TUGAS MANDIRI
MAKALAH
ILMU QIRAAT
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah ‘Ulum Al-Qur’an
Dosen Pengampu :
Shobirin, M.Ag
Disusun
Oleh :
Silvia
Khoirunnisa’ : 1420210074
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
PRODI EKONOMI SYARI’AH
TAHUN 2015
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah
segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan segala rahmat, taufik dan hidayah-Nya. Sehingga penyusun mampu
menyelesaikan makalah ini.
Shalawat
serta salam kepada sang pendidik sejati Rasulullah SAW, serta para sahabat,
tabi’in dan para umat yang senantiasa berjalan dalam risalahnya. Dengan
terselesainya makalah ini, kami tidak lupa mengucapkan terima kasih yang
setulus-tulusnya kepada semua pihak yang memberikan sumbangan baik moral maupun
spiritual.
Selanjutnya
penyusun menyadari sepenuhnya bahwa dalam makalah ini banyak terdapat
kekurangan, walaupun penyusun sudah berusaha semaksimal mungkin untuk membuat
yang terbaik. Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa di dunia ini tidak ada yang
sempurna. Begitu juga dalam penyusunan makalah ini, yang tidak luput dari
kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, dengan segala
ketulusan dan kerendahan hati penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang
bersifat konstruktif demi penyempurnaan makalah ini. Akhirnya penyusun berharap semoga makalah ini
dapat bermanfaat. Amiin.
Kudus,
31 Mei 2015
Penyusun,
Silvia
Khoirunnisa’
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR……………………………………………..……….……...2
DAFTAR
ISI…………………………………...………………………………….3
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG………….……………………………………….4
B. RUMUSAN MASALAH……………………………………………….4
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian
Qiraat…….……………………...………………….………..5
B. Sejarah
Perkembangan Qiraat….….……………………….……………5
C. Syarat-syarat
Sahnya Qiraat……………………………………………..8
BAB III PENUTUP
A KESIMPULAN…………………...…………………………….……...10
B. SARAN-SARAN…….………………………………….…...….……..10
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Qiraat merupakan salah satu cabang ilmu
dalam ‘Ulum al-Qur’an, namun tidak banyak orang yang tertarik kepadanya,
kecuali orang-orang tertentu saja, biasanya kalangan akademik. Banyak faktor
yang menyebabkan hal itu, di antaranya adalah, ilmu ini tidak berhubungan
langsung dengan kehidupan dan muamalah manusia sehari-hari; tidak seperti ilmu
fiqih, hadis, dan tafsir misalnya,yang dapat dikatakan berhubungan langsung dengan
kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan ilmu qira’at tidak mempelajari
masalah-masalah yang berkaitan secara langsung dengan halal-haram atau
hukum-hukum tertentu dalam kehidupan manusia.
Selain itu, ilmu ini juga cukup rumit
untuk dipelajari, banyak hal yang harus diketahui oleh peminat ilmu qira’at
ini, yang terpenting adalah pengenalan al-Qur’an secara mendalam dalam banyak
seginya, bahkan hafal sebagian besar dari ayat-ayat al-Qur’an merupakan salah
satu kunci memasuki gerbang ilmu ini; pengetahuan bahasa Arab yang mendalam dan
luas dalam berbagai seginya, juga merupakan alat pokok dalam menggeluti ilmu
ini, pengenalan berbagai macam qiraat dan para perawinya adalah hal yang mutlak
bagi pengkaji ilmu ini. Hal-hal inilah barangkali yang menjadikan ilmu ini
tidak begitu populer.
Meskipun demikian keadaannya, ilmu ini
telah sangat berjasa dalam menggali, menjaga dan mengajarkan berbagai “cara
membaca” al-Qur’an yang benar sesuai dengan yang telah diajarkan Rasulullah
SAW. Para ahli qiraat telah mencurahkan segala kemampuannya demi
mengembangkan ilmu ini. Ketelitian dan kehati-hatian mereka telah menjadikan
al-Qur’an terjaga dari adanya kemungkinan penyelewengan dan masuknya
unsur-unsur asing yang dapat merusak kemurnian al-Qur’an. Tulisan singkat ini akan
memaparkan secara global tentang ilmu Qira’at al-Qur’an, dapat dikatakan
sebagai pengenalan awal terhadap Ilmu Qira’at al-Qur’an.
