MAKALAH ULUMUL QUR’AN
QASHASHIL AL QUR’AN
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu : Shobirin, M.Ag
Disusun Oleh :
Kholifatun Nisa’ (1420210070)
ESRB-2
EKONOMI SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Biasanya suatu peristiwa yang dikaitkan dengan hukum
kausalitas akan dapat menarik perhatian para pendengar. Apalagi dalam peristiwa
itu mengandung pesan-pesan dan pelajaran mengenai berita-berita bangsa
terdahulu yang telah musnah, maka rasa ingin tahu untuk menyingkap pesan-pesan
dan peristiwanya merupakan faktor paling kuat yang tertanam dalam hati. Dan
suatu nasihat dengan tutur kata yang disampaikan secara monoton, tidak variatif
tidak akan mampu menarik perhatian akal, bahkan semua isinya pun tidak akan
bisa dipahami. Akan tetapi bila nasihat itu dituangkan dalam bentuk kisah yang
menggambarkan suatu peristiwa yang terjadi dalam kehidupan, maka akan dapat
meraih apa yang dituju. Orang pun akan tidak bosan mendengarkan dan
memperhatikannya, dia akan merasa rindu dan ingin tahu apa yang dikandungnya.
Akhirnya kisah itu akan menjelma menjadi suatu nasihat yang mampu
mempengaruhinya.
Sastra yang memuat suatu kisah, dewasa ini telah menjadi
disiplin seni yang khusus di antara seni-seni lainnya dalam bahsa dan
kesusastraan. Tetapi “kisah-kisah nyata” Al-Quran telah membuktikan bahwa
redaksi keraban yang dimuatnya secara jelas menggambarkan kisah-kisah yang
tinggi nilainya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian qashashil Al-Qur’an?
2.
Bagaimana sejarah perkembangan qashashil Al-Qur’an?
3.
Apa saja macam-macam qashashil Al-Qur’an?
4.
Bagaimana pengulangan kisah dalam Al-Qur’an?
5.
Bagaimana fungsi qashashil Al-Qur’an?
6.
Bagaimana pandangan ulama terhadap qashashil Al-Qur’an?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Qashshashil Qur’an
Menurut bahasa kata
qashshash berupa bentuk jamak dari kata qishah, yang berarti mengikuti jejak
atau menelusuri bekas, atau cerita atau kisah. Didalam Alquran, kata qashshash juga
mempunyai tiga arti tersebut, seperti terlihat dalam ayat 64 surah Al-Kahfi
yang artinya “ Lalu keduanya mengikuti kembali jejak mereka sendiri “, dalam
ayat ini lafal qashash berarti mengikuti jejak yang sama dengan menelusuri
bekas. Lalu ayat 11 surah Al-Qashash yang
artinya “dan berkatalah Ibu Musa kepada saudari Musa. “ ikutilah dia “.
Disini lafal qushi atau qashash berarti mengikuti. Ayat 62 surah Ali Imran yang
artinya “ sesungguhnya ini adalah cerita yang benar “. Dan ayat 111 surah Yusuf
yang artinya “ sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran
bagi orang-orang yang mempunyai akal “.
Menurut istilah,
qashshashil qur’an ialah kisah-kisah dalam al-qur’an yang menceritakan ikhwal
umat-umat dahulu dan nabi-nabi mereka serta peristiwa-peristiwa yang terjadi
pada masa lampau,masa kini dan masa yang akan datang. Di dalam al-qur’an banyak
diceritakan umat-umat dahulu dan sejarah Nabi atau para Rasul serta ikhwal Negara dan
perilaku bangsa-bangsa kaum dahulu.[1]
B.
