Monday, November 2, 2015

ULUMUL QUR'AN : CARA TURUN DAN PENYAMPAIAN WAHYU AL-QUR'AN

MAKALAH ULUMUL QUR’AN
“CARA TURUN DAN PENYAMPAIAN WAHYU AL QUR’AN”
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu : Shobirin, S.Ag, M.Ag





  
Disusun oleh :
Dian Noviana Sari  : 1420210044
ESRB-2

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI  (STAIN) KUDUS
Program Studi Ekonomi Syari’ah
2015






BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Al Qur’an adalah sumber inspirasi kehidupan umat manusia. Karena semua yang dibutuhkan oleh manusia tersedia di dalamnya. Tinggal mau atau tidak kita mengambilnya dan menggunakannya. Jika kita belum menemukan apa-apa di dalamnya, padahal kita senantiasa membacanya, boleh jadi interaksi kita dengan Al Qur’an belum sempurna, karena kita membacanya hanya sekedar membaca, tanpa melihat aspek lain yang justru lebih penting.
Dalam mempelajari subbab ini, penulis membahas tentang wahyu yang terdengar sangat melekat dengan Al-Qur’an. Dari mulai pengertian wahyu, macam-macam wahyu, cara turun dan penyampaiannya, pelestarian wahyu Al-Qur’an, hubungan akal dan wahyu Al-Qur’an, serta pendapat para ahli mengenai proses pewahyuan Al-Qur’an. Untuk itu, makalah ini menyajikan pendalaman materi tentang wahyu yang terdapat dalam Al-Qur’an.


B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan wahyu?
2.      Apa saja macam-macam wahyu itu?
3.      Bagaimana cara turun dan penyampaian wahyu Al-Qur’an?
4.      Bagaimana pelestarian wahyu Al-Qur’an?
5.      Apa hubungan akal dan wahyu Al-Qur’an?
6.      Bagaimana pendapat para ulama tentang proses pewahyuan Al-Qur’an?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Wahyu
Wahyu menurut ilmu bahasa ialah isyarat yang cepat dengan tangan dan sesuatu isyarat yang dilakukan bukan dengan tangan. Wahyu menurut istilah ialah sebutan bagi sesuatu yang dituangkan dengan cara cepat dari Allah e dalam dada Nabi-nabi-Nya sebagaimana dipergunakan juga untuk lafadz Al Qur’an. Yang dimaksudkan dengan wahyu dalam surat Asy-Syura (42) ayat 21 ialah sesuatu yang dibisikkan (di hujamkan) ke dalam sukma.[1]
Al-Wahy (wahyu) adalah kata mashdar (infinitif). Dia menunjuk pada dua pengertian dasar, yaitu; tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu, dikatakan, “Wahyu ialah informasi secara tersembutnyi dan cepat yang khusus ditujukan kepada orang tertentu tanpa diketahui orang lain.”[2]
Secara etimologi (kebahasaan) Pengertian wahyu meliputi : 
  1. Ilham al-fithri li al-insan (ilham yang menjadi fitrah manusia). Seperti wahyu terhadap ibu Nabi Musa,
!$uZøŠym÷rr&ur #n<Î) ÏdQé& #ÓyqãB ÷br& ÏmÏèÅÊör& ( ÇÐÈ  
dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah Dia,…” (Al-Qashash:7)
  1. Ilham yang berupa naluri pada binatang, seperti wahyu kepada lebah,
4ym÷rr&ur y7/u n<Î) È@øtª[$# Èbr& ÉσªB$# z`ÏB ÉA$t6Ågø:$# $Y?qãç/ z`ÏBur ̍yf¤±9$# $£JÏBur tbqä©Ì÷ètƒ ÇÏÑÈ  
dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia", (An-Nahl:68)

  1. Isyarat yang cepat melalui isyarat, seperti isyarat Zakaria yang diceritakan Al Qur’an,
yltsƒmú 4n?tã ¾ÏmÏBöqs% z`ÏB É>#tósÏJø9$# #Óyr÷rr'sù öNÍköŽs9Î) br& (#qßsÎm7y Zotõ3ç/ $|ϱtãur ÇÊÊÈ  
“Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang.” (Maryam:11)

