Makalah
Isro’iliyyat
Disusun
guna memenuhi tugas
Mata
Kuliah : Ulumul Qur’an
Dosen
Pengampu : Shobirin, M.Ag
Disusun
oleh :
Iwan
Bachtiar Asrori (1420210076)
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN
SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
PRODI
EKONOMI SYARI’AH
TAHUN
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam adalah agama
penyempurna dari agama-agama samawi sebelumnya yang dibawa oleh Penutup Para
Nabi Muhammad SAW.dengan berpegang pada kitab suci al-Qur’an yang merupakan
satu-satunya kitab samawi yang Allah janjikan keutuhan dan keotentikan
kebenarannya hingga akhir zaman. Sebagaimana firman Allah yang
berbunyi
إِنَّا نحنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَ إِنَّا له لحَافِظُوْنَ.
Allah
telah menurunkan empat kitab samawi serta banyak mushaf kepada Nabi dan
Rasul-Nya. Yang kesemuanya memiliki beberapa kesamaan dalam pembahasannya.
Namun seiring berjalannya waktu, kitab-kitab terdahulu telah banyak berubah
disebabkan tangan-tangan pemegangnya yang tidak bertanggung jawab dan
kepentingan pribadi yang penuh syahwat duniawi. Karena itu, hanya satu kitab
samawi yang masih terjaga keutuhannya hingga saat ini, yaitu kitab suci
al-Qur’an al-Karim.
Sebagai sumber utama
syariat islam, al-Qur’an mendapat perhatian penting oleh penganutnya. Semua
penganutnyapun ingin hidup seutuhnya berdasarkan tuntunan yang tremaktub di
dalamnya.Namun, bahasa Tuhan yang begitu agung sulit dipahami seutuhnya oleh
hamba-Nya yang terlalu jauh dari sempurna.Karenanya dibutuhkan pentafsir atau
penjelas untuk mempermudah memahaminya dan mengaplikasikan hukum-hukum yang ada
di dalamnya. Baik berupa penjelasan yang dijabarkan oleh Rasulullah SAW ataupun
kalam sahabat dan alim ulama yang ‘amiq ilmu pengetahuannya.
Maka muncullah sebuah
alat pembantu untuk memahaminya yang bernama Tafsir al-Qur’an. Tafsir ini
merupakan alat pembantu yang sangat membantu muslim awam untuk memahami kitab
sucinya dengan baik.
Dibalik keistimewaan
ilmu tafsir yang dapat mempermudah manusia untuk memahami al-Qur’an dengan baik
dan benar, terdapat beberapa hal yang juga dapat menjerumuskan pembaca dan
peminatnya pada kesalahan yang jauh menyimpang dari syari’at.Hal ini disebabkan
karena banyaknya riwayat-riwayat israiliyyat yang masuk ke dalam tafsir
al-Qur’an.
Terkontaminasinya
tafsir al-Qur’an dengan riwayat israiliyyat mempunyai beberapa faktor dan juga
memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap keimanan seseorang. Karenanya
kita harus mengetahui dan harus bisa membedakan agar kita tidak salah dalam
memahami kitab suci al-Qur’an yang merupakan sumber utama syariat islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan Isro’iliyyat ?
2.
Bagaimana
sejarah munculnya Isro’iliyyat ?
3.
Sebutkan
macam-macam Isro’iliyyat ?
4.
Apa pendapat ulama tentang Isro’illiyyat ?
5.
Apa fungsi mempelajari Isro’illiyyat ?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Israiliyyat
Kata
israiliyyat adalah bentuk jama’ israiliyyah. Ada beberapa pengertian
yang di pakai untuk menjelaskan arti israiliyyat,
namun secara umum pengertian israiliyyat
adalah kisah atau berita yang diriwayatkan dari sumber-sumber yang berasal dari
orang Isroil. Isroil (bahasa Ibraniyah: isra artinya hamba dan il artinya
Tuhan/Allah) merupakan gelar yang diberikan kepada nabi Yakub bin Ishaq bin
Ibrahim. Maka Bani Isroil adalah sebutan untuk anak keturunan nabi Yakub. Nama
ini kemudian di hubungkan dengan Yahudi, sehingga orang-orang Yahudi disebut
juga Bani Isroil.
