka hawalah tidak sah.
6.
UNSUR KERELAAN DALAM HAWALAH
a.
Kerelaan Muhal
Mayoritas ulama Hanafiah, Malikiah dan Syafi’iah
berpendapat bahwa kerelaan muhal (orang yang menerima pindahan) adalah hal yang
wajib dalam hawalah karena hutang yang dipindahkan adalah haknya, maka tidak
dapat dipindahkan dari tanggungan satu orang kepada yang lainnya tanpa
kerelaannya. Demikian ini karena penyelesaian tanggungan itu berbeda-beda, bisa
mudah, sulit, cepat dan tertunda-tunda.
Hanafilah berpendapat bahwa jika muhal ‘alaih (orang
yang berhutang kepada muhil) itu mampu membayar tanpa menunda-nunda dan tidak
membangkang, muhal (orang yang menerima pindahan) wajib menerima pemindahan itu
dan tidak diisyaratkan adanya kerelaan darinya. Mereka mendasarkan hal ini
kepada hadist yang telah diseutkan di atas.
Alasan mayoritas ulama mengenai tidak adanya
kewajibanmuhal (orang yang menerima pindahan) untuk menerima hawalah adalah
karena muhal ‘alaih kondisinya berbeda-beda ada yang mudah membayar dan ada
yang menunda-nunda pembayaran. Dengan demikian, jika muhal ‘alaih mudah dan
cepat membayar hutangnya, dapat dikatakan bahwa muhal wajib menerima hawalah.
Namun jika muhal ‘alaih termasuk orang yang sulit dan suka menunda-nunda
memayar hutangnya, semua ulama berpendapat muhal tidak wajib menerima hawalah.
b.
Kerelaan Muhal ‘Alaih
Mayoritas ulama Malikiah, Syafi’iah dan Hanabilah
berpendapat bahwa tidak ada syarat kerelaan muhal ‘alaih, ini berdasarkan
hadist yang artinya: jika alah seorang
diantara kamu sekalian dipindahkan hutangnya kepada orang kaya, ikutilah
(terimalah). (HR.Bukhari dan Muslim). Di samping itu, hak ada pada muhil
dan ia boleh menerimanya sendiri atau mewakilkan kepada orang lain.
Hanafiah berpendapat bahwa diisyaratkan adanya
kerelaan muhal ‘alaih karena setiap orang mempunyai sikap yang berbeda dalam
menyelesaikan urusan hutang piutangnya, maka ia tidak wajib dengan sesuatu yang
bukan menjadi kewajibannya.
Pendapat
yang rajih (valid) adalah tidak disyaratkan adanya kerelaan muhal ‘alaih. Dan
muhal ‘alaih akan membayar hutangnya dengan jumlah yang sama kepada siapa saja
dari keduanya.
7.
BEBAN MUHIL SETELAH HAWALAH
Apabila
hawalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur. Andaikata
muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hawalah atau meninggal
dunia, maka muhal tidak boleh kemali lagi kepada muhil, hal ini adalah pendapat
ulama jumhur.
Menurut
madzhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal, ternyata muhal ‘alaih orang
fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka muhal boleh
kembali lagi kepada muhil. Menurut imam Malik, orang yang menghawalahkan hutang
kepada orang lain, kemudian muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal
dunia dan ia belum membayar kewajiban, maka muhal tidak boleh kembali kepada
muhil.
Abu Hanifah, Syarih dan Ustman berpendapat bahwa dalam
keadaan muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, maka orang
yang menghutangkan (muhal) kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya
8.
BERAKHIRNYA HAWALAH
Akad hawalah
akan berakhir oleh hal-hal berikut ini.
1. Karena
dibatalkan atau fasakh. Ini terjadi jika akad hawalah belum dilaksanakan sampai
tahapan akhir lalu difasakh. Dalam keadaan ini hak penagihan dari Muhal akan
kembali lagi kepada Muhil.
2. Hilangnya
hak Muhal Alaih karena meninggal dunia atau bangkrut atau ia mengingkari adanya
akad hawalah sementara Muhal tidak dapat menghadirkan bukti atau saksi.
3.
Jika Muhal
alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada Muhal. Ini berarti akad hawalah
benar-benar telah dipenuhi oleh semua pihak.
4.
Meninggalnya
Muhal sementara Muhal alaih mewarisi harta hawalah karena pewarisan merupakah
salah satu sebab kepemilikan. Jika akad ini hawalah muqoyyadah, maka
berakhirlah sudah akad hawalah itu menurut madzhab Hanafi.
5.
Jika Muhal
menghibahkan atau menyedekahkan harta hawalah kepada Muhal Alaih dan ia
menerima hibah tersebut.
9.
