BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Berbagai permasalahan yang muncul di
tengah-tengah masyarakat, baik yang menyangkut masalah ibadah, aqidah, ekonomi,
sosial, pangan, kesehatan, dan sebagainya seringkali meminta jawaban
kepastiannya dari sudut hukum.
Dalam keadaan yang dimikian, maka berkembanglah salah satu disiplin ilmu
yang dinamakan ilmu Masail Al-fiqhiyah.
Berbagai masalah yang dibicarakan dalam ilmu ini biasanya amat menarik,
unik dan sekaligus problematik. Hal demikian yang terjadi, karena untuk
menjawab berbagai masalah tersebut telah pula bermunculan berbagai jawaban yang
disebabkan karena latar belakang pendekatan dan sistem pemecahan yang digunakan
berbeda-beda.
Pada
masa Nabi Muhammad SAW masih hidup, umat Islam dalam menghadapi suatu persoalan
langsung menanyakan pada Rosulullah dan Rosulullah lah yang langsung memberikan
jawaban. Sehingga tidak ada masalah yang terlalu rumit untuk tidak dapat
diselesaikan, karena segala sesuatu yang datang dari rosullah adalah wahyu yang
haqq dari Allah, sehingga tidak dapat diragukan lagi kebenarannyaNamun,
semuanya berubah setelah Rosulullah meninggal dunia dan mengakibatkan
terputusnya wahyu, sehingga para sahabat dalam menyelesaikan masalah-masalah
yang memerlukan penjelasan hukumnya
Studi yang
menyangkut berbagai masalah Fiqhiyah tersebut berkembang seiring dengan
perkembangan masyarakat sebagai akibat dari kemajuan dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Banyak hal yang dulu tidak ada kini bermunculan yang
selanjutnya menuntut jawaban dari segi hukum.
Karena
dimikian dekatnya masalah hukum ini dengan kehidupan umat islam, menyebabkan
bidang kajian masalah ini sudah akrab dengan masyarakat. Dibandingkan dengan
bidang studi lainnya seperti Tafsir, Hadits, Ilmu Kalam, dan sebagainya.
Fiqihlah yang paling banyak dikenal dan amat popular di masyarakat Indonesia.
Ajaran agama
Islam sangat sesuai dengan perkembangan zaman. Untuk itu perlu adanya upaya
untuk mengaktualisasikan ajaran agama Islam dalam konteks kekinian dan
kemodernan, agar nilai-nilai Islam secara efektif, yang sejalan dengan
perkembangan dan kemajuan dunia modern. Elastisitas dan fleksibilitas hukum
islam yang sering didengungkan makin dituntut pembuktiannya. Oleh karena itu,
kajian fiqih Islam mengenai berbagai persoalan (masail fiqhiyyah) yang dihadapi oleh masyarakat modern merupakan
kajian yang menarik dan aktual.
Dengan masalah
yang sebagaimana dialami oleh masyarakat itulah peran Masail Fiqhiyah untuk
menjawab dari permasalahan tersebut. Maka dari itu perlu diketahui sebelumnya
tentang arti dari Masail Fiqhiyah itu sendiri, ruang lingkup yang dikaji dan tujuan
dari adanya disiplin ilmu Masail Fiqiyah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian
Masail Fiqhiyah ?
2. Bagaimana ruang
lingkup Masail Fiqhiyah ?
3. Bagaimana tujuan
Masail Fiqhiyah ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Masail Fiqhiyah
Kata Masail Fiqhiyah (المسا ئل
الفقهية) secara
etimologi berasal dari bahasa dari bahasa Arab yang merupakan rangkaian dari
dua lafazh, yakni masail dan fiqhiyah. Hubungan dari kedua lafazh ini dalam nahwu disebut hubungan shifah
dan maushuf, atau na’at dengan man’ut. Lafazh masail (مسلئل) adalah bentuk
dari jama’ taksir dari mas’alah (مسئلة) yang bermakna
masalah atau problem. Kata dasarnya adalah sa’ala
(سئل)dan bermakna “bertanya”. Masail adalah masalah-masalah baru yang
muncul akibat pertanyaan-pertanyaan untuk dicari jawabannya.