B. RUMUSAN MASALAH
Secara
garis besar terdapat beberapa rumusan masalah, diantaranya:
A. Pengertian Qiraat.
B. Sejarah Perkembangan Qiraat.
C. Syarat-syarat Sahnya Qiraat.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Qiraat
Qira’at menurut bahasa berupa isim masdar dari
lafal qara’a (fi’il madhi), yang berarti membaca. Maka qira’at berarti bacaan
atau membaca.
Secara
istilah, Qira-at ialah salah satu cara membaca Alqur’an yang selaras dengan
kaidah bahasa Arab, dan sanadnya mutawatir serta cocok dengan salah satu dari
beberapa mushaf Utsman. Terdapat beberapa
definisi mengenai arti Qira’at, yakni :
1.
Menurut Al-Zarqani dalam buku Manaahilul
Irfan. Qira’at adalah suatu cara membaca Alqur’an yang dipilih oleh salah
seorang imam ahli qira’at, yang berbeda dengan cara orang lain dalam mengucapkan Al-Quranil Karim, sekalipun
riwayat (sanad) dan jalannya sama.
2.
Menurut Ibnu Al-Jazari dalam kitab Manjidul Muqri’in. Qira’at
adalah ilmu mengenai cara pengungkapan kalimat-kalimat Alqur’an dan
perbedaan-perbedaannya.[1]
Ada beberapa kata kunci dalam membicarakan qiraat yang harus
diketahui. Kata kunci tersebut adalah qira’at, riwayat dan tariqah. Berikut ini
akan dipaparkan pengetian dan perbedaan antara qira’at dengan riwayat dan
tariqah, sebagai berikut : Qira’at adalah bacaan yang disandarkan kepada salah
seorang imam dari qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas; seperti qira’at
Nafi’, qira’at Ibn Kasir, qira’at Ya’qub dan lain sebagainya.
Sedangkan Riwayat adalah bacaan yang disandarkan kepada
salah seorang perawi dari para qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas.
Misalnya, Nafi’ mempunyai dua orang perawi, yaitu Qalun dan Warsy, maka disebut
dengan riwayat Qalun ‘anNafi’ atau riwayat Warsy ‘an Nafi’.
Adapun yang dimaksud dengan tariqah adalah bacaan yang
disandarkan kepada orang yang mengambil qira’at dari periwayat qurra’ yang
tujuh, sepuluh atau empat belas. Misalnya, Warsy mempunyai dua murid yaitu
al-Azraq dan al-Asbahani, maka disebut tariq al-Azraq ‘an Warsy, atau riwayat
Warsy min thariq al-Azraq. Bisa juga disebut dengan qira’at Nafi’ min riwayati
Warsy min tariq al-Azraq.[2]
B.
Sejarah
Perkembangan Qiraat
Pembahasan
tentang sejarah dan perkembangan ilmu qira’at ini dimulai dengan adanya
perbedaan pendapat tentang waktu mulai diturunkannya qira’at. Ada dua
pendapat tentang hal ini;
Pertama, qira’at mulai diturunkan di
Makkah bersamaan dengan turunnya al-Qur’an. Alasannya adalah bahwa sebagian
besar surat-surat al-Qur’an adalah Makkiyah di mana terdapat juga di dalamnya
qira’at sebagaimana yang terdapat pada surat-surat Madaniyah. Hal ini
menunjukkan bahwa qira’at itu sudah mulai diturunkan sejak di Makkah.
Kedua, qira’at mulai diturunkan di
Madinah sesudah peristiwa Hijrah, dimana orang-orang yang masuk Islam sudah
banyak dan saling berbeda ungkapan bahasa Arab dan dialeknya. Pendapat ini
dikuatkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya,
demikian juga Ibn Jarir al-Tabari dalam kitab tafsirnya. Hadis yang panjang
tersebut menunjukkan tentang waktu dibolehkannya membaca al-Qur’an dengan tujuh
huruf adalah sesudah Hijrah, sebab sumber air Bani Gaffar – yang disebutkan
dalam hadis tersebut--terletak di dekat kota Madinah.