Para
ulama menggunakan istilah Israiliyyat
untuk riwayat yang di dapat dari orang-orang Yahudi atau Nasrani, baik berupa
kisah-kisah atau dongengan yang umumnya berkaitan dengan fakta-fakta sejarah,
keadaan umat islam pada masa lampau dan berbagai hal yang pernah terjadi pada
para nabi dan Rosul, serta informasi tentang penciptaan manusian dan alam.
Selanjutnya istilah Israiliyyat juga
di tujukan untuk penafsiran kisah-kisah dalam al-Quran yang tidak diketahui
sumber dan asal usulnya, atau di sebut juga al-dhakil, yang banyak terdapat
dalam kitab-kitab tafsir lama.
Israiliyyat
digunakan dalam penafsiran dikarenakan ada kesamaan antara al-Quran dengan
Turat dan Injil dalam sejumlah masalah, khususnya mengenai kisah-kisah umat
terdahulu, di mana dalam al-Quran di kisahkan secara singkat (ijaz), namun
dalam kitab-kitab sebelumnya di bahas secara panjang lebar (ithnab).
Secara
istilah para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan israiliyyat.
a). Menurut adz-Dhazabi israiliyyat mengandung dua pengertian ;
Pertama, kisah dan dongeng yang di
sususpkan dalam tafsir dan hadits yang asal periwayatanya kembali kepada
sumbernya yaitu, Yahudi, Nasrani dan yang lainya
Kedua, cerita-cerita yang sengaja di
selundupkan oleh musuh-musuh islam ke dalam tafsir dan hadits yang sama sekali
tidak di jumpai dasarnya dalam sumber-sumber lama.
b).
Menurut asy-Syarbasi adalah kisah-kisah dan berita-berita yang berhasil di
selundupkan oleh orang-orang Yahudi ke dalam Islam. Kisah-kisah dan kebohongan
mereka kemudian di serap oleh umat islam.
c). Menurut Sayyid Ahmda Khalil
mendefinisikan israiliyyat dengan
riwayat-riwayat yang berasal dari ahli kitab, baik yang berhubungan engan agama
mereka amaupunn yang tidak ada hubunganya sama sekali.
Penisbahan
riwayat israiliyyat kepada orang orang yahudi karena para perawinya berasal
dari kalangan mereka yang sudah masuk islam.
2.
Sejarah Israilliyat
Israiliyat masuk ke bangsa Arab diperkirakan tahun 70
M, yaitu sebelum Islam datang. Pada saat itu orang-orang Ahli Kitab yaitu
Yahudi telah melakukan migrasi ke Jazirah Arab untuk menghindari penyiksaan dan
kebrutalan yang dilakukan kaisar Titus Romawi yang hendak menjajahnya dengan
membakar dan menghancurkan Yerussalem. Mereka datang ke Jazirah Arab dengan
membawa kebudayaan dan keyakinan agama yang bersumber dari kitab-kitab mereka.
Selain itu, orang-orang Arab pra-Islam pun sering melakukan perjalanan untuk
berniaga ke negeri Yaman pada musim dingin dan ke negeri Syam pada musim panas.
Di kedua kota inilah banyak berdiam para Ahli Kitab. Sehingga sangat
memungkinkan terjadi interaksi dan komunikasi. Sebagai konsekuensi akulturasi
budaya dan ilmu pengetahuan tersebut, maka Israiliyat dan pengetahuan Yahudi
berkembang di tengah-tengah masyarakat bangsa Arab dan sebaliknya kaum Yahudi
juga memperoleh pengetahuan dari orang-orang Arab.
Interaksi dan komunikasi antara orang-orang Arab
dengan kaum Yahudi terus berlanjut hingga Islam datang. Perkembngan Islam
semakin pesat ketika Nabi hijrah ke Madinah. Disanalah Nabi dan pengikutnya
diterima dengan baik oleh kaum Anshar. Di Madinah inilah banyak menetap
kelompok Yahudi, seperti Bani Qainuqa’, Bani Quraidzah, Bani Al Nadir, suku
Khazraj, Khaibah, Fadak, suku Aus, dll. Antara umat Muslim dengan kaum Yahudi
dapat hidup berdampingan, sehingga mereka bisa saling bertukar informasi
mengenai berbagai masalah keagamaan ataupun masalah lainnya. Bahkan,
orang-orang Yahudi sering bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai kebenaran
beliau sebagai Nabi dan utusan Allah. Pertanyaan-pertanyaan itu dapat dijawab
Rasulullah dengan berbagai bukti sehingga meyakinkan mereka yang bertanya akan
kebenaran Allah dan utusanNya.
