MAKALAH FIQH
MUAMALAH
“Konsepsi Akad Dalam Hukum Syariah”
Disusun guna
memenuhi tugas
Mata
Kuliah : Fiqh Muamalah
Dosen
Pengampu : Suhadi, M.Si
Hari,
Jam Kuliah : Rabu, Jam Pertama
Kelas
: ESRB-3
Disusun oleh Kelompok
2
1.
Khadiza Amelia (1420210043)
2.
Lutfi Zakaria (1420210064)
3.
Inayatun Nurur
Rohmah (1420210065)
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARIAH
DAN EKONOMI ISLAM
PRODI EKONOMI
SYARIAH
TAHUN 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan
dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kebutuhan manusia sangat
beragam, sehingga secara pribadi tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus
berhubungan dengan orang lain. Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain
dalam memenuhi kebutuhan, harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan
kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan
dalam memenuhi kebutuhan keduanya, yaitu dengan proses untuk akad.
Dalam pembahasan fiqh, akad dapat digunakan bertransaksi sangat
beragam, sesuai dengan karakteristik dan spesifikasi kebutuhan yang ada. Maka
dari itu, dalam makalah ini kami akan mencoba untuk menguraikan mengenai
berbagai hal yang terkait dengan akad dalam pelaksanaan muamalah di dalam
kehidupan kita sehari-hari.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian Akad ?
2.
Bagaimana Rukun dan Syarat Dalam Akad ?
3.
Bagaimaana Pembagian dalam Akad ?
4.
Apa Macam-Macam Akad ?
5.
Apa Saja Penghalang Akad ?
6.
Apa Hikmah dalam Akad ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Akad
Menurut bahasa
‘Aqd mempunyai beberapa arti antara lain
1.
Mengikat
جَمْحَ طَرفَيْ حَبْلَيْنِ وَيَشُدُّ أَحَدُهُمَا بِالأخَرِحَتَّى
يَتَّصِلاَ فَيُصْبِحاَ كَقِطْعَتٍ وَاحِدَتٍ
“Mengumpulkan
dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain sehingga bersambung,
kemudian keduanya menjadi sebagai sepotong benda.”
2.
Sambungan
اَلْمَوْصِلُ الّذِىْ يُمْسِكُهُمَا وَيُوَثِّقُهُمَا
“Sambungan yang
memegang kedua ujung itu dan mengikatnya.”
3.
Janji
بِلى مَنْ اَوْفَى بِعَهْدِهِ وَاتَّقَى فَإِنَّ اللّه يُحِبُّ المُتَّقِيْنَ
“Siapa saja
menepati janjinya dan takut kepada Allah, sesungguhnya Allah mengasihi
orang-orang yang taqwa.”
يَا ايُّهَاالذِيْنَ امَنُوْاأَوْفَوْابالعُقُوْدِ
“Hai
orang-orang yang beriman tepatilah janji-janjimu.”
Menurut istilah terminologi yang dimaksud dengan akad adalah
إرْتِبَاطُ
لإِيْجَابِ بِقبُوْلٍ عَلَى وَجْهٍ مَشْرُعٍ يُثْبِتُ الثَرَاضِىْ
“Perikatan ijab dan qabul yang dibenarkan syara’ yang menetapkan
keridhaan kedua belah pihak.”
مَجْمُوْعُ اِيْجَابِ أَحَدِالطّرَفَيْنِ مَحَ قَبُوْلِ الأخَرِاَوِّالْكَلاَمُ
الْوَاحِدُالْقَائِمُ مَقَا مَهُمَا
“Berkumpulnya serah terima diantara kedua belah pihak atau
perkataan seseorang yang berpengaruh pada kedua pihak.”
مَجْمُوْعُ اِيْجَابِ وَالقَبُوْلِ إِدَّعَايَقَوْمُ مَقَا مَهُمَا
مَحَ ذلِكَ الآِرْتِبَاطِ الْحُكْمِيِّ
"Berkumpulnya
persyaratan serah terima atau sesuatu yang menunjukkan adanya serah terima yang
disertai dengan kekuatan hukum.”
رَبْطُ أَجْزَاعِ التّصَرُّفِ بِالإْيْجَابِ وَالقَبُوْلِ شرْعًا
“Ikatan atas bagian-bagian tasharruf menurut syara’ dengan cara
serah terima.”[1]
B.