  1. Bisikan setan untuk menghias yang buruk agar tampak indah dalam diri manusia.
¨bÎ)ur šúüÏÜ»u¤±9$# tbqãmqãs9 #n<Î) óOÎgͬ!$uÏ9÷rr& öNä.qä9Ï»yfãÏ9 ( ÇÊËÊÈ  
“Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu.”(Al-An’am:121)[3]
“dan Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, Yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (Al-An’am:112)
  1. Apa yang disampaikan Allah kepada para malaikat-Nya berupa suatu perintah untuk dikerjakan.
øŒÎ) ÓÇrqムy7/u n<Î) Ïps3Í´¯»n=yJø9$# ÎoTr& öNä3yètB (#qçGÎm;sWsù šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä 4 ÇÊËÈ  
(ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku bersama kamu, Maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang telah beriman". (Al-Anfal:12)
Ustadz Muhammad Abduh mendefinisikan wahyu di dalam Risalah At-Tauhid sebagai “pengetahuan yang didapati seseorang dari dalam dirinya sengan suatu keyakinan bahwa pengetahuan itu dating dari Allah, baik dengan melalui perantaraan ataupun tidak. Yang pertama melalui suara yang terjelma dalam telinganya atau bahkan tanpa suara. Beda antara wahyu dengan ilham adalah bahwa ilham itu intuisi yang diyakini oleh jiwa yang mendorong untuk mengikuti apa yang diminta, tanpa sadar darimana datangnya. Hal seperti itu serupa dengan perasaan lapar, haus, sedih, dan senang”.

B.     Macam-Macam Wahyu
Menurut pendapat Muhammad Abduh, ada tiga macam wahyu yaitu :
  1. Wahyu yang ditujukan bersama kepada kaum khawas serta kaum awam, dan merupakan sebahagiaan besar dari ayat-ayat Al-Qur’an.
  2. Wahyu yang ditujukan hanya kepada kaum awam dan jumlahnya sedikit.
  3. Wahyu yang ditujukan hanya kepada kaum khawas dan wahyu serupa inilah yang paling sedikit jumlahnya.[4]

C.    Cara Turun dan Penyampaian Wahyu
1.      Mimpi.[5] Aisyah Radhiyallahu Anha berkata, “Sesungguhnya apa yang mula-mula terjadi pada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah mimpi yang benar di dalam tidur. Beliau tidaklah melihat mimpi kecuali mimpi itu datang bagaikan terangnya pagi hari.”[6]
2.      Dihembuskan ke dalam jiwa Nabi perkataan yang dimaksudkan. Mujahid dan kebanyakan ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan wahyu dalam Q.S Asy-Syura (42) ayat 51 ialah Tuhan memasukkan wahyu yang dimaksudkan ke dalam jiwa Nabi.
3.      Gerincingan lonceng yang sangat keras. Martabat inilah yang paling berat diterima Nabi.[7] Apabila Wahyu yang turun kepada Rasulullah dengan cara ini, biasanya beliau mengumpulkan segala kekuatan dan kesadarannya untuk menerima, menghafal dan memahaminya. Terkadang suara itu seperti kepakan sayap-sayap malaikat, seperti diisyaratkan di dalam hadits,
“Apabila Allah menghendaki suatu urusan di langit, maka para malaikat memukul-mukulkan sayapnya karena tunduk kepada firman-Nya, bagaikan geemrincingnya mata rantai di atas batu-batu yang licin.” (HR. Al-Bukhari)[8]
4.      Malaikat menyerupakan dirinya sebagai seorang lelaki. Jibril pernah datang kepada Nabi dlam rupa Dihyah ibn Khalifah, seorang lelaki yang sangat elok rupanya.
5.      Jibril memperlihatkan dirinya kepada Nabi dalam rupanya yang asli yang mempunyai enam ratus sayap.
6.      Allah berbicara dengan Nabi dari belakang hijab, baik Nabi dalam keadaan sadar (jaga) seperti di malam Isra’ ataupun dalam tidur, seperti yang diriwayatkan oelh At-Turmudzy dari Hadits mu’adz.
7.      Israfil turun membawa beberapa kalimat wahyu, sebelum Jibril datang membawa wahyu Al-Qur’an.[9]