Ada beberapa pendapat lain yang menyatakan tentang
masuknya Israiliyat dalam Islam :
1. Semakin banyaknya
orang-orang Yahudi yang masuk Islam. Mereka yang masuk Islam dari kalangan
Yahudi dan Nasrani adalah kaum yang berperadaban tinggi. Tatkala masuk Islam
mereka tidak melepaskan seluruh ajaran-ajaran yang mereka anut lebih dahulu,
sehingga pemahamannya sering tercampur antara ajaran Islam dengan ajaran
terdahulu. Disamping itu, bangsa Arab tidak banyak tahu perihal kitab-kitab
terdahulu. Jika mereka ingin tahu tentang kejadian penciptaan alam atau
kejadian penting lainnya yang tidak dijelaskan secara rinci di dalam
al-Qur’an, mereka bertanya kepada Ahli
Kitab.
2. Adanya keinginan dari
kaum Muslim pada waktu itu untuk mengetahui sepenuhnya tentang seluk beluk
bangsa Yahudi yang berperadaban tinggi. Maka, muncullah kelompok mufassir yang
berusaha meraih kesempatan itu dengan memasukkan kisah Israiliyat tersebut
dalam penafsiran mereka terhadap kisah yang ada dalam Al-Qur’an. Akibatnya,
tafsir itu penuh dengan kesimpang siuran, bahkan mendekati khurafat dan
tahayul.
3. Adanya ulama Yahudi
yang masuk Islam, seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab Al Ahbar, Wahab bin
Munabih, Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij. Para ulama saling berbeda
pendapat dalam mempercayai Ahli Kitab tersebut. Pertentangan yang paling sengit
adalah tentang Ka’ab Al Ahbar. Sedangkan Abdullah bin Salam adalah orang yang
paling tinggi kedudukannya, sehingga imam Bukhori sering meriwayatkan hadisnya.
Hasbi Ash-Shiddieqy menjelaskan bahwa pada mulanya
Isra’iliyat masuk ke dalam tafsir ketika para sahabat ingin berargumentasi
dengan sumber yang berasal dari Yahudi atau Nasrani mengenai kebenaran risalah
Nabi SAW. Abdullah bin Umar meriwayatkan isi kitab Taurat hanya untuk
menyatakan keterangan guna menentang Ahli Kitab tersebut. Dalam hal ini, para
Ahli Kitab terkadang memaparkan rincian kisah-kisah dalam al-Qur’an seperti
kisah yang terdapat dalam kitab mereka. Sehingga para sahabat cukup
berhati-hati terhadap kisah-kisah yang mereka bawakan. Sesuai dengan pesan
Rasulullah
“Janganlah kamu membenarkan (berita-berita
yang dibawa) Ahli Kitab dan jangan pula mendustakannya, tetapi katakanlah, Kami
beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami….” (HR.
Bukhari)
Para sahabat akan menerima rincian dari kisah-kisah
Israiliyat dalam dialog dengan Ahli Kitab, sejauh tidak menyentuh masalah
akidah dan hukum. Perincian kisah-kisah yang diterima, terkadang diceritakan
juga oleh para sahabat, hal tersebut diperkenankan.
3.
Macam- macam
Israilliyat
Israiliyat memiliki beberapa macam yang didasarkan
pada dua tinjauan. Israiliyat apabila ditinjau dari syariat Islamiyah, dibagi
menjadi tiga macam, yaitu:
1.