Rukun dan Syarat Akad
Rukun adalah unsur-unsur
yang membentuk terjadinya akad. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa rukun akad
terdiri dari:
1.
Al-aqidain (pihak-pihak yang berakad)
2.
Objek akad
3.
Sighat al-aqd (pernyataan untuk mengikatkan diri)
4.
Tujuan akad
Berbeda dengan jumhur ulama’, Madzhab Hanafi berpendapat bahwa
rukun akad hanya satu sighat al-aqd. Bagi madzhab Hanafi yang dimaksud dengan
rukun akad adalah unsur-unsur pokok yang membentuk akad. Unsur pokok tersebut
hanyalah pertanyaan kehendak masing-masing pihak berupa ijab dan kabul. Adapun
para pihak dan objek akad adalah unsur luar, tidak merupakan esensi akad. Maka
mereka memandang pihak dan objek akad bukan rukun. Meskipun demikian mereka
tetap memandang bahwa pihak yang berakad dan objek akad merupakan unsur-unsur
yang harus dipenuhi dalam akad. Karena letaknya diluar esensi akad,para pihak
dan objek akad merupakan syarat,bukan rukun.
Beberapa unsur dalam akad yang kemudian dikenal sebagai rukun
tersebut masing-masing membutuhkan syarat agar akad dapat terbentuk dan
mengikat antar pihak. Beberapa syarat tersebut meliputi:
1.
Syarat terbentuknya akad, dalam hukum Islam syarat ini dikenal
dengan nama Al-syuruth Al-in’iqad. Syarat ini terkait dengan sesuatu yang harus
dipenuhi oleh rukun-rukun akad,ialah:
a.
Pihak yang berakad(aqidain) disyaratkan tamyiz.
b.
Shighat akad (pertanyaan kehendak) adanya kesesuaian ijab dan kabul
(munculnya kesepakatan) dan dilakukan dalam satu majlis akad.
c.
Objek akad, dapat diserahkan, dapat ditentukan dan dapat
ditransaksikan (benda yang bernilai dan dimiliki)
d.
Tujuan akad tidak bertentangan dengan syara
2.
Syarat keabsahan akad, adalah syarat tambahan yang dapat
mengabsahkan akad setelah syarat in’iqad tersebut dipenuhi. Antar lain
a.
Pernyataan kehendak harus dilaksanakan secara bebas. Maka jka
pertanyaan kehendak tersebut dilakukan dengan terpaksa,maka akad dianggap batal
b.
Penyerahan objek tidak menimbulkan madlarat
c.
Bebas dari gharar, yaitu tidak adanya tipuan yang dilakukan oleh
para pihak yang berakad
d.
Bebas dari riba
3.
Syarat-syarat berlakunya akibat hukum(al-syuruth an-nafadz) adalah
syarat yang diperlukan bagi akad agar akad tersebut dapat dilaksanakan akibat
hukumnya. Syarat-syarat tersebut adalah :
a.
Adanya kewenangan sempurna atas objek akad, kewenangan ini
terpenuhi jika para pihak memiliki kewenangan sempurna atas objek akad,atau
para pihak merupakan wakil dari pemilik objek yang mendapatkan kuasa dari
pemiliknya atau pada objek tersebut tidak tersangkut hak orang lain.
b.
Adanya kewenangan atas tindakan hukum yang dilakukan, persyaratan
ini terpenuhi dengan para pihak yang melakukan akad adalah mereka yang
dipandang mencapai tingkat kecakapan bertindak hukum yang dibutuhkan.
c.
Syarat mengikat (al-syarth al-luzum) sebuah akad yang sudah
memenuhi rukun-rukunnya dan beberapa macam syarat sebagaimana yang dijelaskan
diatas,belum tentu membuat akad tersebut dapat mengikat pihak-pihak yang telah
melakukan akad. Ada persayaratan lagi yang menjadikannya mengikat diantaranya:
1)
Terbebas dari sifat akad yang
sifat aslinya tidak mengikat kedua belah pihak,seperti akad kafalah
(penanggungan). Akad ini menurut sifatnya merupakan akad tidak mengikat sebelah
pihak,yaitu tidak mengikat sebelah pihak,yaitu tidakmengikat kreditor (pemberi
hutang) yang kepadanya penanggungan diberikan. Kreditor dapat secara sepihak
membatalkan akad penanggungan,dan membebaskan penanggung dari konsekuensinya.
