Monday, November 2, 2015

ULUMUL QUR'AN : ILMU MUNASABAH

MAKALAH
ILMU MUNASABAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah  : Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu  : Shobirin S.ag, M.ag.






Oleh      :
Kelas / Semester : B / II
Nuril Maftukhan (1420210062)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM/ PRODI EKONOMI SYARIAH
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Dewasa ini, ilmu-ilmu mengenai kitab suci umat islam, al-Qur’an al-Karim sudah tidak terlalu diminati oleh kaum pemuda. Padahal, kaum pemuda saat inilah yang akan menggantikan dan meneruskan estafet keilmuan pedoman umat islam tersebut. Padahal, dalam keeharian, al-Qur’an sangatlah berperan aktif dalam setiap aktivitas dalam masyarakat. Secara tidak sadar, ilmu al-Qur’an telah menjad bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat muslim, namun sayangnya, kajian mengenai perkembangan ulum al-Qur’an semakin banyak ditinggalkan.
Al-Qur’an sebagai pegangan hidup umat islam memegang peran yang sangat besar terhadap perkembangan keilmuan teologi islam karena al-Qur’an ialah sumber terbesa dan terpercaya dari seluruh disiplin ilmu pengetahuan baik agama maupun umum. Maka, kajian terhadap al-Qur’an seharusnya menjadi hal yang sangat menarik dan tak ada habismya.
Salah satu kajian dalam disiplin ilmu ini ialah “munasabah”. Istilah tersebut mungkin terdengar asing untuk kalangan awam, ataupun akademisi yang tidak berkecimpung di dunia ulum al-Qur’an. Hal ini tentulah sangat disayangkan mengingat betapa besarnya peran munasabah dalam penafsiran al-Qur’an.
Selama ini, kebanyakan orang lebih mengenal “asbab an-Nuzul” daripada “munasabah”. Padahal, dengan mengetahui sebab-sebab turunnya saja, para mufassir (ahli tafsir) masih mendapat kesulitan dalam menemukan tafsiran yang tepat mengenai suatu ayat atau surat dalam al-Qur’an. Dengan mengetahui munasabah dalam al-Qur’an, seseorang akan lebih mudah mengetahui maksud dari suatu ayat ataupun surat dalam al-Qur’an.
Hubungan antara ayat ataupun surat dalam al-Qur’an tentulah tidak disususn secara sembarangan karena setiap penyusunan dalam al-Qur’an memiliki makna yang saling berkaitan dan sangat membantu dalam penafsiran al-Qur’an. Bahkan, sebagian mufassir ada yang lebih mempercayai munasabah dalam al-Qur’an daripada asbab an-nuzul yang belum diketahui betul kebenarannya.
Maka, diharapkan bahwa para akademisi akan lebih mengenal dan memahami arti munasabah dalam al-Qur’an sehingga dapat menganalisa keterkaitan antar ayat, surat, maupun juz dalam al-Qur’an sehingga akan mempermudah mempelajari al-Qur’an dan mengkaji lebih dalam apa-apa yang terkandung dalam al-Qur’an secara komprehensif dan ilmiah.
Kami akan menjelaskan “munasabah” lebih rinci dalam makalah sederhana ini dengan berpatokan pada tiga pokok pembahasan yang sesuai dengan Rumusan Masalah dalam makalah ini.

B.     RUMUSAN MASALAH
1. Apakah yang dimaksud dengan Munasabah?
2. Bagaimana sejarah perkembangan ilmu Munasabah al-Qur’an?
3. Apa pokok bahasan ilmu Munasabah?
4. Apa macam-macam munasabah dalam al-Qur’an?
5. Apa fungsi mempelajari ilmu munasabah?
6. Bagaimana pandangan para ulama’ mengenai munasabah?



















BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN MUNASABAH

Secara etimologi, munasabah berasal dari bahasa arab dari asal kata nasaba-yunasibu-munasabahan yang berarti musyakalah (keserupaan)[1], dan muqarabah. Lebih jelas mengenai pengertian munasabah secara etimologis disebutkan dalam kitab Al burhan fi ulumil Qur”an bahwa munasabah merupakan ilmu yag mulia yang menjadi teka-teki akal fikiran, dan yang dapat digunakan untuk mengetahui nilai (kedudukan) pembicara terhadap apa yang di ucapkan.
Sedangkan secara terminologis definisi yang beragam muncul dari kalangan para ulama terkait dengan ilmu munasabah ini. Imam Zarkasyi salah satunya, memaknai munasabah sebagai ilmu yang mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafal-lafal umum dan lafal lafal khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab akibat, illat dan ma’lul, kemiripan ayat pertentangan (ta’arudh).[2]
Manna Al-Qathan dalam mabahis fi ulum Al-Qur’an menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan munasabah dalam pembahasan ini adalah segi-segi hubungan antara satu kata dengan kata yang lain dan satu ayat dengan ayat yang lain atau antara satu surat dengan surat yang lain. Menurut M Hasbi Ash Shiddieq membatasi pengertian munasabah kepada ayat-ayat atau antar ayat saja.
Dalam pengertian istilah, munasabah diartikan sebagai ilmu yang membahas hikmah korelasi urutan ayat Al-Qur’an atau dengan kalimat lain, munasabah adalah usaha pemikiran manusia dalam menggali rahasia hubungan antar surat atau ayat yang dapat diterima oleh akal. Dengan demikian diharapkan ilmu ini dapat menyingkap rahasia illahi, sekaligus sanggahanya, bagi mereka yang meragukan Al-Qur’an sebagai wahyu.[3]

Sedangkan menurut para ulama :

1.      Menurut Manna’ al-Qattan
Manna’ al-Qattan dalam kitabnya Mabahits fi Ulum al-Qur’an, munâsabah menurut bahasa disamping berarti muqarabah juga musyakalah (keserupaan). Sedang menurut istilah ulum al-Qur’an berarti pengetahuan tentang berbagai hubungan di dalam al-Qur’an, yang meliputi : Pertama, hubungan satu surat dengan surat yang lain; kedua, hubungan antara nama surat dengan isi atau tujuan surat; ketiga, hubungan antara fawatih al-suwar dengan isi surat; keempat, hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat; kelima, hubungan satu ayat dengan ayat yang lain; keenam, hubungan kalimat satu dengan kalimat yang lain dalam satu ayat; ketujuh, hubungan antara fashilah dengan isi ayat; dan kedelapan, hubungan antara penutup surat dengan awal surat.
Jadi Menurut Manna’ Khalil Qattan :

وجـهُ الإرتـبــاطِ بـين الجـمـلـةِ والجـمـلـةِ فى الأيـةِ الـواحــدة أوبـين الأيـة والأيــة فـي الأيــة الـمـتـعــددةِ أو بــينَ الســورة والســـورة.
 Artinya :
Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan dalam satu ayat, atau antar ayat pada beberapa ayat atau antar surat didalam Al-Qur’an”.

2. Menurut Imam al-Zarkasyi
Menurut Imam al-Zarkasyi kata munâsabah menurut bahasa adalah mendekati (muqârabah), seperti dalam contoh kalimat : fulan yunasibu fulan (fulan mendekati/menyerupai fulan). Kata nasib adalah kerabat dekat, seperti dua saudara, saudara sepupu, dan semacamnya. Jika keduanya munâsabah dalam pengertian saling terkait, maka namanya kerabat (qarabah). Imam Zarkasyi sendiri memaknai munâsabah sebagai ilmu yang mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafadz umum dan lafadz khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab akibat, ‘illat dan ma’lul, kemiripan ayat, pertentangan (ta’arudh) dan sebagainya. Lebih lanjut dia mengatakan, bahwa keguanaan ilmu ini adalah “menjadikan bagian-bagian kalam saling berkait sehingga penyusunannya menjadi seperti bangunan yang kokoh yang bagian-bagiannya tersusun harmonis”
Jadi Menurut Az-Zarkasyi, adalah :

المـناسبة أمر معـقـولٌ إذاعُــِرِض عـلى  الـمـقـول تـلـقّــتـه بــاالـقـبـُول.
Artinya :
Munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami, tatkala dihadapkan kepada akal, akal itu pasti menerimanya”.