Kisah yang dibenarkan oleh Islam
atau Khabariyah al Shidqu
yaitu
israiliyat yang bisa dibenarkan isinya, yaitu apabila isinya sesuai dengan
kandungan alquran dan sunah nabi. Contohnya: Imam Al-Bukhari dan yang
lainnya meriwayaatkan dari Ibnu Mas’ud dia mengatakan: “Datang salah seorang
pendeta Yahudi kepada Rasulullah SAW, dia berkata: ‘Wahai Muhammad,
sesungguhnya kami menjumpai (dalam kitab suci kami) bahwa Allah ‘Azza wa
Jalla akan meletakkan semua langit di atas satu jari, semua bumi di atas
satu jari, pohon-pohon di atas satu jari, air di atas satu jari, tanah di atas
satu jari dan seluruh makhluk di atas satu jari, maka Allah berfirman: ‘Akulah
Raja.’’ Mendengar hal tersebut, tertawalah Nabi SAW sehingga nampak gigi-gigi
geraham beliau SAW karena membenarkan ucapan pendeta Yahudi itu. Kemudian
beliau SAW membaca firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالأرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى
عَمَّا يُشْرِكُونَ.
“Dan mereka
tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi
seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan
tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka
persekutukan.” {QS. Al-Zumar (39): 67}
2.
Kisah yang diingkari oleh Islam dan
dipersaksikan
bahwa kisah
tersebut adalah dusta atau Khabar al Kidzbu yang jelas isinya bertentangan
dengan Alquran dan sunah atau jelas kebohongannya dan kekhurafatannya. Maka ini
adalah bathil. Contohnya, Imam Bukhari meriwayatkan dari Jabir radhiyallaahu
‘anhu bahwa dia berkata: “Dahulu orang Yahudi apabila ‘mendatangi’ istrinya
dari belakang berkata: ‘Anaknya nanti bermata juling’, maka turunlah firman
Allah ‘Azza wa Jalla:yaitu israiliyat
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ.
“Istri-istrimu
adalah seperti tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tempat
bercocok tanammu bagaimana saja kamu menghendaki.” {QS. Al-Baqarah (2): 223}
3.
Kisah yang Islam tidak membenarkan
tidak pula mengingkarinya atau Khabar al Shidqu wal Kidzbu
yaitu
israiliyat yang tidak diketahui benar atau tidaknya. Yang seperti ini tidak
perlu diyakini atau didustakan dan kita wajib mendiamkannya. Berdasarkan hadits
yang telah diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abu Hurairah bahwa dia berkata:
“Dahulu Ahlul Kitab membaca Taurat dengan Bahasa Ibrani dan mereka
menafsirkannya untuk orang-orang Islam dengan bahasa Arab, maka Rasulullah SAW
bersabda: “Jangan kalian benarkan Ahlul Kitab dan jangan kalian dustakan
mereka namun katakanlah:
آمَنَّا
بِاللهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ
(Kami
beriman kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan pada apa yang telah diturunkan kepada
kami dan apa yang telah diturunkan kepada kalian).”
Bercerita
dengan kabar seperti ini boleh apabila tidak ditakutkan menyebabkan terjatuhnya
seseorang ke dalam larangan, karena Nabi SAW bersabda: “Sampaikanlah dariku
walaupun satu ayat dan tidak mengapa kalian menceritakan tentang Bani Israil.
Barangsiapa sengaja berdusta atas namaku maka hendaklah dia menyiapkan tempat
duduknya di neraka.” (HR. Al-Bukhari)
Kebanyakan
berita yang diriwayatkan dari Ahlul Kitab dalam hal ini tidak mempunyai manfaat
untuk urusan agama, seperti penetuan warna anjing Ashhabul Kahfi dan
yang lainnya.
Adapun
bertanya kepada Ahlul Kitab tentang suatu perkara agama maka hukumnya haram,
berdasarkan hadits yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jabir bin
‘Abdillah , dia berkata, Rasulullah bersabda: “Jangan kalian bertanya
sesuatu kepada Ahlul Kitab karena mereka tidak akan memberi petunjuk bagi
kalian dan sungguh mereka telah tersesat, karena bisa jadi kalian akan
membenarkan sesuatu yang batil atau mendustakan yang haq. Seandainya Musa
‘alaihis salaam hidup di antara kalian, maka tidak halal baginya kecuali
mengikutiku.”
Al-Bukhari
meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa dia berkata: “Wahai kaum muslimin!
Bagaimana kalian bisa bertanya sesuatu kepada Ahlul Kitab sedangkan Al-Qur’an
yang Allah ‘Azza wa Jalla turunkan kepada Nabi kalian telah menceritakan
sesuatu yang benar dan murni tentang Allah ‘Azza wa Jalla. Allah ‘Azza
wa Jalla telah memberitahukan kepada kalian bahwa Ahlul Kitab telah
mengganti dan merubah isi Al-Kitab kemudian mereka menulisnya sendiri dengan
tangan-tangan mereka, lalu berkata ‘Ini berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla’,
dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatannya.