Bagi penanggung (al-kafil) akad tersebut mengikat sehinggan ia tidak dapat
membatalkannya tanpa persetujuan kreditor.
2)
Terbebas dari khiyar,akad yang masih tergantung dengan hak khiyar
baru mengikat ketika hak khiyar berakhir. Selama hak khiyar belum berakhir,akad
tersebut mengikat.[2]
C.
Pembagian Akad
1.
Dilihat dari sisi ditentukan nama atau tidak, akad dibedakan
menjadi dua:
a.
Akad bernama (al aqd al-musamma) adalah akad yang bertujuan dan
namanya sudah ditentukan oleh pembuat hukum dan ditentukan pula
ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku terhadapnya dan tidak berlaku terhadap
akad lain.
b.
Akad tidak bernama, yaitu akad yang namanya tidak ditentukan oleh
pembuat hukum yang khusus serta tidak ada pengaturan tersendiri mengenainya.
Akad jenis ini dibuat dan ditentukan oleh para pihak sendiri sesuai dengan
kebutuhan mereka.
2.
Dilihat dari sisi kedudukan akad
a.
Al-aqd al-ashli (akad pokok) yaitu akad yang keberadaanya
tidaktergantung dengan akad lain. Contoh akad jual beli, sewa menyewa, penitipan,
dll.
b.
Al-aqd al-tabi’i yaitu akad yang keberadaanya tergantung kepada
suatu hak yang menjadi dasar ada dan tidaknya atau sah dan tidaknya akad tersebut.
Contoh akad penanggungan (al-kafalah) dan akad gadai. Kedua akad ini merupakan
perjanjian untuk menjamin, karena itu keduanya tidak ada jika hak-hak yang
dijamin tidak ada.
3.
Dilihat dari tempo yang berlaku
a.
Al-aqd al zamani(akad yang bertempo) ialah akad yang menjadi unsur
waktu sebagai bagian dari akad tersebut. Yang termasuk dalam akad ini antara
lain sewa menyewa, akad penitipan, akad pinjam-meminjam, akad pemberian
kuasa,dll.
b.
Al-aqd al-fauri(akad tidak bertempo) akad ini dimana unsur waktu
bukan merupakan bagian dari isi perjanjian.
4.
Dilihat dari aspek formalitasnya,akad dibedakan menjadi dua yaitu :
a.
Akad konsensual (al-aqd al-radla’i) yaitu akad yang terwujud atas
kesepakatan para pihak tanpa ada persyaratan formalitas-formalitas tertentu.
b.
Akad formalistik (al-aqd al-syakli) akad yang tunduk dalam
syarat-syarat yang ditentukan oleh pembuat hukum syar’i
c.
Akad riil(al-aqd al-aini) adalah akad yang untuk terjadinya
diharuskan adanya penyerahan tunai objek akad, dimana akad tersebut belum
terjadi dan belum menimbulkan akibat hukum apabila belum dilaksanakan. [3]
D.
Macam-macam Akad
Akad banyak macamnya dan berlain-lainan namanya serta hukumnya,
lantaran berlainan obyeknya. Masyarakat, atau agama sendiri telah memberikan
nama-nama itu untuk membedakan yang satu dengan yang lainnya. Istilah-istilah
ini tidak diberikan oleh para ulama, namun ditentukan agama sendiri. Karenanya
terbagilah akad kepada :
1.
‘Uqudun musammatun, yaitu: akad-akad yang diberikan namanya oleh
syara’ dan ditetapkan untuknya hukum-hukum tertentu.
2.
‘Uqudun ghairu musammah, yaitu: akad-akad yang tidak diberikan
namanya secara tertentu, ataupun tidak ditentukan hukum-hukum tertentu oleh
syara’ sendiri.
‘Uqudun musammatun ada dua puluh lima macam. Nama-nama ini semuanya
kita ketemukan satu persatu sesudah kita mempelajari bagian muamalah maliyah
dalam ilmu fiqh.