D.    Pelestarian Wahyu Al-Qur’an
1.      Pelestarian Wahyu pada Masa Nabi saw
Pelestarian Al-Qur'an Al-Quran sejak diturunkan pertama kali sudah dimintakan oleh Nabi saw untuk ditulis kepada para Sahabat. Setiap ayat-ayat yang turun, yang banyak disaksikan oleh para sahabat secara mutawatir, diperintah oleh Nabi saw untuk ditulis. Banyak upaya yang dilakukan berkaitan dengan pelestarian Al-Quran, di antaranya:
a.       Ditulis oleh para penulis wahyu seperti Abu Bakar, Zaid bin Tsabit, Ali bin Abu Thalib, Usman bin Affan, Ubai bin Kaab (mula-mula menjadi juru tulis Nabi dari golongan Anshar. Beliau juga seorang yang banyak menulis wahyu), Amir ibn Fuhairah (Amir menjadi juru tulis surat-surat Nabi yang dikirimkan kepada beberapa orang raja untuk mengajak mereka kepada Islam), Mu'awiyah bin Abi Sufyan, Yazid (saudara Mu’awiyah), dan beberapa orang lainnya.;
b.      Dihafalkan oleh para sahabat dalam berbagai kesempatan seperti di waktu salat, waktu temu bersama;
Para sahabat yang menghafal Al-Qur’an sepenuhnya dari golongan Muhajirin adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar ibn Al-Khaththab, Utsman ibn Affan, ali ibn Abi Thalib, Thalhah, Sa’ad, Hudzaifah, Abdullah ibn Abbas, Amer ibn Ash, Abdullah ibn Amer ibn Ash, Mu’awiyah, Ibnu Zubair, Abdullah ibn Assa’ib, Aisyah Ummu al-Mukminin, Hafshah Ummu al-Mukminin (orang yang juga seorang ahli tulis pada masa itu) serta Ummu Salamah Ummu al-Mukminin.
Dari golongan Anshar adalah Ubay ibn Ka’ab, Muadz ibn Jabal, Zaid ibn Tsabit, Abu Darda’, Abu Zaid, Majma’ ibn Jariyah (Haritsah) dan Anas ibn Malik.
Selain itu terdapat lagi beberapa sahabat yaitu Ubadah ibn Shamit, Fudhalah ibn Ubaid, Maslamah ibn Khalid, Qais Abi Sha’sha’ah, Tamim ad-Dary, Uqbah ibn Amir, Salamah ibn Makhlad dan Abu Musa al-Asy’ary.[10]
c.       Malaikat mengecek Al-Quran sewaktu bulan ramadhan
Di antara sahabat yang terkenal sebagai guru yang mengajarkan al-Qur’an kepada sesamanya dan kepada para tabi’in ialah Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Ubay ibn Ka’ab, Zaid ibn Tsabit, Ibnu Mas’ud, Abu Darda’ dan Abu Musa al-Asy’ary. Tujuh shahaby besar inilah yang terkenal sebagai pengajar al-Qur’an di masa Nabi saw dan sesudahnya.[11]
d.      Dijadikan sumber ajaran keagamaan yang dikuatkan dengan hadis.
Tulisan-tulisan juru tulis Rasul itu disimpan di rumah Rasul dan mereka menulis untuk diri mereka masing-masing. Semua ahli ilmu menetapkan bahwa susunan ayat Al-Qur’an disusun menurut susunan Rasul semata-mata, bukan menurut kemauan para juru tulisnya.[12]

2.      Pelestarian Hadits
a.       Sekalipun ada larangan menulis hadis (terutama yang di lembar yang satu dengan Al-Quran), tetapi Nabi saw dalam banyak kesempatan menyuruh sahabat untuk menulis hadis seperti: untuk Abu Syah, untuk menyurati sejumlah Raja agar menurutu seruan masuk agama Islam;
b.      Dihafalkan oleh para sahabat, selain juga menghafalkan Al-Quran;
c.       Sahabat yang sadar bahwa larangan yang diikuti dengan suruhan itu berati perbu- atan yang boleh dilakukan, menulis hadis di dalam dokumen masing-masing, seperti Sahabat Abu Bakar, Amr bin Ash, Ali bin Abi Thalib, dan Abu Hurairah;
d.      Dijadikan sumber ajaran keagamaan di samping Al-Quran.