Sejarah Perkembangan Qashshashil Qur’an
Kisah-kisah Al-Quran pada umumnya mengandung unsur
pelaku, peristiwa, dan dialog. Ketiga unsur ini terdapat pada hampir seluruh
kisah Al-Quran seperti lazimnya kisah-kisah biasa. Hanya saja peran ketiga
unsure itu tidaklah sama, sebab boleh jadi salah satunya hilang. Satu-satunya
pengecualian ialah kisah Nabi Yusuf, yang mengandung ketiga unsure itu dan
berbagai menurut teknik kisah biasa. Cara semacam ini tidak ditemui pada kisah
lain. Hal ini karena kisah Al-Quran pada umumnya bersifat pendek. Berikut ini
merupan uraian lebih lanjut ketiga unsure itu.
1.
Pelaku
Pelaku kisah-kisah yang terdapat dalam Al-Quran tidak
hanya manusia, tetapi malaikat, jin, bahkan burung dan semut.
a.
Binatang seperti burung dalam kisah Nabi Sulaiman dan dalam surat An-Naml
(27) ayat 18-19 yaitu semut sebagai pelakunya, dalam surat tersebut dijelaskan
semut yang memperingatkan teman-temannya agar tidak terinjak oleh Nabi Sulaiman
dengan bala tentaranya. Contoh lainnya adalah burung hud-hud yang menjadi
mata-mata bagi Nabi Sulaiman untuk memberikan informasi tentang kerajaan Saba’
yang dipimpin Ratu Balqis. (QS. An-Naml (27) ayat 20)
b.
Malaikat
Contoh adalah kisah malaikat
yang terdapat dalam surat Hud (11) ayat (69-83). Ayat itu mengisahkan bahwa
malaikat-malaikat datang kepada Nabi Ibrahim dan Nabi Luth dengan menjelma
sebagai tamu. Demikian pula malaikat datang kepada Maryam dalam bentuk manusia.
Sebagaimana dikisahkan dalam surat Maryam (10) ayat 10-21.
c.
Jin
Dalam kisah Nabi Sulaiman, jin
digambarkan mempunyai bentuk lain yang gemanya dapat dilihat pada syair jahili
sebelum Nabi Muhammas SAW, terutama syair-syair An-Nabighah. Dalam kisah ini,
diantara jin-jin itu ada yang menjadi tukang selam, arsitek, pemahat, pembuat
patung dan sebagainya, seperti dijelaskan pada surat Saba’ (34) ayat 12.
d.
Manusia
Dalam kisah-kisah Al-Quran
yang pelakunya berupanya berupa manusia, lebih banyak diceritakan tentang
laki-kisah dari pada wanita. Di antara mereka adalah para nabi, orang biasa (seperti
Firaun), dan lainnya. Adapun pelaku kisah dari kalangan wanita adalah Maryam
dan Hawa. Perlu dicatat bahwa perempuan dalam Al-Quran selalu disebut dengan
kata “orang perempuan“ (imra’ah), baik sudah menikah maupun belum, sebagaimana
dapat dilihat pada surat An-Naml (27)
ayat 23, atau kata “perempuan
nuh“, “perempuan Ibrahim”, dan sebagainya.
Satu-satunya pengecualian
dalam hal ini adalah Maryam yang disebutkan namanya dengan jelas. Hal ini
dikarenakan factor tertentu, yakni Nabi Isa telah dianggap oleh sebagian
umatnya sebagai “Putra Allah”. Al-Quran lalu berusaha menghapuskan anggapan
yang salah ini dengan cara menjelaskan bahwa Isa adalah “anak Maryam” dan bahwa
ia dilahirkan dalam keadaan tak berayah, seperti halnya Nabi Adam. Oleh karena
itu, Al-Quran menyebut nama Maryam berulang ulang.
2.
Peristiwa
Hubungan
antara peristiwa dengan pelaku pada setiap kisah amatlah jelas karena kedua hal
itu merupakan unsure-unsur pokok suatu kisah. Tidak dapat dibayangkan adanya
pelaku tanpa peristiwa yang dialaminya. Peristiwa itu sendiri dapat dibagi
menjadi tiga bagian :
a.
Peristiwa yang berkelanjutan
Misalnya, seorang nabi diutus
kepada suatu kaum, kemudian mereka mendustakannya dan meminta ayat-ayat (bukti)
yang menunjukkan kebenaran dakwah dan kerasulannya. Kemudian datanglah ayat
(bukti) yang mereka minta, tetapi mereka tetap saja mendustakannya.
b.