1)
Bai’
عَقْدٌ يَقَوْمُ عَلَى اَسَاسِ مُبَادَلَةِ المَالِ لُيفِيْدَ تَبَادُلَ
المِلْكِيّاتِ عَلَى الدّوَامَ
“Akad
yang berdiri atas dasar penukaran harta dengan harta lalu terjadilah penukaran
milik secara tetap”
Akad ini adalah
pokok pangkal dari uqud mu’awadlah, hukum-hukumnya merupakan naqis ‘alaihi,
dalam kebanyakan hukum akad. Karena itulah kalau kita membaca kitab-kitab fiqh,
maka yang mula-mula kita ketemukan dalam bab muamalah, ialah: Babul ba’i
(Kitabul Ba’i). Bab ini merupakan titil tolak untuk membahas segala masalah
muawadlah maliyah.
2)
Ijarah
عَقْدٌ مَوْضُوْعُهُ المُبَادَلَةُ عَلَى مَنْفَعَةِ الشّيْءِ بِمُدّةٍ
مَحْدُوْدَةٍ أَىْ تَمْلِيْكُهَا بِعِوَضٍ فَهِيَ بَيْعُ المُنَافِعِ
“Akad yang obyeknya, ialah penukaran manfaat untuk masa tertentu
artinya: memilikkan manfaat dengan iwadl, sama dengan menjual manfaat”.
3)
Kafalah
ضَمُّ ذِمَّةٍ إِلى ذِمَّةٍ فِى المُطَالَبَةِ
“Menggabungkan
dzimmah kepada dzimmah lain dalam penagihan”.
Atau
dalam ibarat yang lain dikatakan:
عَقْدٌ يَتَضَمَّنُ الْتِزَامَ شَخْصٍ بِحَقِّ وَاجِبٍ عَلَى غَيْرِهِ
وَاشْرَاكِ نَفْسِهِ مَعَهُ فِى المَسْؤُلِيَّةِ بِهِ تُجَاهَ الطَّالِبِ
“Akad
yang mengandung perjanjian dari seseorang, bahwa padanya ada hak yang wajib dipenuhi
untuk selainnya dan menserikatkan dirinya bersama orang lain itu dalam tanggung
jawab terhadap hak itu dalam menghadapi seseorang penagih”.
Multazim, dalam
hal ini dinamakan kafiil. Multazim asli dinamakan makful atau makful ‘anhu.
Multazim bihi, yaitu benda, dinamakan makful bihi.
4)
Hawalah
عَقْدٌ مَوْضُوْعُهُ نَقْلُ المَسْئُولِيَّةِ مِنَ الدَّائِنِ الأَصْلِيِّ
إِلَى غَيْرِهِ
“Suatu
akad yang obyeknya memindahkan tanggung jawab dari yang mula-mula berhutang
kepada pihak lain”.
Madin dinamakan
muhil, da’in dinamakan muhal, orang yang ketiga dinamakan muhal ‘alaih, hutang
itu sendiri dinamakan muhal bihi.
5) Rahn
عَقْدٌمَوْضُوْعُهُ اِحْتِبَاسُ مَالٍ لِقَاءَحَقٍّ
يُمْكِنُ اسْتِيْفَاؤُهُ مِنْهُ
“Suatu akad yang obyeknya menahan harga
terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh pembayaran dengan sempurna”.
Maka orang yang memegang rahn (mahrum)
dinamakan murtahin. Orang yang memberi rahn, atau menggadaikan atau si madin,
dinamakan rahin. Barang yang dinamakan barang gadaian itu dinamakan marhun
bihi.
6) Bai’ul Wafa’
عَقْدٌتَوْفِيْقِيٌّ فِي صُوْرَةِ بَيْعٍ عَلَى أَسَاسِ احْتِفَاظِ الطَّرَفَيْنِ بِحَقِّ التَّرَادِّ
فِى العِوَ ضَيْنِ
“Akad taufiqi
dalam rupa jual beli atas dasar masing-masing pihak mempunyai hak menarik
kembali pada kedua-kedua iwadl itu (harga dan benda)”.