Kuatnya
pendapat yang kedua ini tidak berarti menolak membaca surat-surat yang
diturunkan di Makkah dalam tujuh huruf, karena ada hadis yang menceritakan
tentang adanya perselisihan dalam bacaan surat al-Furqan yang termasuk dalam
surat Makkiyah, jadi jelas bahwa dalam surat-surat Makkiyah juga dalam tujuh
huruf.
Ketika
mushaf disalin pada masa Usman bin Affan, tulisannya sengaja tidak diberi titik
dan harakat, sehingga kalimat-kalimatnya dapat menampung lebih dari satu
qira’at yang berbeda. Jika tidak bisa dicakup oleh satu kalimat, maka ditulis
pada mushaf yang lain. Demikian seterusnya, sehingga mushaf Usmani mencakup
ahruf sab’ah dan berbagai qira’at yang ada.
Periwayatan
dan Talaqqi (si guru membaca dan murid mengikuti bacaan tersebut) dari
orang-orang yang tsiqoh dan dipercaya merupakan kunci utama pengambilan qira’at
al-Qur’an secara benar dan tepat sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW
kepada para sahabatnya. Para sahabat berbeda-beda ketika menerima qira’at dari
Rasulullah. Ketika Usman mengirimkan mushaf-mushaf ke berbagai kota Islam,
beliau menyertakan orang yang sesuai qiraatnya dengan mushaf tersebut.
Qira’at orang-orang ini berbeda-beda satu sama lain, sebagaimana mereka
mengambil qira’at dari sahabat yang berbeda pula, sedangkan sahabat juga
berbeda-beda dalam mengambil qira’at dari Rasulullah SAW.
Dapat
disebutkan di sini para Sahabat ahli qira’at, antara lain adalah : Usman bin
Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Ibn Mas’ud,
Abu al-Darda’, dan Abu Musa al-‘Asy’ari.
Para
sahabat kemudian menyebar ke seluruh pelosok negeri Islam dengan membawa
qira’at masing-masing. Hal ini menyebabkan berbeda-beda juga ketika Tabi’in
mengambil qira’at dari para Sahabat. Demikian halnya dengan Tabiut-tabi’in yang
berbeda-beda dalam mengambil qira’at dari para Tabi’in.
Ahli-ahli
qira’at di kalangan Tabi’in juga telah menyebar di berbagai kota. Para Tabi’in
ahli qira’at yang tinggal di Madinah antara lain : Ibn al-Musayyab, ‘Urwah,
Salim, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman dan’Ata’ (keduanya putra Yasar), Muadz bin
Harits yang terkenal dengan Mu’ad al-Qari’, Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj,
Ibn Syihab al-Zuhri, Muslim bin Jundab dan Zaid bin Aslam.
Yang
tinggal di Makkah, yaitu: ‘Ubaid bin’Umair, ‘Ata’ bin Abu Rabah, Tawus,
Mujahid, ‘Ikrimah dan Ibn Abu Malikah.
Tabi’in yang tinggal di Kufah, ialah
: ‘Alqamah, al-Aswad, Maruq, ‘Ubaidah, ‘Amr bin Surahbil, al-Haris bin
Qais,’Amr bin Maimun, Abu Abdurrahman al-Sulami, Said bin Jabir, al-Nakha’i dan
al-Sya'bi.
Sementara
Tabi’in yang tinggal di Basrah , adalah Abu ‘Aliyah, Abu Raja’, Nasr bin ‘Asim,
Yahya bin Ya’mar, al-Hasan, Ibn Sirin dan Qatadah.
Sedangkan Tabi’in yang tinggal di
Syam adalah : al-Mugirah bin Abu Syihab al-Makhzumi dan Khalid bin Sa’d.
Keadaan
ini terus berlangsung sehingga muncul para imam qiraat yang termasyhur, yang
mengkhususkan diri dalam qira’at – qira’at tertentu dan mengajarkan qira’at
mereka masing-masing.