Peristiwa yang dianggap luar biasa
Yaitu peristiwa-peristiwa yang
didatangkan Allah melalui para rasul-Nya sebagai bukti kebenarannya, seperti
mukjizat-mujizatnya para Nabi.
c.
Peristiwa yang dianggap biasa
Yaitu peristiwa biasa yang
dilakukan oleh orang-orang yang dikenal sebagai tokoh, baik rasul maupun bukan,
sebagai manusia biasa yang makan dan minum.
3.
Percakapan (Dialog)
Tidak
semua kisah mengandung percakapan, seperti kisah yang bermaksud menakut-nakuti,
tetapi ada pula kisah yang sangat menonjol percakapannya seperti kisah Nabi
Adam as dalam surat Al-A’raf (7) ayat 11-25, surat Thaha (20) ayat 9-99, dan
lainnya.
Terkadang Alqur’an menceritakan kejadian manusia
pertama Nabi Adam dan kehidupannya, menerangkan kenikmatan surga dan siksaan
neraka diakhirat, sebagaimana sering menjelaskan tugas dan nama-nama para malaikat
serta keadaan hari kiamat dan sebagainya.
Kisah-kisah itu sering didengarkan oleh bangsa Arab
dan pakar-pakar sejarah dari berbagai bangsa yang lain, dari para ahli kitab,
orang-orang Yahudi dan Nasrani serta orang kafir Quraisy. Bagi orang-orang kafir,
cerita-cerita Alqur’an itu menjadi bahan fitnahan dan tertawaan, sedangkan bagi
orang mukmin menambah keimanan.
Tetapi orang-orang musyrik Quraisy mempermasalahkan
kisah-kisah Alqu’an itu. Mereka menanyakan, dari mana Muhammad mempunyai
pengetahuan sejarah yang begitu luas? Padahal dia hidup di lingkungan bangsa
yang kebanyakan ummi, tidak pandai menulis dan membaca. Apakah ada malaikat
yang turun mengajari Nabi Muhammad SAW sebelum diangkat menjadi Rasul?
Seolah-olah orang Quraisy tidak mengenal beliau sebelum menjadi Nabi atau
Raasul selama 40 tahun lamanya.
Sebenarnya, orang-orang musyrik Quraisy tersebut sudah
mengenal Nabi sejak kecil. Mereka mengenal Muhammad sebagai orang yang mendapat
julukan al-amin (orang yang terpercaya). Apakah mengherankan kalau kemudian dia
diajari Allah Dzat Yang Maha Mengetahui, sehingga dalam Alqu’an banyak
kisah-kisah Nabi yang dahulu.[2]
C. Macam-macam
Qashshashil Qur’an
1.
Dilihat dari Sisi Pelaku
Manna’ Al-Qaththan, membagi qashash (kisah-kisah)
Al-Quran dalam tiga bagian, yaitu :
a.
Kisah para nabi terdahulu
Bagian
ini berisikan ajakan para nabi kepada kaumnya, mukjizat-mukjizat dari Allah
yang memperkuat dakwah mereka, sikap orang-orang yang memusuhinya, serta
tahapan-tahapan dakwah, perkembangannya, dan akibat yang menimpa orang beriman
dan orang yang mendustakan para nabi. Contohnya adalah kisah Nabi Nuh , Nabi
Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, Nabi Muhammad dan nabi-nabi serta rasul-rasul
lainnya.
b.
Kisah yang berhubungan dengan
kejadian pada masa lalu dan orang-orang yang tidak disebutkan kenabiannya
Seperti
kisah orang-orang yang keluar dari kampong halamannya, Thalut dan Jalut,
anak-anak Adam, penghuni gua, Dzulkarnain, Qarun, Ashab As-Sabti (para
pelanggar ketentuan hari Sabtu), Maryam, Ashab Al-Ukhdus, Ashab Al-Fiil
(Pasukan Abrahah yang berkendaraan kuda ketika menyerang Ka’bah), dan
lain-lain.
c.