Masail fiqhiyah
menurut pengertian bahasa adalah permasalahan-permasalahan baru yang bertalian
dengan masalah-masalah atau jenis-jenis hukum (fiqh) dan dicari jawabannya.
Berdasarkan definisi secara kebahasaan di
atas, maka secara istilah, masail fiqhiyah adalah problem-problem hukum islam
baru al-waqi’iyyah (faktual) dan dipertanyakan oleh umat jawaban hukumnya
karena secara eksplisit permasalah tersebut tidak tertuang di dalam
sumber-sumber hukum Islam. Ia juga berarti persoalan hukum Islam yang selalu
dihadapi oleh umat Islam sehingga mereka beraktivitas dalam sehari-hari selalu
bersikap dan berperilaku sesuai dengan tuntunan Islam.
Jadi
masail fiqhiyah merupakan masalah-masalah baru yang muncul setelah turunnya
Al-quran dan hadits dan setelah wafatnya Rasulullah Saw yang belum ada
ketentuan hukum secara pasti, sehingga dalam mencari jawabannya memerlukan
kesepakatan para ulama dalam menentukan hukum yang diambil dari Al-quran,
Hadits, Ijma’, qiyas.
Masail fiqhiyyah disebut juga masail fiqhiyyah al-haditsah (persoalan
hukum Islam yang baru), atau masail
fiqhiyyah al-ashriyyah (persoalan hukum Islam kontemporer).[1]
B. Ruang lingkup
Masail Fiqiyah
Hukum Islam terkandung didalamnya sasaran pasti yaitu
mewujudkan kemaslahatan. Tidak ada hal yang sia-sia di dalam syari’at melalui
Al-Qur’an dan al-Sunnah kecuali terdapat kemaslahatan hakiki di dalamnya.
Ruang lingkup pembahasan Masail fiqhiyah meliputi :
1. Hubungan manusia dengan Allah SWT
Ilmu fiqih mengatur tentang ibadah yaitu ibadah
mahdzah dan ghairu mahdzah. Ibadah
mahdzah adalah ajaran agama yang mengatur perbuatan-perbuatan manusia yang
murni mencerminkan hubungan manusia itu dengan sang pencipta yaitu Allah SWT. Sedangkan ibadah ghairu
mahdzah adalah ajaran agama yang mengatur perbuatan antar manusia itu
sendiri serta manusia dengan lingkungan.
Contoh masail fiqhiyyah yang berhubungan dengan ibadah
yaitu hukum fiqh menyikapi shalat jum’at lebih dari satu tempat (ta’adud al
jum’at). Pada zaman sekarang dalam pelaksanaan shalat jum’at sering memunculkan
beberapa fenomena menarik. Semisal
aturan lokasi pelaksanaan shalat jum’at yang menurut sebagian kalangan harus
terpusat di satu tempat. Hal
ini terkadang menimbulkan masalah disaat keadaan menuntut sebagian masyarakat
membuat lokasi alternatif. Mungkin
anggapan mereka hal itulah yang terbaik dengan alasan kondisi pemukiman,
kapasitas tempat peribadatan dan interaksi sosial di tengah-tengah mereka
adalah faktor-faktor potensial pemicu kejadian semacam itu. Menyikapi perkembangan
di atas, statement mayoritas ulama secara tegas menghukumi wajib melakukan
shalat jum’at di satu tempat dalam sebuah balad atau qaryah. Al-Syafi’i dalam hal ini
berpendapat bahwa shalat jum’at jelas tidak diperkenankan lebih dari satu
tempat, baik ada hajat atau tidak. Namun
istinbath (penggalian) dari ulama syafi’iyyah dalam permasalahan ini akhirnya memperbolehkan dengan batas hajat tertentu.[2]
Faktor pemicu terjadinya ta’adud al-jum’at di atas
sangat luas pemahamannya apabila kita dalami satu persatu. Hanya saja syari’at
mempermudah kita dengan memberikan sebuah standar yang lebih fokus dengan
mengembalikan kepada batasan “urfi (tradisi mayoritas masyarakat) yang ditopang
rasionalisasi tinggi, yaitu semua faktor yang sudah sampai pada tingkat
kesulitan yang diluar batas kemampuan.