Aqad bai’ul wafa’ ini merupakan akad yang
bercampur antara bai’dan iarah. Padanya ada unsur-unsur bai’ dan juga padanya
ada juga unsure iarah, sedang hukum rahn lebih mempengaruhi akad itu. Akad ini
mengandung arti jual beli; karena musytari dengan selesainya akad, memiliki
segala manfaat yang dibeli itu. Dapat dipakai sendiri benda yang dibeli itu,
dapat disewakan. Berbeda dengan rahn. Rahn tidak boleh ditasharrufkan oleh si
murtahin dengan sesuatu tasharruf. Dan bai’ul wafa’ ini pula mengandung makna
rahn, karena si musytari tidak boleh membinasakan barang itu, tidak boleh
memindahkan barang itu kepada orang lain. Maka di suatu segi, kita katakan itu
bai’, karena si musytari boleh mengambil manfaat barang itu, boleh bertasharruf
dengan sempurna, dari segi yang lain kita katakana rahn; karena si musytari
tidak boleh menjual barang itu kepada orang lain.
Kemudian si musytari dalam bai’ul wafa’ ini
harus mengembalikan barang kepada si penjual, si penjual mengembalikan harga.
Inilah yang dimaksudkan dengan bai’ul wafa’. Dan si musytari dapaat mendesak si
penjual mengembalikan harga.
7) Al’ida
عَقْدٌمَوْضُوْعُهُ اسْتِعَانَةُ الإِنْسَانِ
بِغَيْرِهِ فِى حِفْظِ مَالِهِ
“Sebuah
akad yang obyeknya meminta pertolongan kepada seseorang dalam memelihara harga si
penitip itu”.
Si pemilik harga dinamakan mudi’; orang
yang dipercaya untuk dititipkan barang dinamakan wadi’, benda yang dititipkan
itu dinamakan wadi’ah. Harta wadi’ah yang diletakkan dibawah penjagaan si wadi’
dipandang amanah dan si wadi’ dipandang ‘amiin.
Terkadang lafad wadi’ah dipakai untuk akad
sendiri. Artinya amanah dalam istilah fuqoha, ialah si wadi’ tidak bertanggung
jawab terhadap bencana-bencana yang tak disingkirkan, seperti bencana alam; dan
si ‘amiin itu diharuskan bertanggung jawab apabila kerusakan terjadi lantaran
kesalahannya. Akad Ida’ merupakan pokok dari segi akad amanah; karena akad
inilah yang dilakukan untuk mempercayakan harga kepada seseorang.
8) Al I’arah
عَقْدٌ يَرِدُعَلَى التَّبَرُّعِ بِمَنَافِعِ
الشَّىْءِلِاسْتِعْمَالِهِ وَرَدِّهِ
“Akad yang dilakukan atas dasar pendermaan
terhadap manfaat sesuatu untuk dipakai dan kemudian dikembalikan”.
Dalam akad terdapat tamlik manfaat tanpa
iwadl. Orang empunya barang dinamakan mu’ir, orang yang meminjam dinamakan
musta’ir, barang yang dipinjamkan namanya ‘ariyah.
I’arah kebalikan ijarah. Ijarah, memiliki
manfaat iwadl, atau menjual manfaat, sedang I’arah memberikan manfaat tanpa
bayaran. Karenanya dalam ijarah wajib ditentukan batas waktu mengambil manfaat,
umpamanya sebulan lamanya.
9) Hibah
عَقْدٌمَوْضُوْعُهُ تَمْلِيْكُ الإِنْسَانِ مَالَهُ
لِغَيْرِهِ مَجًّانًا بِلَاعِوَضٍ
“Akad yang obyeknya ialah mengalih hak
milik kepada orang lain secara cuma-cuma tanpa adanya bayaran”.
Orang yang memberikan hibah dinamakan
wahib, yang menerimanya dinamakan mauhub lahu, harta yang diberikan itu
dinamakan mauhub.
10) Aqdul Qismati
إِفْرُازُالْحِصَصِ الشَّائِعَةِ فِىْ الْمِلْكِ
وَتحْصِيْصُ كُلِّ مِنْهَا بِجُزْءٍمُعَيَّنٍ
“Mengasingkan (menentukan) bagian-bagian
yang berkembang (yang dimiliki bersama) dalam harta milik dan menentukan bagi
masing-masing pemilik dari bagian itu, bagian tertentu”.
Pelaksanaan qismah terdiri dari dua unsur :
a. Unsur ifraz, mengasingkan atau memisahkan
dari yang lain.
b. Unsur jual beli dan tukar menukar.
Hal ini berlaku dalam suatu yang dimiliki
secara musyarakah (secara bersama), yang terdapat hak bersama pada tiap-tiap
bagian dari benda itu. Dan qismah ini dilakukan atas kesepakatan kedua belah
pihak, dan kadang-kadang dilakukan atas putusan hakim berdasarkan permintaan
kongsi.[4]
E.