3. Menurut Ibn Al-Arabi :

إرتـبــاط أ ِيّ الـقـرأن بعـضـها بـبـعـض حـتى تـكون كا الكـلمـة الـواحـدةِ مـتّـسقــةِ المعـاني مـنتـظـمـةِ المـبــــاني ,عـلمٌ عـظـيـــمٌ
Artinya :
Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan suatu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung”.

4.  Menurut Al-Biqa’i, yaitu :

Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan di balik susunan atau urutan bagian-bagian Al-Qur’an, baik ayat  dengan ayat, atau surat dengan surat”.



Jadi, dalam konteks ‘Ulum Al-Qur’an, Munasabah berarti menjelaskan korelasi makna antar ayat atau antar surat, baik korelasi itu bersifat umum atau khusus; rasional (‘aqli), persepsi (hassiy), atau imajinatif (khayali) ; atau korelasi berupa sebab akibat, illat dan ma’lul, perbandingan, dan perlawanan.
Pada dasarnya pengetahuan tentang munasabah atau hubungan antara ayat-ayat itu bukan tauqifi (tak dapat diganggu gugat karena telah ditetapkan Rasul), tetapi didasarkan pada ijtihadi seorang mufassir dan tingkat penghayatannya terhadap kemukjizatan Al-Qur’an, rahasia retorika, dan segi keterangannya yang mandiri.
Seperti halnya pengetahuan tentang Asbabun Nuzul  yang mempunyai pengaruh dalam memahami makna dan menafsirkan ayat, maka pengetahuan tentang munasabah atau korelasi antar ayat dengan ayat dan surat dengan surat juga membantu dalam pentakwilan dan pemahaman ayat  dengan baik dan cermat. Oleh sebab itu sebagian ulama menghususkan diri untuk menulis buku mengenai pembahasan ini. Tetapi dalam pendapat lain dikemukakan atas dasar perbedaan pendapat tentang sistematika (perbedaan urutan surat dalam Al-Qur’an) adalah wajar jika teori Munasabah Al-Qur’an kurang mendapat perhatian dari para ulama yang menekuni ‘Ulum Al-Qur’an walaupun keadaan sebenarnya Munasabah ini masih terus dibahas oleh para mufassir yang menganggap Al-Qur’an adalah Mukjizat secara keseluruhan baik Redaksi maupun pesan ilahi-Nya.