Artinya
semisal konflik masyarakat dalam satu daerah sudah sampai menyebabkan antar
pihak sulit berkumpul hingga pada taraf hampir mustahil atau semisal kapasitas
tempat shalat yang terbatas dan tidak memungkinkan menampung seluruh masyarakat
di daerah tersebut, disitulah ta’adud al-jum’at diperbolehkan.[3]
2. Hubungan manusia dengan sesama manusia
Sebagai contoh masail fiqhiyyah yang mengatur hubungan
manusia dengan sesama manusia yaitu mendonorkan organ tubuh. Pendapat pertama mengatakan bahwa transplantasi
seperti hukumnya haram. Meskipun
pendonoran tersebut untuk keperluan medis bahkan sekalipun telah sampai dalam
kondisi darurat.
Dalil pendapat yang pertama yang Artinya adalah : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Dalil pendapat yang pertama yang Artinya adalah : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Kelompok kedua
berpendapat bahwa transplantasi hukumnya jaiz (boleh) namun memiliki
syarat-syarat tertentu, diantaranya adalah : adanya kerelaan dari si pendonor,
kondisi si pendonor harus sudah baligh dan berakal, organ yang didonorkan
bukanlah organ vital yang menentukan
kelangsungan hidup seperti jantung dan paru-paru serta merupakan jalan terakhir
yang memungkinkan untuk mengobati orang yang menderita penyakit tersebut.
Dalil
pendapat kedua yang artinya adalah : Mengapa kamu tidak mau memakan
(binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, Padahal
Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya
atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. dan Sesungguhnya kebanyakan
(dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu
mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.
Dari fatwa
Majelis Ulama Indonesia menyatakan bahwa dalam kondisi tidak ada pilihan lain
yang lebih baik, maka pengambilan organ tubuh orang yang sudah meninggal untuk
kepentingan orang yang masih hidup dapat dibenarkan oleh hukum Islam dengan
syarat ada izin dari yang bersangkutan dan izin dari keluarga atau ahli waris.
3. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri
Contoh masail fiqhiyyah yang mengatur hubungan manusia
dengan dirinya sendiri yaitu tentang hukum rebonding. Rebonding
adalah meluruskan rambut agar rambut jatuh lebih lurus dan lebih indah.
Prosesnya dua tahap. Pertama, rambut diberi krim tahap pertama untuk membuka
ikatan protein rambut. Kemudian rambut dicatok, yaitu diberi perlakuan seperti
disetrika dengan alat pelurus rambut bersuhu tinggi. Kedua, rambut diberi krim
tahap kedua untuk mempertahankan
pelurusan rambut.
Proses rebonding melibatkan proses kimiawi yang
mengubah struktur protein dalam rambut. Proses rebonding menghasilkan perubahan
permanen pada rambut yang terkena aplikasi. Namun rambut baru yang tumbuh dari
akar rambut akan tetap mempunyai bentuk rambut yang asli. Jadi, rebonding bukan
pelurusan rambut biasa yang hanya menggunakan perlakuan fisik, tapi juga
menggunakan perlakuan kimiawi yang mengubah struktur protein dalam rambut
secara permanen. Inilah fakta
(manath) rebonding.
Rebonding hukumnya haram, karena termasuk dalam proses
mengubah ciptaan Allah (taghyir khalqillah) yang telah diharamkan oleh
nash-nash syara’. Dalil keharamannya adalah keumuman firman Allah.
Artinya : “Dan aku (syaithan) akan
menyuruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu mereka benar-benar mengubahnya”.
(QS An-Nisaa` [4] : 119).
Ayat
ini menunjukkan haramnya mengubah ciptaan Allah, karena syaitan tidak menyuruh
manusia kecuali kepada perbuatan dosa. Mengubah ciptaan Allah (taghyir
khalqillah) didefinisikan sebagai proses mengubah sifat sesuatu sehingga
seakan-akan ia menjadi sesuatu yang lain (tahawwul al-syai` ‘an shifatihi hatta
yakuna ka`annahu syaiun akhar), atau dapat berarti menghilangkan sesuatu itu
sendiri (al-izalah).