Mani’ Nufudz (Penghalang Akad)
Mani’ nufudz banyak macamnya. Namun
demikian dapat kita kembalikan kepada dua macam saja, yaitu ikrah (paksaan) dan
haqqul ghair (hak orang lain).
Ikrah, adalah cacat yang terjadi
pada keridlaan (kehendak) yang paling penting dalam fiqh Islam. Para fuqaha
mengadakan pembahasan tersendiri tentang ikrah ini. Mengenai haqqul ghair ini
perlu dijelaskan sedikit. Haqqul ghair mempunyai tiga keadaan :
1.
Haqqul ghair, akad yang berpautan dengan benda. Seperti menjual
milik orang lain, tindakan orang sakit menjelang maut, dan seperti tasharruf
orang murtad menurut jumhur atau menurut Abu Hanifah.
2.
Berpautan dengan maliyah, benda obyek akad; bukan dengan benda
(‘ain)nya, hanya dengan maliyahnya, dengan hartanya, seperti tasharruf si madin
yang tidak majhur secara yang menimbulkan kerugian pihak dain, lantaran hak-hak
si dain itu berpautan dengan maliyah benda itu, bukan dengan zatnya benda itu.
Uang si dain
bukan bersangkut dengan rumah si madin, tetapi bersangkut dengan harta si madin.
Maka jika si madin dapat membawakan harta-harta yang lain untuk bayar hutang,
sahlah tabarru’nya itu. Ini perbedaan perpautan hak dengan ‘ain, dengan
perpautan hak dengan maliyah ‘ain. Kalau berpautan dengan hak si dain berpautan
dengan maliyah si madin, maka kalau simadin itu bisa membayar walaupun dengan
bukan yang itu, niscaya si madin dapat bertasharruf dengan hartanya itu.
3.
Berpautan dengan dapat tidaknya tasharruf itu sendiri, bukan dengan
benda, yang dikatakan dalam istilah fiqh shalahiatul tasharruf; (boleh
bertasharruf), seperti tasharruf si majhur alaih, baik karena masih kecil,
maupun karena safih (boros), atau lantaran hutang. Apabila wali atau washi
setuju, maka persetujuan ini berlaku surut. Ini penting kita perhatikan.[5]
F.
Asas-Asas Dalam Fiqh Muamalah
1.
Asas Ibabah
Asas ini
merupakan asas umum dalam hukum islam. Kepadanya berlaku kaidah fiqh
“Pada dasarnya
dalam muamalah segala sesuatu itu boleh kecuali ada dalil yang melarangnya”
Kaidah diatas memberi ruang yang seluas-luasnya dalam fiqh muamalah
untuk menciptakan berbagai kreatifitas akad baru selama tidak bertentangan
larangan universal dalam hukum islam.
2.
Asas Kebebasan, asas ini meniscayakan setiap orang yang memenuhi
syarat tertentu, memiliki kebebasan dalam Islam, tidak berarti bebas secara
mutlak, akan tetapi bebas dengan persyaratan tertentu. Asas ini berdasarkan
kaidah :
“Kebebasan
seseorang terbatasi oleh kebebasan orang lain”
Berdasarkan kaidah diatas Islam memberikan batasan-batasan tertentu
terhadap sesuatu yang didalamnya terkandung kebebasan. Bebas yang ada
batasannya dimaksudkan untuk menghormati kebebasan orang lain.
3.
Asas Konsesualisme, asas ini menyatakan bahwa untuk tercapainya
suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara pihak tanpa perlu
dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu. Dalam hukum Islam pada umumnya
perjanjian-perjanjian itu bersifat konsensual. Dalam asas ini berlaku kaidah :
”Pada dasarnya
perjanjian itu adalah kesepakatan para pihak dan akibat hukumnya adalah apa
yang mereka tetapkan melalui janji”.
4.
Asas ”Janji itu Mengikat” artinya bahwa janji atau kesepakatan yang
telah dibuat oleh para pihak dipandang mengikat terhadap pihak-pihak yang telah
membuatnya. Atas dasar ini, dua orang yang telah mengikatkan diri dengan kesepakatan
tertentu, salah satu pihak tidak bisa membatalkan kesepekatan tersebut tanpa
persetujuan pihak lain.