Tidakkah pengetahuan kalian tentang (pengkhiatan) mereka itu memalingkan kalian
dari bertanya kepada mereka. Lalu, sekali-kali tidak demi Allah! Tidak pernah
kami melihat seorangpun dari Ahli Kitab bertanya kepada kalian tentang apa yang
telah diturunkan kepada kalian.”
Sedangkan
israiliyat apabila ditinjau dari riwayat cerita israiliyat terbagi menjadi dua,
yaitu:
1.
Cerita shahih (benar), contohnya apa
yang diungkapkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya: Dari Ibnu Jarir: telah
menceritakan kepada kamu Mutsani dari Usman bin Umar dari Fulaih dari Hilal bin
Ali dari Atha bin Yasir, ia berkata: aku telah bertemu dengan Abdullah bin Amr
dan berkata kepadanya: ceritakanlah olehmu tentang sifat Rasulullah Saw. yang
diterangkan di dalam Kitab Taurat! Ia berkata: Ya demi Allah, sesungguhnya
sifat Rasulullah di dalam Taurat sama seperti yang diterangkan di dalam
Alquran: Wahai Nabi sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai saksi, pemberi kabar
gembira, pemberi peringatan”, dan pemelihara orang-orang yang ummi. Engkau
adalah hambaKu dan rasulKu, namamu yang dukagumi, engkau tidak kasar dan tidak
pula keras. Allah tidak akan mencabut nyawanya sebelum agama Islam tegak dan
lurus, yaitu dengan ucapan “Tiada Tuhan yang patut disembah dengan sebenarnya
kecuali Allah...dst.” Imam Ibnu Katsir telah mengaitkan riwayat ini dengan
pernyataannya: Bahwasannya Imam Bukhari telah meriwayatkan berita ini dalam
kitab shahihnya Muhammad bin Sinan, dari Fulaih, dari Hilal bin Ali, ia
menceritakan sanadnya, seperti yang telah disebutkan, tetapi ia menambah
setelah ucapannya “Bahwa Nabi itu tidak kasar dan keras” yaitu ucapannya “Dan
bagi sahabat-sahabatnya di pasar-pasar, ia tidak pernah membalas keburukan
dengan keburukan, akan tetapi memaafkan dan mengampuni.”
2.
Cerita dhaif (palsu), contohnya
adalah atsar yang diriwayatkan oleh al Razi dan dinukil oleh Ibnu Katsir dalam
Q.S. Qaf (50), ia berkata: Sesungguhnya atsar tersebut adalah atsar gharib dan
tidak shahih, ia menganggapnya sebagai cerita khurafat Bani Israil”, ketika
menafsirkan:
وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ.
“Dan laut,
ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudahnya” {QS. Luqman (31):27}
Dalam atsar itu disebutkan: Ibnu Abu Hatim berkata,
telah berkata ayahku, ia berkata: Aku mendapat berita dari Muhammad bin Ismail
al Makhzumi, telah menceritakan kepadaku Laits bin Abu Sulaim, dari Mujahid,
dari Ibnu Abbas ra. ia berkata: Allah Swt. telah menciptakan di bawah ini laut
melingkupnya, di dasar laut ia menciptakan sebuah gunung yang disebut gunung
Qaf. Langit dunia ditegakkan dia atasnya. Di bawah gunung tersebut Allah
menciptakan bumi seperti bumi ini, yang jumlahnya tujuh lapis. Kemudian di
bawahnya ia menciptakan sebuah gunung lagi, yang juga bernama gunung Qaf.
Langit jenis kedua diciptakan di atasnya. Sehingga jumlah semuanya: tujuh lapis
bumi, tujuh lautan, tujuh gunung, dan tujuh lapis langit.
4.