Perkembangan
selanjutnya ditandai dengan munculnya masa pembukuan qira’at. Para ahli sejarah
menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qira’at adalah
Imam Abu Ubaid al-Qasim bin Salam yang wafat pada tahun 224 H. Ia menulis kitab
yang diberi nama al-Qira’at yang menghimpun qiraat dari 25 orang perawi. Pendapat
lain menyatakan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qiraat adalah
Husain bin Usman bin Tsabit al-Baghdadi al-Dharir yang wafat pada tahun 378
H. Dengan demikian mulai saat itu qira’at menjadi ilmu tersendiri dalam
‘Ulum al-Qur’an.
Menurut
Sya’ban Muhammad Ismail, kedua pendapat itu dapat dikompromikan. Orang yang
pertama kali menulis masalah qiraat dalam bentuk prosa adalah al-Qasim bin
Salam, dan orang yang pertama kali menullis tentang qira’at sab’ah dalam bentuk
puisi adalah Husain bin Usman al-Baghdadi.
Pada
penghujung Abad ke III Hijriyah, Ibn Mujahid menyusun qira’at Sab’ah dalam
kitabnya Kitab al-Sab’ah. Dia hanya memasukkan para imam qiraat yang terkenal
siqat dan amanah serta panjang pengabdiannya dalam mengajarkan al-Qur’an, yang
berjumlah tujuh orang. Tentunya masih banyak imam qira’at yanng lain yang dapat
dimasukkan dalam kitabnya.
Ibn
Mujahid menamakan kitabnya dengan Kitab al-Sab’ah hanyalah secara kebetulan,
tanpa ada maksud tertentu. Setelah munculnya kitab ini, orang-orang awam
menyangka bahwa yang dimaksud dengan ahruf sab’ah adalah qira’at sab’ah
oleh Ibn Mujahid ini. Padahal masih banyak lagi imam qira’at lain yang kadar
kemampuannya setara dengan tujuh imam qira’at dalam kitab Ibn Mujahid
Abu
al-Abbas bin Ammar mengecam Ibn Mujahid karena telah mengumpulkan qira’at
sab’ah. Menurutnya Ibn Mujahid telah melakukan hal yang tidak selayaknya
dilakukan, yang mengaburkan pengertian orang awam bahwa Qiraat Sab’ah itu
adalah ahruf sab’ah seperti dalam hadis Nabi itu. Dia juga menyatakan, tentunya
akan lebih baik jika Ibn Mujahid mau mengurangi atau menambah jumlahnya dari
tujuh, agar tidak terjadi syubhat.
Banyak
sekali kitab-kitab qiraat yang ditulis para ulama setelah Kitab Sab’ah ini.
Yang paling terkenal diantaranya adalah : al-Taysir fi al-Qiraat al-Sab’i
yang diisusun oleh Abu Amr al-Dani, Matan al-Syatibiyah fi Qira’at al-Sab’i
karya Imam al-Syatibi, al-Nasyr fi Qira’at al-‘Asyr karya Ibn al-Jazari dan
Itaf Fudala’ al-Basyar fi al-Qira’at al-Arba’ah ‘Asyara karya Imam al-Dimyati
al-Banna. Masih banyak lagi kitab-kitab lain tentang qira’at yang
membahas qiraat dari berbagai segi secara luas, hingga saat ini.[3]
C.
Syarat-syarat Sahnya Qiraat
Para ulama menetapkan tiga syarat sah dan
diterimanya qiraat. yaitu :
1. Sesuai dengan salah satu kaidah bahasa Arab.
2. Sesuai dengan tulisan pada salah satu mushaf Usmani,
walaupun hanya tersirat.
3. Shahih sanadnya.
Yang
dimaksud dengan “sesuai dengan salah satu kaidah bahasa Arab“ ialah: tidak
menyalahi salah satu segi dari segi-segi qawa’id bahasa Arab, baik bahasa
Arab yang paling fasih ataupun sekedar fasih, atau berbeda sedikit tetapi tidak
mempengaruhi maknanya. Yang lebih dijadikan pegangan adalah qiraat yang telah
tersebar secara luas dan diterima para imam dengan sanad yang shahih.