Dari definisi tersebut, berarti rebonding termasuk
dalam mengubah ciptaan Allah (taghyir khalqillah), karena rebonding telah
mengubah struktur protein dalam rambut secara permanen sehingga mengubah sifat
atau bentuk rambut asli menjadi sifat atau bentuk rambut yang lain. Dengan demikian hukum rebonding adalah haram.
Selain dalil di atas, keharaman rebonding juga
didasarkan pada dalil Qiyas. Dalam hadis Nabi SAW, diriwayatkan oleh Ibnu
Mas’ud RA, dia berkata,“Allah melaknat wanita yang mentato dan yang minta
ditato, yang mencabut bulu alis dan yang minta dicabutkan bulu alisnya, serta
wanita yang merenggangkan giginya untuk kecantikan, mereka telah mengubah
ciptaan Allah.” (HR Bukhari).
Sebagian ulama telah menyimpulkan adanya illat dalam hadis tersebut, sehingga mereka mengambil kesimpulan umum dengan jalan Qiyas, yaitu mengharamkan segala perbuatan yang memenuhi dua unsur illat hukum, yaitu mengubah ciptaan Allah dan mencari kecantikan. Abu Ja’far Ath-Thabari berkata dalam hadis terdapat dalil “ bahwa wanita tidak boleh mengubah sesuatu dari apa saja yang Allah telah menciptakannya atas sifat pada sesuatu itu dengan menambah atau mengurangi, untuk mencari kecantikan, baik untuk suami maupun untuk selain suami.” (Imam Syaukani, Nailul Authar, 10/156; Ibnu Hajar, Fathul Bari, 17/41; Tuhfarul Ahwadzi, 7/91).
Sebagian ulama telah menyimpulkan adanya illat dalam hadis tersebut, sehingga mereka mengambil kesimpulan umum dengan jalan Qiyas, yaitu mengharamkan segala perbuatan yang memenuhi dua unsur illat hukum, yaitu mengubah ciptaan Allah dan mencari kecantikan. Abu Ja’far Ath-Thabari berkata dalam hadis terdapat dalil “ bahwa wanita tidak boleh mengubah sesuatu dari apa saja yang Allah telah menciptakannya atas sifat pada sesuatu itu dengan menambah atau mengurangi, untuk mencari kecantikan, baik untuk suami maupun untuk selain suami.” (Imam Syaukani, Nailul Authar, 10/156; Ibnu Hajar, Fathul Bari, 17/41; Tuhfarul Ahwadzi, 7/91).
Adapun meluruskan atau mengeriting rambut tanpa
perlakuan kimiawi yang mengubah struktur protein rambut secara permanen, yakni
hanya menggunakan perlakuan fisik, seperti menggunakan rol plastik dan yang
semisalnya, hukumnya boleh. Sebab tidak termasuk mengubah ciptaan Allah, tapi
termasuk tazayyun (berhias) yang dibolehkan bahkan dianjurkan syara’, dengan
syarat tidak boleh ditampakkan kepada yang bukan mahrom.
4. Hubungan
manusia dengan alam sekitar
Islam menekankan umatnya untuk menjaga kelestarian
lingkungan dan berlaku arif terhadap alam (ecology wisdom). Akan tetapi,
doktrin tersebut tidak diindahkan. Perusakan lingkungan tidak pernah berhenti.
Eksplorasi alam tidak terukur dan makin merajalela. Dampaknya, ekosistem alam
menjadi limbung. Ini tentunya sangat mengkhawatirkan. Alam akam menjadi amcaman
yang serius. Fiqh
Islam pun tumpul. Fiqh belum mampu menjadi jembatan yang mengantarkan norma
Islam kepada perilaku umat yang sadar lingkungan. Sampai saat ini, belum ada
fiqh yang secara komprehensif dan tematik berbicara tentang persoalan
lingkungan. Fiqh-fiqh klasik yang ditulis oleh para imam mazhab hanya berbicara
persoalan ibadah, mu’amalah, jinayah, munakahat dan lain sebagainya. Sementara,
persoalan lingkungan (ekologi) tidak mendapat tempat yang proporsional dalam khazanah islam klasik. Karena
itulah, merumuskan sebuah fiqh lingkungan (fiqh al-bi’ah) menjadi sebuah
kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Yaitu, sebuah fiqh yang
menjelaskan sebuah aturan tentang perilaku ekologis masyarakat muslim
berdasarkan teks syar’i dengan tujuan mencapai kemaslahatan dan melestarikan lingkungan.[4]
Di kalangan NU
masail fiqhiyyah dibahas dalam forum khusus yang disebut Bahtsul Masail.