5.
Asas Keseimbangan
Hukum
perjanjian Islam memandang perlu adanya keseimbangan antara orang yang berakad
baik keseimbangan antara apa yang diberikan dan apa yang diterima maupun
keseimbangan dalam memikul resiko. Asas keseimbangan antara apa yang diberikan
dan apa yang diterima tercemin pada dibatalkannya suatu akad yang mengalami
ketidakseimbangan prestasi yang mencolok. Asas keseimbangan dalam memikul
resiko tercemin pada larangan riba.
6.
Asas Kemaslahatan, bahwa akad yang dibuat oleh para pihak yang
dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi mereka dan tidak boleh
mendatangkan kerugian dan keadaan yang memberatkan. Inilah yang menjadi alasan
tidak bolehnya mentransaksikan barang-barang yang memabukkan, dikarenakan dalam
barang tersebut terkandung sesuatu yang mendatangkan madarat.
7.
Asas Amanah
Dengan asas ini
dimaksudkan bahwa masing-masing pihak yang melakukan akad haruslah beriktikad
baik dalam bertransaksi dengan pihak lainnya dan tidak dibenarkan
mengeksploitasi tidak tahuan mitraanya. Dalam hukum perjanjian Islam dikenal
perjanjian amanah ialah salah satu pihak hanya bergantung informasi jujur dari
pihak lainnya untuk mengambil keputusan. Jika pada suatu saat ditemukan sebuah
informasi yang tidak sesuai dengan informasi awal karena sebuah ketidak
jujuran, maka ketidakjujuran tersebut bisa dijadikan sebagai alasan untuk
membatalkan akad.
8.
Asas Keadilan
Keadilan adalah
sebuah sendi yang hendak mewujudkan oleh para pihak yang melakukan akad. Seringkali
dalam dunia modern ditemukan sebuah keterpaksaan salah satu pihak oleh pihak
lainnya yang dibakukan oleh klausul akad tanpa dinegosiasi. Keterpaksaan
tersebut bisa didorong oleh kebutuhan ekonomi atau yang lainnya. Dalam hukum Islam
kotemporer telah diterima suatu asas bahwa demi keadilan syarat baku itu telah
diubah oleh pengadilan apabila memang ada alasan untuk itu. [6]
G. Hikmah Akad
1. Adanya ikatan yang kuat antara dua orang
atau lebih di dalam bertransaksi atau memiliki sesuatu.
2. Tidak dapat sembarangan dalam membatalkan
sesuatu ikatan perjanjian, karena telah diatur secara syar’i.
3. Akad merupakan payung hukum di dalam
kepemilikan sesuatu sehingga pihak lain tidak dapat menggangu atau memilikinya.[7]
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Akad adalah suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang
berdasarkan persetujuan masing-masing. Rukun
adalah unsur-unsur yang membentuk terjadinya akad. Jumhur ulama’ berpendapat
bahwa rukun akad terdiri dari: Al-aqidain (pihak-pihak yang berakad), Objek
akad, Sighat al-aqd (pernyataan untuk mengikatkan diri), Tujuan akad. Syarat terbentuknya akad : Pihak yang
berakad(aqidain), Shighat akad, Objek akad, Tujuan akad tidak bertentangan dengan syara’. Syarat keabsahan akad : Pernyataan kehendak harus
dilaksanakan secara bebas, Penyerahan objek tidak menimbulkan madlarat, Bebas
dari gharar, Bebas dari riba. Syarat-syarat berlakunya akibat hukum : Adanya kewenangan sempurna atas objek akad, Adanya
kewenangan atas tindakan hukum yang dilakukan, Syarat mengikat(Terbebas
dari sifat akad yang sifat aslinya tidak
mengikat kedua belah pihak, Terbebas dari khiyar).
B.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah,
Afandi Yazid, Fiqh Muamalah, Jakarta:
Logung Pustaka, 2009
Hasbi Ash-Shiddieqy Tengku Muhammad,
Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 2009
Ghazali Abdul Rohman, Fiqh Muamalat, Jakarta: Prenada Media
Group, 2010
https://chezam.wordpress.com/2009/10/14/makalah-tentang-akad/ diakses 20 Sep. 15
[4] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah;
ed. Revisi, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009, hlm. 82
No comments:
Post a Comment