APLIKASI HAWALAH DALAM PERBANKAN
Kontrak
hawalah dalam perbankan biasanya diterapkan pada hal-hal berikut.
a. Factoring atau anjak piutang,
dimana para nasabah yang memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan
piutang itu kepada bank, bank lalu membayar piutang tersebut dan bank menagihnya
dari pihak ketiga itu.
b. Post dated check, dimana bank
bertindak sebagai juru tagih, tanpa membayarkan dulu piutang tersebut.
c.
Bill counting.
Secara prinsip. Bill counting serupa dengan hawalah. Hanya saja, dalam bill
counting, nasabah harus membayar fee, sedangkan pembahasan fee
tidak termasuk dalam hawalah.
10. MANFAAT
DAN RISIKO HAWALAH
Seperti diuraikan diatas, akad hawalah
dapat memberikan banyak sekali manfaat dan keuntungan, diantaranya:
a. Memungkinkan
penyelesaian utang dan piutang dengan cepat dan simultan.
b. Tersedianya
talangan dana untuk hibah bagi yang membutuhkan.
c. Dapat
menjadi salah satu fee-based income/sumber pendapatan non pembiayaan
bagi bank syariah.
Adapun risiko yang harus diwaspadai dari
kontrak hawalah adalah adanya kecurangan nasabah dengan memberi invoice
palsu dan wanprestasi (ingkar janji) untuk memenuhi kewajiban hawalah ke bank.[7]
SKEMA
HAWALAH
2. invoice
5. bayar
3. bayar 4. Tagihan
1.suplai barang[8]
BAB IV
PENUTUP
A. SIMPULAN
Hawalah adalah
pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang berutang
kepada orang lain yang wajib menanggungnya.
rukun
hiwalah ada enam yaitu:
1. Pihak
pertama, muhil (المحيل):
Yakni orang yang berhutang dan sekaligus berpiutang,
2. Pihak kedua,
muhal atau muhtal (المحال او المحتال):
Yakni orang berpiutang kepada muhil.
3. Pihak ketiga
muhal ‘alaih (المحال عليه):
Yakni orang yang berhutang kepada muhil dan wajib
membayar hutang kepada muhtal.
4. Ada
hutang pihak pertama pada pihak kedua, muhal bih (المحال به):
Yakni hutang muhil kepada muhtal.
5. Ada hutang
pihak ketiga kepada pihak pertama
Utang muhal ‘alaih kepada muhil.
6. Ada sighoh
(pernyataan hiwalah).
Jenis hawalah berdasarkan obyek akad, hawalah dapat
dibagi dua:
1.
Hawalah
Haq
2.
Hawalah
Dayn
Dari segi lain:
1.
Hawalah
mutlaqah
2.
Hawalah
muqayyadah
Demikianlah makalah tentang
Pemindahan utang piutang (Hawalah) yang dapat kami uraikan, semoga memberikan
manfaat bagi kita dan dapat menambah khazanah keilmuan, khususnya mengenai
bahasan dalam Fiqh Mu’amalah.
B. SARAN
Kami
menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam
tulisan maupun penyusunannya, karena selain kami masih dalam tahap belajar,
kami juga manusia biasa yang tidak akan lepas dari salah dan dosa. Oleh karena
itu, kami mengharapkan kritik dan saran konstruktif pembaca demi perbaikan
makalah kami selanjutmya
C.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Rahman ghazaly dkk, fiqh muamalat, Jakarta, PRENADA MEDIA, 2010,
Moh Rifai , konsep perbankan syariah, semarang,
wicaksana, 2002,
Muhammad
syafii Antonio, bank syariah dari teori ke praktek, jakarta, GEMA INSANI, 2001,
[1]
http://makalahoke.blogspot.co.id/2013/06/makalah-al-hiwalah.html
diakses pada 13 November 2015 pukul 12.30 WIB
[2] http://mindafantastic.blogspot.co.id/2011/09/fiqh-muamalah-hawalah-pemindahan-utang.html
di unduh pada tanggal 17 agustus 2015 pada pukul 20.30 WIB
[3]
Muhammad syafii Antonio, bank syariah dari teori ke praktek, jakarta, GEMA
INSANI, 2001, hlm 126-127
[4]
http://mindafantastic.blogspot.co.id/2011/09/fiqh-muamalah-hawalah-pemindahan-utang.html
di unduh pada tanggal 17 agustus 2015 pada pukul 20.30 WIB
[5]
Abdul Rahman ghazaly dkk, fiqh muamalat, Jakarta, PRENADA MEDIA, 2010, hlm
255-257
[6]
http://mindafantastic.blogspot.co.id/2011/09/fiqh-muamalah-hawalah-pemindahan-utang.html
di unduh pada tanggal 17 agustus 2015 pada pukul 20.30 WIB
[7]
Muhammad syafii Antonio, Opcit, 127
[8]
.Moh Rifai , konsep perbankan
syariah, semarang, wicaksana, 2002, hlm. 88
No comments:
Post a Comment