Bahtsul masail atau lembaga bahtsul masail diniyah (lembaga masalah-masalah
keagamaan) di lingkungan NU adalah sebuah lembaga yang memberikan fatwa-fatwa hukum keagamaan
kepada umat Islam.[5]
Rambu-rambu
yang tidak boleh dilanggar dalam penetapan hukum adalah :
1.
Tidak boleh merusak akidah
2.
Tidak boleh
mengurangi/menghilangkan martabat manusia
3.
Tidak boleh mendahulukan
kepentingan peroangan atas kepentingan umum
4.
Tidak boleh mengutamakan
hal-hal yang masih samar-samar kemanfaatanyya atas hal-hal yang sudah nyata
kemanfaatannya
5.
Tidak boleh melanggar
ketentuan dasar akhlaq al-karimah
(moralitas manusia).[6]
C. Tujuan Masail Fiqiyah
Masa'il fiqhiyah termasuk menghubungkan seuatu hukum
dengan hukum lainya yang belum ada nashnya dan didasari atas kumpulan hasil
pemahaman para mujtahid terhadap Al-qur'an dan hadits.
Dengan lahirnya masail fiqihiyah atau persoalan-persoalan kontemporer, baik yang sudah terjawab maupun sedang diselesaikan bahkan prediksi munculnya persoalan baru mendorong kaum muslimin belajar dengan giat mentelaah berbagai metodologi penyelesaian masalah mulai dari metode ulama klasik sampai metode ulama kontemporer.
Dengan lahirnya masail fiqihiyah atau persoalan-persoalan kontemporer, baik yang sudah terjawab maupun sedang diselesaikan bahkan prediksi munculnya persoalan baru mendorong kaum muslimin belajar dengan giat mentelaah berbagai metodologi penyelesaian masalah mulai dari metode ulama klasik sampai metode ulama kontemporer.
Dari penjelasan di atas maka tujuan dari Masa'il
fiqhiyah secara umum adalah untuk menjawab dan menyelesaikan
permasalahan-permasalahan baru yang muncul dalam masyarakat di kehidupan modern
yang sering kali jadi pertanyaan-pertanyaan sehingga membutuhkan
jawaban-jawaban logis tentang kepastian hukum. Sedangkan tujuan khususnya
mempelajari Masail Fiqhiyah bagi kita calon-calon pendidik adalah agar nantinya
ketika mengajar kita sudah siap dan dapat menjawab dan menyelesaikan
permasalahan-permasalahan serta pertanyaan-pertanyaaan yang mungkin muncul dari
peserta didik.
Tujuan lain dari adanya masail fiqhiyah adalah :
1.
Sebagai sebuah disiplin
ilmu, Masail Fiqiyah termasuk bidang studi yang paling banyak mengandung
perdebatan, nuansa dan sekaligus keuntungan. Semua itu akan menjadi hikmah dan
rahmat, manakala disikapi secara adil, obyektif, kritis dan dinamis.
2.
Adanya ilmu Masail Fiqiyah
ini menunjukkan kepedulian yang kuat dan mendalam dari kalangan para ahli hukum
islam untuk memberikan jawaban terhadap berbagai masalah yang berkembang.
3.
Berbagai jawaban yang
mereka berikan itu dapat digunakan
sebagai bahan perbandingan dan menambah memperkaya khazanah inteletual.[7]
4.
Ilmu Masail Fiqiyah juga
menunjukkan adanya kebebasan berfikir secara tanggung jawab di kalangan umat
islam dan sekaligus toleransi dan kedewasaan sikap dalam menghadapi berbagai
perbedaan pendapat. [8]
5.