3.      Usaha Pelestarian Lanjutan
Setelah masa Nabi saw, Al-Quran yang sudah tuntas ketentuannya dari Nabi saw, setahap demi setahap difinalkan pelestariannya, hingga ia tuntas dibukukan dengan lengkap sekaligus model mushafnya di masa Khalifah Utsman, yang terjaga dengan baik hingga sekarang. Hal demikian beda dengan hadis. Hadis, tidak disuruh tulis oleh Nabi saw. Namun, ia bersama Al-Quran dijadikan sumber ajaran keagamaan untuk dilaksana kan di dalam kehidupan. Karenanya, baik terhadap Al-Quran maupun terhadap hadis, sama dipegangi asumsi yang sama.
Para ahli hadis berasumsi, "Ada kesepakatan batin umat untuk menghadapitantangan sumber ajaran keagamaan, bahwa selain membu-kukan Al-Quran mereka juga sepakat membukukan hadis pada waktu yang tidak sepaket dengan pembukuan Al-Quran; mereka juga bertekad menyelesaikan persoalan kedua nash itu untuk menghadapi tantangan kehidupan umat masa kemudian" (Erfan, Respons Muhadditsun Menghadapi Kehidupan Umat, 2005:26).
Dengan asumsi itu, baik Al-Quran maupun hadis, sama tetap dilestarikan oleh umat sampai dibukukannya secara resmi. Hanya saja, Al-Quran jauh lebih cepat selesainya dari hadis. Karena Al-Quran memang disengaja dari awal proses penyelesaian pembukuannya, sementara hadis disusuli kemudian, terutama, setelah disepakati untuk dibukukan secara resmi yang dilakukan secara bulat dan bertahap sejak masa pemerintahan Khalifah Umar bin 'Abdul Aziz (99-101 H), dari kalangan tabiin.
Pelestarian wahyu Al-Quran dan hadis dilakukan sejak masa Nabi Muhammad saw, yang dilanjutkan ke masa-masa sesudahnya. Keduanya, tetap dalam upaya pelestarian sehingga selesai dibukukan secara resmi. Al-Quran selesai dibukukan pada masa Sahabat Utsman, sedang hadis yang bermula sejak masa Tabiin, selesai juga dibukukan pada beberapa sesudahnya.