Kisah-kisah yang terjadi pada
masa Rasulullah
Seperti kisah perang Uhud, Tabuk, Badar, kisah hijrah Rasulullah dan
pengikutnya ke Madinah, Isra’ dari masjid Al-Haram ke Al-Aqsa dan sebagainya.
2.
Dilihat dari Panjang Pendeknya
Dilihat dari panjang pendeknya, kisah-kisah Al-Quran dapat dibagi dalam
tiga bagian :
a.
Kisah panjang contohnya kisah
Nabi Yusuf dalam surat Yusuf (12) yang hampir seluruh ayatnya mengungkapkan
kehidupan Nabi Yusuf, sejak masa kanak-kanaknya sampai dewasa dan memiliki
kekuasaan. Contoh lainnya adalah kisah Nabi Musa dalam surat Al-Qashash (28),
kisah Nabi Nuh dan kaumnya dalam surat Nuh (71) dan lain-lain.
b.
Kisah yang lebih pendek dari bagian
yang pertama, seperti kisah Maryam dalam surat Maryam (19), kisah Ashab
Al-Kahfi pada surat Al-Kahfi (18), kisah Nabi Adam dalam surat Al-Baqarah (2)
dan surat Thaha (20), yang terdiri atas sepuluh atau beberapa belas ayat saja.
c.
Kisah pendek, yaitu kisah yang
jumlahnya kurang dari sepuluh ayat, misalnya kisah Nabi Hud dan Nabi Luth dalam
surat Al-A’raf (7) kisah Nabi Shalih dalam surat Hud (11), dan lain-lain.
3.
Dilihat dari jenisnya
Menurut M. Khalafullah, dilihat dari segi jenisnya kisah-kisah
Al-Quran dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
a.
Kisah sejarah, yakni kisah
yang berkisar tentang tokoh-tokoh sejarah, seperti para nabi dan rasul.
b.
Kisah perumpamaan, yakni kisah
yang menyebutkan suatu peristiwa untuk menerangkan dan memperjelas suatu
pengertian. Peristiwa itu tidak benar-benar terjadi, tetapi hanya perkiraan dan
khayalan semata.
c.
Kisah asatir, yakni kisah yang
didasarkan atas suatu asatir. Pada umumnya, kisah semacam ini bertujuan
mewujudkan tujuan-tujuan ilmiah atau menfsirkan, gejala-gejala yang ada, atau
menguraikan sesuatu persoalan yang sukar diterima akal.
Dalam versi lain, Muhammad
Qutub membagi kisah Al-Quran dalam tiga macam, yaitu :
a. Kisah lengkap yang memuat tempat, tokoh dan gambaran peristiwa yang
berlaku serta akibat yang timbul dari hal tersebut, seperti kisah Nabi Musa dan
Fir’aun.
b. Kisah yang hanya menggambarkan peristiwa yang terjadi, tetapi tidak
mengungkapkan nama tokok pelaku atau tempat berlangsungnya peristiwa, seperti
kisah kedua putra Nabi Adam as.
c. Kisah yang diutarakan dalam bentuk percakapan atau dialog tanpa
menyinggung dan tempat kejadian. Misalnya, kisah dialog yang terjadi antara
seorang kafir yang memiliki dua bidang kebun yang luas dan kekayaan yang
berlimpah dengan seorang mukmin.[3]
Kisah-kisah dalam Al-Qur’an bermacam-macam ada
yang menceritakan para Nabi dan umat-umat dahulu, dan ada yang mengisahkan
berbagai macam peristiwa dan keadaan, dari masa lampau,masa kini,ataupun masa
yang akan datang.
1.