Dengan keilmuan masail fiqhiyyah diharapkan mampu
memahami dengaan baik tentang problema-problema yang timbul dalam Fiqh Islam,
memberikan kemampuan untuk membahas dan memecahkan masalah-masalah Fiqh yang
actual dan memasyarakatkannya dengan pendekatan yang luas, yang tidak hanya
terfokus pada teks-teks fiqih klasik akan tetapi juga pada
pendekatan-pendekatan rasional.[9]
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
1.
Masail fiqhiyah merupakan
masalah-masalah baru yang muncul setelah turunnya Al-quran dan hadits dan
setelah wafatnya Rasulullah Saw yang belum ada ketentuan hukum secara pasti,
sehingga dalam mencari jawabannya memerlukan kesepakatan para ulama dalam
menentukan hukum yang diambil dari Al-quran, Hadits, Ijma’, qiyas.
2.
Ruang lingkup pembahasan
masail fiqhiyah meliputi
a.
Hubungan manusia dengan
Allah SWT
b.
Hubungan manusia dengan
manusia
c.
Hubungan manusia dengan diri
sendiri
d.
Hubungan manusia dengan alam
sekitar
3.
Tujuan masail fiqhiyah
tujuan dari Masa'il fiqhiyah secara umum adalah untuk
menjawab dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan baru yang muncul dalam
masyarakat di kehidupan modern yang sering kali jadi pertanyaan-pertanyaan
sehingga membutuhkan jawaban-jawaban logis tentang kepastian hukum. Sedangkan
tujuan khususnya mempelajari Masail Fiqhiyah bagi kita calon-calon pendidik
adalah agar nantinya ketika mengajar kita sudah siap dan dapat menjawab dan
menyelesaikan permasalahan-permasalahan serta pertanyaan-pertanyaaan yang
mungkin muncul dari peserta didik.
B.
Saran
Demikianlah
makalah yang dapat kami sajikan yang sudah barang tentu banyak kekeliruan baik
dari segi materi maupun penyampain kami. Kami sadar bahwa kami adalah manusia
biasa yang tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan. Maka kami mohon akan
kritik dan saran anda semua serta masukan-masukan yang bersifat membangun demi
masa depannya. Semoga makalah yang kami berikan ini bermanfaat bagi pemakalah
sendiri dan untuk pembaca.
DAFTAR
PUSTAKA
Ash-shiddiq,
Hasby,
Falsafah
Hukum Islam, Bulan Bintang,
Yogyakarta, 1974.
Kasdi, Abdurrohman, Masail Fiqhiyyah Kajian Fiqih atas Masalah-masalah Kontemporer, Nora Media Enterprise, Kudus, 2011.
Nata,
Abuddin, Masail Al-fiqiyah, Preneda
Media, Jakarta, 2003.
Rahmat, Imdadun, Kritik Nalar Fiqih NU : Transformasi
Paradigma Bahtsul Masail, Lakperdas, Jakarta, 2002.
Qomaruzzaman, Paradigma Fiqh Masail Kontekstualisasi
Hasil Bahtsul Masail, Tim Pembukuan Manhaji Bahtsul Masail, Kediri, 2003.
Ardiansyah, velliez, 2012, http://velliezardiansyah.blogspot.com/2012/11/masail fiqhiyyah.html, diakses pada tanggal 02 September 2015 pada pukul
19.22 WIB.
[2] http://velliezardiansyah.blogspot.com/2012/11/masail-fiqhiyyah.html diakses
pada tanggal 02 September 2015 pada pukul 19.22 WIB.
[3] Qomaruzzaman,
Paradigma Fiqh Masail Kontekstualisasi
Hasil Bahtsul Masail, Tim Pembukuan Manhaji Bahtsul Masail, Kediri, 2003,
hal.55-56.
[4] http://velliezardiansyah.blogspot.com/2012/11/masail-fiqhiyyah.html diakses
pada tanggal 02 September 2015 pada pukul 19.22 WIB.
[5] Imdadun
Rahmat, Kritik Nalar Fiqih NU :
Transformasi Paradigma Bahtsul Masail, Lakperdas, Jakarta, 2002, hal.3.
makasih
ReplyDelete