Pendapat Ulama Tentang Isro’iliyyat
Dengan
adanya beberapa cerita isro’iliyyat dalam al-Qur’an maka terdapat beberapa ulama juga
mengeluarkan maklumat dalam menyikapi
cerita-cerita isro’iliyyat tersebut seperti Ibn Taimiyah, Baqai, Ibn
Arabi dan lain sebagainya. Berikut kami uraikan hukum-hukum yang dikelurakan
oleh ulama-ulama di atas :
a. Ibn Taimiyah
Dalam kitab ilmu tafsirnya ushul al-tafsir, Ibn
Taimiyah bahwa cerita-cerita isro’iliyyat boleh saja dipakai akan tetapi hanya sebagai
saksi dan bukan untuk diyakini dari beberapa kriteria aspek kehidupan manusia.
b. Baqai
Menurut Baqa’i ini dalam al-Anwar al-Qawimah fi Hukmil
al-Naql-nya dijelaskan bahwa isro’iliyyat ini diperbolehkan walaupun
tidak dibenarkan atau tidak didustakan dengan tujuan hanya ingin mengetahui,
bukan dijadikan pegangan.
c. Ibn Arabi
Berbeda dengan Baqa’i, Ibn Arabi memaklumatkan tentang isro’iliyyat
ini hanya boleh diriwayatkan dan yang boleh dimuat dalam tafsir-tafsir hanya
sebatas cerita-cerita yang menyangkut atau bersinggungan dengan keadaan nabi
sendiri, sedangkan kalau cerita orang lain perlu dipertanyakan dan membutuhkan
dan memerlukan penelitian yang lebih cermat.
d.
Ibn Katsir
Ibn Katsir sendiri mempunyai tiga kriteria dalam menghukumi
cerita-cerita isro’iliyyat ini diantaranya:
1) Cerita yang sesuai dengan al-Qur’an, hal itu benar dan
boleh digunakan dengan catatan hanya sebagai bukti bukan dijadikan hujjah
(pegangan).
2) Cerita yang terang-terangan dusta karena menyalahi ajaran
Islam, maka hukumnya harus ditinggalkan atau dibuang. Karena merusak aqidah dan
syari’at Islam.
3)
Cerita yang
didiamkan dimana cerita yang tidak ada dalam kebenaran al-Qur’an, akan tetapi,
tidak bertentangan dalam al-Qur’an. Cerita ini boleh dipercaya tapi tidak boleh
dijadikan pegangan. (hujjah)
e.
Ibn Mas’ud dan
Ibn Abbas
Kedua ulama’ ini biasa meriwayatkan cerita-cerita isro’iliyyat
dari tokoh-tokohnya sendiri seperti Ka’ab al- An Bari, Wahab bin Munabah,
Abdullah bin Salam dan Tamim al-Dari. Maka kedua ulama’ ini mempunyai hukum
boleh mengambil cerita isro’iliyyat baik meriwayatkan dan memuatnya dalam tafsir.
f.
Abdullah bin
Amru bin al-Ash
Abdullah bin Amru ini menghukumi mubah dari cerita-cerita
isro’iliyyat ini tetapi, bukan
untuk i’tiqad dan dasar hukum, tapi hanya sebagai ihtishad.[1]
5.
Fungsi
Mempelajari Isro’iliyyat menurut Al-qur’an
Seluruh kaum muslimin sepakat bahwa
al-Quran adalah sumber utama dan pertama dalam ajaran Islam. Dapat dikatakan,
bagi kaum muslimin, al-Qur’an adalah manuskrip langit yang paling otentik, yang
telah dijamin oleh Allah SWT. akan terjaga dari berbagai bentuk pemalsuan dan
perubahan.
Perhatian
dan kecintaan kaum muslimin terhadap al-Qur’an sangatlah besar. Al-Qur’an tidak
hanya dibaca dan dihafal oleh jutaan kaum muslimin di setiap masa. Namun juga
dipelajari, mulai dari bagaimana cara membaca makhraj dan hurufnya, cara
penulisan (rasam) al-Qur’an, cara menafsirkan, sampai kepada hal yang
paling kecil, seperti menghitung jumlah surah, ayat, kata, bahkan huruf-huruf
dalam al-Qur’an. Bahkan sekarang kaum muslimin sudah mulai menggali
kemu’jizatan al-Qur’an yang dihubungkan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Di
antara usaha yang dilakukan kaum muslimin untuk mempelajari al-Qur’an adalah
melalui pemahaman dan tafsir. Para ulama mencurahkan perhatian dalam tafsir
al-Qur’an ini dengan tujuan untuk mendapatkan pengetahuan tentang apa yang
dikehendaki Allah, sehingga al-Qur’an dapat difahami dengan baik dan
diamalkan dengan benar.