Ditinjau
dari Segi Waktu
Ditinjau dari segi waktu terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam Alqur’an, maka qashshashil Qur’an itu ada tiga macam,
diantaranya :
a. Kisah
hal-hal ghaib pada masa lalu
Yaitu,
kisah yang menceritakan kejadian-kejadian ghaib yang sudah tidak bisa ditangkap
panca indera, yang terjadi dimasa lampau. Contohnya seperti kisah-kisah nabi
Nuh, Nabi Musa, dan kisah Maryam.
b.
Kisah hal-hal ghaib pada masa kini
Yaitu,
kisah yang menerangkan hal-hal ghaib pada masa sekarang, (meski sudah ada sejak
dulu dan masih akan tetap ada sampai masa yang akan datang) dan yang menyingkap
rahasia orang-orang munafik. Contohnya seperti kisah yang menerangkan tentang
Allah SWT dengan segala sifat-sifat-Nya, para malaikat, jin, setan, dan siksaan
neraka, kenikmatan surga, dan sebagainya. Kisah-kisah tersebut dari dahulu
sudah ada, sekarang pun masih ada dan hingga masa yang akan datang pun masih
tetap ada.
c.
Kisah hal-hal ghaib pada masa yang
akan datang
Yaitu,
kisah yang menceritakan peristiwa akan datang yang belum terjadi pada waktu
turunnya Alqur’an, kemudian peristiwa tersebut betul-betul terjadi. Karena itu,
pada masa sekarang ini, berarti peristiwa yang dikisahkan itu telah terjadi.
Contohnya seperti kemenangan bangsa Romawi atas Persia, yang diterangkan ayat
1-2 surah Ar-Rum. Dan seperti mimpi Nabi bahwa beliau akan dapat masuk Masjidil
Haram bersama para sahabat, dalam keadaan sebagian mereka bercukur rambut dan
yang lain tidak. Pada waktu perjanjian Hudaibiyah, Nabi gagal masuk Mekkah,
sehingga diejek orang-orang Yahudi, Nasrani, dan kaum Munafik, bahwa mimpi Nabi
itu tidak terlaksana. Contoh lain seperti jaminan Allah terhadap kselamatan
Nabi Muhammad SAW dari penganiayaan orang, meski banyak orang yang mengancam
akan membunuhnya.
2. Ditinjau dari Segi Materi
Jika ditinjau dari segi materi yang diceritakan, maka
kisah Alqur’an itu terbagi menjadi tiga macam, sebagai berikut :
a.
Kisah para nabi, mukjizat mereka,
fase-fase dakwah mereka, dan penentang serta pengikut mereka. Contohnya,
seperti kisah Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, Nabi Muhammad
SAW dan lain-lain.
b.
Kisah orang-orang yang belum tentu
Nabi dan kelompok-kelompok manusia tertentu. Contohnya seperti kisah Luqmanul
hakim, Qarun, Thaluth, Yaqut, Ashabul Kahfi, Ashabul Fiil, Ashabus Sabti, dan
lain-lain.
c.
Kisah peristiwa-peristiwa dan
kejadian-kejadian dizaman Rasulullah SAW. Contohnya seperti kisah Perang Badar,
Perang Uhud, Perang Hunain, Perang Tabuk, Perang Ahzab, Hijrah dam Isra Mi’raj
Nabi Muhammad SAW.
D.
Pengulangan kisah dalam Al-Quran
Al-Quran
banyak mengandung kisah yang pengungkapannya diulang-ulang di beberapa tempat.
Berikut ini dikemukakan contoh pengulangan itu :
1.
Kisah Iblis tidak mau tunduk
kepada Adam: surat Al-Baqarah (2) ayat 34, surat Al-A’raf (7) ayat 11, surat
Al-Hijr (15) ayat 31, surat Al-Isra’ (17) ayat 61, surat Al-Kahfi (18) ayat 50,
surat thaha (20) ayat 116, surat Shad (38) ayat 74.
2.
Kisah Kaum Nabi Luth yang
melakukan perbuatan homoseks: surat Al-A’raf (7) ayat 80, 81, surat Hud (11)
ayat 78, surat An-Naml (27) ayat 54-55, surat Al-Ankabut (29) ayat 29.