E.     Hubungan akal dengan wahyu Al-Qur’an
Dalam Islam, akal memiliki posisi yang sangat mulia. Meski demikian bukan berarti akal diberi kebebasan tanpa batas dalam memahami agama. Islam memiliki aturan untuk menempatkan akal sebagaimana mestinya. Bagaimanapun, akal yang sehat akan selalu cocok dengan syariat Islam dalam permasalahan apapun. Dan wahyu baik berupa Al-qur’an dan Hadits bersumber dari Allah SWT, pribadi Nabi Muhammad SAW yang menyampaikan wahyu ini, memainkan peranan yang sangat penting dalam turunnya wahyu. Wahyu merupakan perintah yang berlaku umum atas seluruh umat manusia, tanpa mengenal ruang dan waktu, baik perintah itu disampaikan dalam bentuk umum atau khusus. Apa yang dibawa oleh wahyu tidak ada yang bertentangan dengan akal, bahkan ia sejalan dengan prinsip-prinsip akal. Wahyu itu merupakan satu kesatuan yang lengkap, tidak terpisah-pisah. Wahyu itu menegakkan hukum menurut kategori perbuatan manusia baik perintah maupun larangan. Sesungguhnya wahyu yang berupa Al-qur’an dan As-sunnah turun secara berangsur-angsur dalam rentang waktu yang cukup panjang.
Akal mempunyai daya yang kuat. Akal dapat mengetahui adanya Tuhan dan kehidupan di dunia. Akal dapat sampai ke pengetahuan yang lebih tinggi. Menurut pendapat Muhammad Abduh, manusia melalui akalnya dapat mengetahui bahwa berterimakasih kepada Tuhan adalah wajib, bahwa kebajikan adalah dasar kebahagiaan dan kejahatan adalah dasa kesengsaraan di akhirat.[13]
Muhammad Abduh juga berpendapat, betul manusia diberi akal, tetapi akal tidak sanggup untuk mengetahui rahasia-rahasia hidup di akhirat. Manusia memerlukan satu petunjuk lain di samping intuisi dan akal. Petunjuk itu turun dari Tuhan dalam bentuk wahyu yang disampaikan kepada rasul-rasul. Tuhan memilih dari kalangan manusia sendiri yang telah dianugerahi sifat-sifat khusus dan mukjizat yang menimbulkan keyakinan dalam diri orang. Mereka datang untuk meluruskan pemikiran akal.[14]
Rasul kita, Muhammad saw bukanlah Rasul pertama yang diberi wahyu. Allah telah memberikan juga wahyu kepada rasul-rasul sebelum itu sepeti yang diwahyukan kepadanya:
 !$¯RÎ) !$uZøym÷rr& y7øs9Î) !$yJx. !$uZøym÷rr& 4n<Î) 8yqçR z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur .`ÏB ¾ÍnÏ÷èt/ 4 !$uZøŠym÷rr&ur #n<Î) zOŠÏdºtö/Î) Ÿ@ŠÏè»yJóÎ)ur t,»ysóÎ)ur z>qà)÷ètƒur ÅÞ$t6óF{$#ur 4Ó|¤ŠÏãur z>qƒr&ur }§çRqãƒur tbr㍻ydur z`»uKøn=ßur 4 $oY÷s?#uäur yŠ¼ãr#yŠ #Yqç/y ÇÊÏÌÈ   Wxßâur ôs% öNßg»oYóÁ|Ás% šøn=tã `ÏB ã@ö6s% Wxßâur öN©9 öNßgóÁÝÁø)tR šøn=tã 4 zN¯=x.ur ª!$# 4ÓyqãB $VJŠÎ=ò6s? ÇÊÏÍÈ  
 “Sesungguhnya Kami telah menyampaikan wahyu kepadamu seperti Kami telah menyampaikan wahyu keapda Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah menyampaikan wahyu pula kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya’kub dan anak cucunya, Isa, Ayub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan kami berikan Zabur kepada Daud. Dan kami telah mengutus rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.” (an-Nisa’[4]:163-164).[15]
Di tempat lain Muhammad Abduh jelaskan bahwa wahyu datang untuk menolong dan meyakinkan akal bahwa apa yang diketahuinya melalui usahanya sendiri tentang wujud Tuhan, sifat-sifat-Nya dan sebagainya adalah benar. Wahyu datang untuk memperkuat pengetahuan itu dan bukan untuk membawa pengetahuan baru. Umpamanya, mengetahui adanya Tuhan adalah baik dan wahyu datang memperkuat kenyataan ini.[16]
Antara wahyu dan akal tidak selalu mendukung, karena seiring perkembangan zaman akal yang semestinya mempercayai wahyu adalah sebuah anugerah dari Allah terhadap orang yang terpilih, terkadang mempertanyakan keaslian wahyu tersebut. Apakah wahyu itu benar dari Allah ataukah hanya pemikiran seseorang yang beranggapan semua itu wahyu. Seperti pendapat Abu Jabbar bahwa akal tak dapat mengetahui bahwa upah untuk suatu perbuatan baik lebih besar dari pada upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik lain, demikian pula akal tak mengetahui bahwa hukuman untuk suatu perbuatan buruk lebih besar dari hukuman untuk suatu perbuatan buruk yang lain. Semua itu hanya dapat diketahui dengan perantaraan wahyu. Al-Jubbai berkata wahyulah yang menjelaskan perincian hukuman dan upah yang akan diperoleh manusia di akhirat.
Karena masalah akal dan wahyu dalam pemikiran kalam sering dibicarakan dalam konteks, yang manakah diantara kedua akal dan wahyu itu yang menjadi sumber pengetahuan manusia tentang Tuhan, tentang kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan, tentang apa yang baik dan yang buruk, serta tentang kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk.
Al-Qur’an berbicara kepada akal manusia dan bukan hanya kepada perasaannya. Akal dimuliakan Allah dengan menunjukkan perintah dan larangan-Nya di dalam akal. Nabi juga berbicara kepada akal dan membuat akal menjadi hakim antara apa yang bernar dan apa yang salah.
Keharusan manusia mempergunakan akalnya, bukanlah hanya ilham yang terdapat dalam dirinya, tetapi juga merupakan ajaran Al-Qur’an. Kitab suci Al-Qur’an memerintahkan kita untuk berpikir dan mempergunakan akal serta melarang kita memakai sikap taklid. Al-Qur’an tidak semata-mata memberi perintah-perintah, tetapi mendorong manusia berpikir. Ayat menyebut sifat-sifat Tuhan, tetapi manusia tidak diminta percaya begitu saja. Argumen dibawa untuk memperkuat apa yang disebut oleh ayat.[17]