Paling tidak ada tiga istilah yang
dipakai para ulama untuk menyebut aliran yang dipakai oleh para ulama mufassir
dalam menafsirkan al-Qur’an, yaitu tafsir bi al-riwayat, disebut juga
tafsir bi al-ma’tsur atau tafsir bi-al-manqul (menafsirkan al-Qur’an
berdasarkan riwayat dari Rasulallah, Sahabat, tabi’in dan tabi’ut
tabi’in ), yang kedua tafsir bi al-dirayah, disebut juga tafsir
bi al-ra’yi wa al-ijtihad atau tafsir bi al-ma’qul (
menafsirkan al-Qur’an dengan bersandarkan kepada dirayat yaitu rasio dan olah
pikir serta penelitian terhadap kaidah-kaidah bahasa), dan tafsir bi
al-isyarat atau tafsir isyari (disandarkan kepada tafsir sufiyah,
yaitu menafsirkan al-Qur’an bukan dengan makna dzahirnya, melainkan dengan
suara hati nurani).
Para sahabat umumnya memakai tafsir
bi al-ma’tsur dari pada tafsir bi al-ra’yi, sebab mereka sangat
berhati-hati dari menjelaskan al-Qur’an berdasarkan pendapat pribadi. Para ulama sepakat bahwa tafsir
bi al-ma’tsur ini dianggap sebagai metode tafsir yang paling utama dan
lebih selamat dari berbagai kemungkinan penyimpangan. Namun demikian
bukan berarti tafsir dengan riwayat ini tidak ada sisi kelemahannya. Diantara
kelemahan tafsir bi al-ma’tsur adalah adanya riwayat yang dhaif, mungkar
dan maudhu dari riwayat yang disandarkan kepada Rasulallah,
sahabat dan tabiin. Termasuk juga masuknya riwayat-riwayat israiliyyat,
yang sulit dideteksi kebenarannya, meskipun riwayat israiliyyat ini pada
umumnya sekedar kisah yang menjelaskan sesuatu yang tidak disebutkan
dalam al-Qur’an secara detil.
Keberadaan
riwayat-riwayat israiliyyat dalam kitab-kitab tafsir dikhawatirkan dapat
menimbulkan khurafat dan dapat merusak aqidah islamiyyah. Disamping itu
kisah-kisah israiliyyat tersebut membuka celah bagi para musuh Islam
untuk mengatakan bahwa ajaran Islam adalah agama ciptaan Muhammad yang
dipadukan dari ajaran Yahudi dan Nasrani. Dan bahwa al-Qur’an adalah kitab
karangan Muhammad, disebabkan isinya yang banyak membincang tentang kaum-kaum
dan nabi-nabi terdahulu yang juga terdapat dalam kitab Taurat dan Injil.
Permasalahan
tentang riwayat israiliyyat, sesungguhnya telah menjadi suatu tema
bahasan yang sudah secara panjang lebar dibahas oleh para ulama. Makalah
yang sangat terbatas ini hanya sekedar menghimpun dan mengulang segala
yang telah dibahas dalam banyak kitab dan risalah tentang israiliyyat tersebut.[2]
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari
uraian diatas kita bisa mengambil kesimpulan bahwasanya pengaruh Israiiliyat
terhadap ilmu Tafsir adalah untuk memahami al-Qur’an.
Karena itu tafsir al-Qur’an mempunyai peranan yang sangat besar.Namun,ilmu
tersebut akan menjadi sesuatu yang tidak berharga lagi ketika terkontaminasi
dengan hal yang merusak keabsahan dan kebenarannya,dan akan merusak bagi
kalangan yang awam yang tidak mengetahuinya.
Tapi,Para ulama yang
berkecimpung dalam ilmu tersebutpun telah memberikan syarat standarisasi
diterima atau tidaknya, bagus atau buruknya ilmu tafsir tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Suhadi,Ulumul
Qur’an,Nora Media Enterprise,2011,
http://ikpma-mesir.blogspot.com/2013/02/israiliyyat-dalam-kitab-tafsir_27.html
No comments:
Post a Comment