3.
Kisah istri Nabi Luth yang
dibinasakan: surat Al-A’raf (7) ayat 83, surat Hud (11) ayat 81, surat Al-Hijr
(15) ayat 60, surat Asy-Syura (26) ayat 171, surat An-Naml (27) ayat 57.
4.
Kisah Nabi Musa dan tongkatnya
: surat Al-Baqarah (2) ayat 60, surat Al-A’raf (7) ayat 107 dan 117, surat
Thaha (20) ayat 18, 20 dan 22, surat Asy-Syura (26) ayat 63, surat An-Naml (27)
ayat 10, dan surat Al-Qashash (28) ayat 31.
5.
Kisah percakapan Nabi Musa
dengan Fir’aun: surat Al-A’raf (7) ayat 104-106, surat Thaha (20) ayat 49-53,
57, 58.
6.
Kisah malaikat yang bertamu ke
rumah Nabi Ibrahim: surat Hud (11) ayat 69-76, surat Al-Hijr (15) ayat 51,-58,
dan surat Adz-Dzariyyat (51) ayat 24-29.
7.
Kisah percakapan Nabi Ibrahim
dengan bapaknya: surat Al-An’am (6) ayat 74, surat Maryam (19) ayat 42, 43, 45,
46, 47, 48, surat Al-Anbiya (21) ayat 62, surat Asy-Asyura (26) ayat 70-82, dan
surat Ash-Shaffat (37) ayat 85.
8.
Kisah Nabi Ibrahim menerima
kelahiran Ishaq: surat Hud (11) ayat 71, surat Ash-Shaffat (37) ayat 112, 113,
surat Adz-Dzariyyat (51) ayat 28.
9.
Kisah Nabi Sulaiman dapat
menundukkan angin: surat Al-Anbiya (21) ayat 81, surat Shad (38) ayat 36, dan
surat Saba’ (34) ayat 12.
10. Kisah orang Yahudi yang menyembah sapi: surat Al-Baqarah (2) ayat 51,
92, 93, surat An Nisa’ (4) ayat 153, surat Al-A’raf (7) ayat 148, surat Thaha
(20) ayat 88.
11. Kisah Ya’juj dan Ma’juj: surat Al-Kahfi (18) ayat 94, surat Al-Anbiya
(21) ayat 96.
Dalam hal
ini, Manna Al-Qaththan menjelaskan hikmah pengulangan kisah-kisah Al-Quran
sebagai berikut:
1.
Menjelaskan ketinggian
kualitas Al-Quran
Di antara
keistimewaan suatu bahasa adalah pengungkapan suatu makna dalam berbagai bentuk
yang berbeda-beda. Kisah yang berulang itu diceritakan kembali di setiap tempat
dengan gaya dan pola yang berbeda sehingga tidak menyebabkan kejenuhan. Bahkan,
pengulangan itu dapat menambah arti baru yang tidak didapatkan pada tempat
lain.
2.
Memberikan perhatian yang
besar terhadap kisah untuk menguatkan kesan dalam jiwa
Sesunggunya
pengulangan ini merupakan salah satu cara menggolongkan dan menunujukkan
perhatian yang besar. Hal itu umpamanya dapat dilihat dalam kisah Nabi Musa
dengan Fir’aun. Kisah ini menggambarkan pertentangan antara kebenaran dan
kebatilan dalam format penyajian yang sempurna walaupun sering diulang-ulang.
3.
Menunjukkan kehebatan mukjizat
Al-Quran
Yaitu
menyebutkan suatu makna dalam berbagai bentuk susunan. Ini membuktikan bahwa
Al-Quran datang dari Allah dan juga memperlihatkan suatu tantangan.
4.
Memperlihatkan adanya
perbedaan tujuan diungkapkannya kisah tersebut
Meskipun kisah-kisah
Al-Quran mengalami banyak pengulangan, penyebutan kisah-kisah tersebut pada
tiap tempat berbeda-beda.
E.