F.     Pendapat Para Ulama tentang Proses Pewahyuan Al-Qur’an
Di dalam al-Qur’anul karim terdapat nas mengenai kalam Allah kepada para malaikatnya:
øŒÎ) ÓÇrqムy7/u n<Î) Ïps3Í´¯»n=yJø9$# ÎoTr& öNä3yètB (#qçGÎm;sWsù šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä 4ÇÊËÈ    
"Ingatlah ketika tuhanmu mewahyukan kepada malaikat: ‘Sesungguhnya Aku bersama kamu, teguhkan pendirian orang-orang yang beriman’ “ (al anfal [8]:12)

Nas-nas diatas dengan tegas menunjukkan bahwa Allah berbicara kepada para malaikat tanpa perantaraan dan dengan pembicaraan yang dipahami oleh para malaikat itu.
Telah nyata pula bahwa Alquran telah dituliskan di lauhil mahfuz,
ö@t/ uqèd ×b#uäöè% ÓÅg¤C ÇËÊÈ   Îû 8yöqs9 ¤âqàÿøt¤C ÇËËÈ  

 “Bahkan ia adalah Quran yang mulia yang tersimpan di lauhil mahfuz”(al buruj[85]:21-22)

Para ulama berpendapat mengenai cara turunnya wahyu Allah berupa Al-Qur’an kepada Jibril dengan beberapa pendapat :
a.               Bahwa Jibril menerimanya secara pendengaran dari Allah dengan
lafalnya yang khusus
b.              Bahwa Jibril menghafalnya dari lauhul mahfuz
c.               Bahwa maknanya disampaikan kepada Jibril, sedang lafalnya                                  adalah lafal Jibril, atau lafal Muhammad SAW
Pendapat pertama itulah yang benar, dan pendapat itu yang dijadikan pegangan oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah, serta diperkuat oleh hadits Nawas bin Sam’an .
Menisbahkan Al-Qur’an kepada Allah itu terdapat dalam beberapa ayat :
y7¯RÎ)ur ¤)n=çGs9 šc#uäöà)ø9$# `ÏB ÷bà$©! AOŠÅ3ym AOŠÎ=tæ ÇÏÈ  
Sesungguhnya kamu benar-benar diberi Al-Qur’an dari Allah yang Mahabijaksana dan Maha Mengetahui”. (an-Naml [27]:6).
#sŒÎ)ur 4n?÷Gè? óOÎgøŠn=tæ $uZè?$tƒ#uä ;M»oYÉit/   tA$s% šúïÏ%©!$# Ÿw tbqã_ötƒ $tRuä!$s)Ï9 ÏMø$# Ab#uäöà)Î/ ÎŽöxî !#x»yd ÷rr& ã&ø!Ïdt/ 4 ö@è% $tB Ücqä3tƒ þÍ< ÷br& ¼ã&s!Ïdt/é& `ÏB Ç!$s)ù=Ï? ûÓŤøÿtR ( ÷bÎ) ßìÎ7¨?r& žwÎ) $tB #Óyrqム n<Î) ( þÎoTÎ) ß$%s{r& ÷bÎ) àMøŠ|Átã În1u z>#xtã BQöqtƒ 5OÏàtã ÇÊÎÈ  
Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharap pertemuan dengan Kami berkata: ‘Datangkanlah Qur’an yang lain dari ini atau gantilah ia’, Katakanlah: ‘Tidaklah patut bagiku untuk menggantikannya dai pihak diriku sendiri. Akau tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku...’” (Yunus [10]:15).
Qur’an adalah kalam Allah dengan lafalnya, bukan kalam Jibril atau kalam Muhammad. Sedang pendapat kedua di atas itu tidak dapat dijadikan pegangan, sebab adanya Qur’an di lauhul mahfuz itu seperti hal-hal ghaib yang lain, termasuk Qur’an.
Dan pendapat ketiga lebih sesuai dengan hadits, sebab hadits itu wahyu dari Allah kepada Jibril, kemudian kepada Muhammad SAW secara maknawi saja. Lalu hal itu diungkapkan dengan ungkapan beliau sendiri.
$tBur ß,ÏÜZtƒ Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ   ÷bÎ) uqèd žwÎ) ÖÓórur 4ÓyrqムÇÍÈ  
Dia (Muhammad) tidaklah berbicara menurut kemauan hawa nafsunya. Apa yang diucapkannya itu tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya”. (an-Najm [53]:3-4).
Dan oleh sebab itulah diperbolehkan meriwayatkan hadits menurut maknanya, sedang Qur’an tidak.[18]


BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Wahyu ialah informasi secara tersembunyi dan cepat yang khusus ditujukan kepada orang tertentu tanpa diketahui orang lain. Macam-macam wahyu yaitu, wahyu yang ditujukan bersama kepada kaum khawas serta kaum awam, dan merupakan sebagiaan besar dari ayat-ayat Al-Qur’an, wahyu yang ditujukan hanya kepada kaum awam dan jumlahnya sedikit, dan wahyu yang ditujukan hanya kepada kaum khawas dan wahyu serupa inilah yang paling sedikit jumlahnya. Cara turun dan penyampaian wahyu Al-Qur’an ialah mimpi, dihembuskan ke dalam jiwa Nabi perkataan yang dimaksudkan, gerincingan lonceng yang sangat keras, malaikat menyerupakan dirinya sebagai seorang lelaki, Jibril memperlihatkan dirinya kepada Nabi dalam rupanya yang asli yang mempunyai enam ratus sayap, dan lain-lain.
Antara akal dan wahyu tidak bisa ada pertentangan. Pelestarian Al-Qur’an dengan cara Ditulis oleh para penulis wahyu, dihafalkan oleh para sahabat dalam berbagai kesempatan seperti di waktu salat, waktu temu bersama, malaikat mengecek Al-Quran sewaktu bulan ramadhan, dijadikan sumber ajaran keagamaan yang dikuatkan dengan hadits. Ada juga pelestarian hadits dan usaha pelestarian lanjutan. Para ulama berpendapat mengenai cara turunnya wahyu Allah berupa Al-Qur’an kepada Jibril dengan cara : bahwa Jibril menerimanya secara pendengaran dari Allah dengan lafalnya yang khusus, bahwa Jibril menghafalnya dari lauhul mahfuz, bahwa maknanya disampaikan kepada Jibril, sedang lafalnya adalah lafal Jibril, atau lafal Muhammad SAW.




DAFTAR PUSTAKA

1.      Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Al Qur’an Tafsir, (Jakarta: Erlangga, 1998)
2.      Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006)
3.      Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2012)
4.      Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1987)











[1] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Al Qur’an Tafsir, hlm 23
[2] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, hal 34-36
[3] Ibid, hlm 37
[4] Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, hlm 37
[5] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Op.cit., hlm 12-13
[6] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Op.cit., hlm 38
[7] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Op.cit., hlm 12-13
[8] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Op.cit., hlm 38
[9] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Op.cit.,hlm 14


[10] Ibid, hlm.60
[11] Teungku M.Hasbi Ash-Shiddieqy, Op.cit, hlm.60
[12] Ibid, hlm.59-60
[13] Harun Nasution, Muhammad Abduh dan teologi rasional Mu’tazillah, hlm.33-34
[14] Ibid, hlm.33
[15] Manna’ Khalil al-Qattan, Op.cit, hlm.35-36
[16] Harun Nasution, Op.cit, hlm.38
[17] Ibid, hlm. 45-46

[18] Manna’ Khalil al-Qattan, Op.cit, hlm.42-43

No comments:

Post a Comment