Sementara
yang dimaksud dengan “sesuai dengan salah satu tulisan pada mushaf Usmani”
adalah sesuainya qiraat itu dengan tulisan pada salah satu mushaf yang ditulis
oleh panitia yang dibentuk oleh Usman bin ‘Affan dan dikirimkannya ke kota-kota
besar Islam pada masa itu.
Mengenai
maksud dari “shahih sanadnya” ini ulama berbeda pendapat. Sebagian menganggap
cukup dengan shahih saja, sebagian yang lain mensyaratkan harus mutawatir.
Syaikh
Makki bin Abu Talib al-Qaisi menyatakan : “Qiraat shahih adalah qiraat yang
shahih sanadnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW, ungkapan kalimatnya sempurna
menurut kaedah tata bahasa Arab dan sesuai dengan tulisan pada salah satu
mushaf Usmani.” Pendapat ini diikuti oleh Ibnl Jazari, sebagaimana disebutkan
dalam kitabnya Tayyibatun Nasyar fi al-Qira’at al-‘Asyar..
Menurut
Sya’ban Muhammad Ismail, mengutip pendapat al-Shafaaqasi, pendapat ini lemah
karena membawa akibat tidak adanya perbedaan antara al-Qur’an dengan yang bukan
al-Qur’an.
Akan
tetapi pada kesempatan lain, Ibnl Jazari mensyaratkan mutawatir untuk
diterimanya qiraat yang shahih, seperti disebutkan pada kitabnya Munjid
al-Muqriin wa Mursyid al-Talibin. Jadi, mungkin yang dimaksud dengan
“shahih sanadnya” oleh Ibnl Jazari di sini adalah Mutawatir.
Menurut
Imam al-Nuwairi : “ Meniadakan syarat mutawatir adalah pendapat yang baru,
bertentangan dengan ijma’ para ahli fiqih, ahli hadis dan yang lain-lain. Sebab
al-Qur’an menurut jumhur ulama empat mazhab yang terkemuka adalah kalamullah
yang diriwayatkan secara mutawatir dan dituliskan pada mushaf. Semua
orang yang memegang definisi ini pasti mensyaratkan mutawatir, sebagaimana yang
dikatakan oleh Ibn Hajib. Dengan demikian, menurut para imam dan pemuka mazhab
yang empat, syarat mutawatir itu merupakan keharusan. Banyak orang yang secara
jelas menerangkan pendapat ini seperti Abu Abdul Barr, al-Azra’i, Ibn ‘Athiyah,
al-Zarkasyi dan al-Asnawi. Pendapat yang mensyaratkan mutawatir inipun telah
menjadi ijma’ para ahli qiraat. Tidak ada ulama mutaakhirin yang tidak
sependapat kecuali al-Makki dan beberapa orang lainnya.”[4]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan tentang qiraat di atas dapat
diambil beberapa kesimpulan, sebagai berikut :
Qira-at
ialah salah satu cara membaca Alqur’an yang selaras dengan kaidah bahasa Arab,
dan sanadnya mutawatir serta cocok dengan salah satu dari beberapa mushaf
Utsman.
Syarat-syarat Sahnya Qiraat
1. Sesuai dengan salah satu kaidah bahasa Arab.
2. Sesuai dengan tulisan pada salah satu mushaf Usmani.
3. Shahih sanadnya.
B.Saran-Saran
Dengan selesainya makalah ini tentunya masih
banyak yang kurang di dalamnyai maka dari itu kami mengharapkan kritikan dan
saran yang sifatnya membangun dari Bapak dosen yang membawakan mata
kuliah ini.
Selanjutnya
selaku Penyusun makalah ini kami hanya memberikan himbauan khususnya kepada
teman-teman mahasiswa karena seperti yang kita ketahui bahwa mahasiswa “agent
social of change dan agent social of control”, maka untuk mengaplikasikannya
itu maka kita dituntut untuk mengadakan inovasi dan tidak lupa kita harus
membenahi diri kekurangan yang ada untuk menuju kesempurnaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qattan, Manna Khalil.2001. Mabahis Fi Ulumil Qur’an.Jakarta. Al-hidayah.
Abdul, Djalal.1998. Ulumul
Quran.Surabaya. Dunia Ilmu
No comments:
Post a Comment