Faedah Qashashil Al-Quran
Banyak
faedah yang terdapat dalam qashash (kisah-kisah) Al-Quran sebagaimana yang
diutarakan Manna Al-Qaththan berikut ini.
1.
Meneguhkan hati Rasulullah dan
hati umatnya dalam menegakkan agama Allah, serta menguatkan kepercayaan
orang-orang yang beriman melalui datangnyabpertolongan Allah dan hancurnya
kebatilan beserta para pendukungnya.
2.
Menjelaskan prinsip-prinsip dakwah
dan pokok-pokok syariat yang dibawa setiap nabi.
3.
Membenarkan nabi-nabi
terdahulu dan mengingatkan kembali jejak-jejak mereka.
4.
Memperlihatkan kebenaran Nabi
Muhammad dalam penuturannya mengenai orang-orang terdahulu.
5.
Membuktikan kekeliruan ahli
kitab yang telah menyembunyikan keterangan dan petunjuk. Di samping itu,
kisah-kisah itu memperlihatkan isi kitab suci mereka sesungguhnya, sebelum
diubah dan direduksi.
6.
Kisah merupakan salah satu
bentuk sastra yang menarik bagi setiap pendengarnya dan memberikan pengajaran
yang tertanam dalam jiwa.
F.
Pandangan para ulama terhadap qashashil Al-Quran
Berkaitan
dengan penuturan nama dan gelar dalam kisah-kisah di dalam Al-Quran, ada sebuah
persoalan penting yang harus dijadikan jawabannya. Misalkan, suatu kisah di dalam
Al-Quran yang menyebutkan nama-nama pelaku khusus, apakah hanya berlaku bagi
para pelaku kisah tersebut, ataukah berlaku secara umum bagi siapa saja? Dengan
kata lain, apakah ayat itu berlaku secara khusu atau umum?
Mayoritas
ulama berpendapat bahwa hal yang harus dijadikan pertimbangan adalah keumuman
redaksi, bukannya kekhususan sebab. As-Suyuthi, memberikan alasan bahwa
pertimbangan itulah yang dilakukan oleh para sahabat dan golonga lain. Ini
dapat dibuktikan antara lain pada ayat zhihar dalam kisah Salman bin Shakhar,
ayat li’an dalam kisah Hilal bin Umayyah, dan ayat qadzaf dalam kisah tuduhan
terhadap Aisyah. Penyelesaian terhadap kasus-kasus trsebut diterapkan pula
terhadap peristiwa lain yang serupa.
Ibn
Taimiyyah berpendapat bahwa banyak ayat yang diturunkan berkenaan dengan kisah
tertentu, bahkan menunjuk pribadi seseorang namun, berlaku umum. Misalnya,
surat Al-Maidah (5) ayat 49 tentang perintah kepada Nabi untuk mengadili secara
adil. Ayat ini sebenarnya diturunkan berkenaan dengan kasus Bani Quraidzah dan
Bani Nadhir. Namun, menurut Ibn Taimiyyah, tidak benar jika dikatakan bahwa
perintah berlaku adil bagi Nabi itu hanya ditujukan terhadap dua kabilah itu.
Penjelasan
mengenai penyebutan nama pelaku kisah, atau hakikat kisah itu sendiri,
dikemukakan pula oleh Kuntowijoyo, Thaha Husein, dan Asy-Syarabashi.
Kuntowijoyo memandang bahwa pada dasarnya kandungan Al-Quran itu terbagi
menjadi dua bagian. Bagian pertama berisi konsep-konsep dan bagian kedua berisi
kisah-kisah sejarah dan amtsal. Bagian pertama dimaksudkan untuk membentuk
pemahaman yang kemprehensif mengenai nilai-nilai ajaran agama islam, sedangkan
bagian kedua dimaksudkan sebagai ajakan melakukan perenungan untuk memperoleh
hikmah. Kisah kesabaran Nabi Ayub misalnya, menggambarkan tipe sempurna
mengenai betapa gigihnya kesabaran orang beriman ketika menghadapi cobaan
apapun. Kisah kezaliman Fir’aun menggambarkan archetype mengenai kejahatan
tirani pada masa paling awal yang pernah dikenal manusia. Kisah kaum Tsamud
yang membunuh unta milik Nabi Shaleh lebih menggambarkan archetype mengenai
penghianatan masal oleh konspirasi-konspirasi kafir.
Ungkapan
yang hampir senada diungkapkan pula oleh Asy-Syarabashi. Ia menjelaskan bahwa
kisah-kisah dalam Al-Quran tidak dimaksudkan sebagai uraian sejarah lengkap
tentang kehidupan bangsa atau pribadi tertentu, tetapi sebagai bahan pelajaran
bagi umat manusia.
Thaha
Husein, yang terkenal dengan pendapat-pendapatny yang controversial dan
sekularistik, lebih tertarik membahas apakah pelaku-pelaku kisah didalam
Al-Quran itu pernah ada atau hanya khayalan semata. Dengan mengambil contoh
kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ia berkesimpulan demikian:
“Taurat telah mengisahkan kepada kita tentang Ibrahim
dan Ismail, demikian juga Al-Quran. Akan tetapi, munculnya kedua nama tokoh itu
dalam Tauran dan Al-Quran tidak menjamin keberadaan keduanya secara historis.
Kita terdorong untuk melihat keduanya di dalam sejarah sebagai suatu jalan
untuk menetapkan hubungan antara orang-orang Yahudi dan orang-orang Arab di
satu pihak, serta agama Islam dan agama Yahudi, Al-Quran dan Taurat, dipihak
yang lain.”
Tidak hanya
itu, Thaha Husein pernah mengatakan bahwa hijrahnya Ibrahim ke Mekah yang
kemudian mengembangkan bangsa Arab musta’rabah hanyalah fiksi belaka. Maka,
wajarlah jiksa para ulama konsevatif menganggap gagasan-gagasannya itu sebagai
usaha melemparkan keraguan keotentikan Al-Quran. Bahkan, Rasyid Ridha telah
menuduhnya keluar dari Islam.
Benang
merah yang dapat ditangkap dari pendapat ketiga orang di atas adalah hal
terpenting dari kisah-kisah yang terdapat Al-Quran bukanlah wacana pelakunya,
tetapi drama kehidupan yang mereka mainkan. Atas dasar ini pulalah, Muhammad
Abduh mengkritik habis-habisan kebiasaan ulama tafsir generasi pertama yang
banyak menggunakan Israiliyyat
sebagai penafsir Al-Quran, terutama ketika menjelaskan para pelaku kisah.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Menurut istilah,
qashshashil qur’an ialah kisah-kisah dalam al-qur’an yang menceritakan ikhwal
umat-umat dahulu dan nabi-nabi mereka serta peristiwa-peristiwa yang terjadi
pada masa lampau,masa kini dan masa yang akan datang. Di dalam al-qur’an banyak
diceritakan umat-umat dahulu dan sejarah Nabi atau para Rasul serta ikhwal Negara dan
perilaku bangsa-bangsa kaum dahulu. Macam-macam qashash yaitu, kisah hal-hal ghaib pada
masa lalu, kisah hal-hal ghaib pada masa kini, kisah hal-hal ghaib pada masa
yang akan datang. Beberapa faedah dari qashashil Quran yaitu meneguhkan hati
Rasulullah dan hati umatnya dalam menegakkan agama Allah, serta menguatkan
kepercayaan orang-orang yang beriman melalui datangnyabpertolongan Allah dan
hancurnya kebatilan beserta para pendukungnya, menjelaskan prinsip-prinsip
dakwah dan pokok-pokok syariat yang dibawa setiap nabi, membenarkan nabi-nabi
terdahulu dan mengingatkan kembali jejak-jejak mereka, memperlihatkan kebenaran
Nabi Muhammad dalam penuturannya mengenai orang-orang terdahulu.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar
Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar,2006)
2.
Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung:Pustaka
Setia,2000)
No comments:
Post a Comment