B.     SEJARAH PERKEMBANGAN MUNASABAH

       Menurut Asy Syarahbani, seperti dikutip Az Zarkasyi dalam Al Burhan, orang pertama yang menampakkan munasabaah dalam menafsirkan Al-Qur’an ialah Abu Nakar An Naisaburi (wafat tahun 342 H). Besarnya perhatian An Naisaburi terhadap munasabah nampak dari ungkapan As Suyuti sebagai berikut : “Setiap kali ia duduk di atas kursi, apabila dibacakan Al-Qur’an kepadanya, beliau berkata, “Mengapa ayat ini diletakkan di samping ayat inibdan apa rahasia diletakkan surat ini di samping surat ini?” Beliau mengkritik para ulama Bagdad sebab mereka tidak mengetahui.”
       Tindakan An Naisaburu merupakan kejutan dan langkah baru dalam dunia tafsir waktu itu. Beliau mempunyai kemampuan untuk menyingkap persesuian, baik antarayat ataupun antarsurat, terlepas dari segi tepat atau tidaknya, segi pro dan kontra terhadap apa yang dicetuskan beliau. Satu hal yang jelas, beliau di pandang sebagai Bapak Ilmu Munasabah.
       Tokoh yang mula-mula membicarakan tentang ilmu ini ialah al-Imam Abu Bakr an-Naisaburi (meninggal 323H). Selain beliau terdapat banyak lagi ulama yang membahas. Antara lain:
1.      Al-Imam al-Biqa‘ie - Nazm ad-Durar fi Tanasub al-Ayi was Suwar
2.      Al-Imam as-Suyuti – Tanasuq ad-Durar wa Tanasub as-Suwar
3.       Al-Imam al-Farahi al-Hindi – Dala’il an-Nizam
               Selain mereka para ulama seperti az-Zamakhsyari, ar-Razi, al-Baidhawi, Abu Hayyan, al-Alusi, Rasyid Ridha, Sayyid Qutb, Dr. Muhammad Abdullah Darraz dan lain-lain turut menyentuh tentang ilmu ini dan mempraktikkannya dalam penulisan kitab-kitab tafsir mereka.
Sungguhpun begitu, ilmu ini bukanlah disepakati kewujudannya atau diterima oleh semua ulama, mereka yang kontra mewajibkan syarat yang ketat untuk ilmu ini ialah: ‘Izzudin Bin Abdis Salam, as-Syaukani, as-Syinqiti dan sebagainya. Mereka ini berhujah bahwa ilmu al-Munasabah ini adalah takalluf (beban) dan ia tidak dituntut oleh syara’.[4]

C.     POKOK PEMBAHASAN MUNASABAH

Pembahasan Ilmu Munasabah ini terkait dengan bagian-bagian Ulumul Qur’an, baik ayat-ayat ataupun surah-surahnya yang satu dengan yang lain persesuaian dan persambungannya. Hubungan dan persambungan dari bagian-bagian Al-Qur’an itu bermacam-macam. Ada yang berupa hubungan antara makna umum dan khusus, atau hubunngan pertalian (talazum), seperti hubungan antara sebab dengan akibatnya, ilat dengan ma’lulnya, atau antara dua hal yang sama, maupun antara dua hal yang kontradiksi.
Jadi, pembahasan Ilmu Munasabah atau Ilmu Tanaasubul Ayat Was Suwar ini ialah macam-macam hubungan dan persambungan, serta kaitan dari ayat-ayat Al-Qur’an yang satu dengan yang lain, dan antara surah Al-Quran yang satu dengan yang lain, dalam berbagai bentuk persesuaian dan persambungan.[5]

D.    MACAM-MACAM MUNASABAH

   Berdasarkan kepada beberapa pengertian sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, pada prinsipnya munasabah al-Qur’an mencakup hubungan antar kalimat, antar ayat, serta antar surat. Macam-macam hubungan tersebut apabila diperinci akan menjadi sebagai berikut :
1.      Munasabah antara surat dengan surat.
2.      Munasabah antara nama surat dengan kandungan isinya.
3.      Munasabah antara kalimat dalam satu ayat.
4.      Munasabah antara ayat dengan ayat dalam satu surat.
5.      Munasabah antara ayat dengan isi ayat itu sendiri.
6.      Munasabah antara uraian surat dengan akhir uraian surat.
7.      Munasabah antara akhir surat dengan awal surat berikutnya.
8.      Munasabah antara ayat tentang satu tema.
Dalam upaya memahami lebih jauh tentang aspek-aspek munasabah yang telah diterangkan di atas akan diajukan beberapa contoh di bawah ini.
1.      Munasabah Antara Surat dengan Surat
Keserasian hubungan atau mnasabah antar surat ini pada hakikatnya memperlihatkan kaitan yang erat dari suatu surat dengan surat lainnya. Bentuk munasabah yang tercermin pada masing-masing surat, kelihatannya memperlihatkan kesatuan tema. Salah satunya memuat tema sentral, sedangkan surat-surat lainnya menguraikan sub-sub tema berikut perinciannya, baik secara umum maupun parsial. Salah satu contoh yang dapat diajukan di sini adalah munasabah yang dapat ditarik pada tiga surat beruntun, masing-masing Q. S al-Fatihah (1), Q. S  al-Baqarah (2), dan Q. S al-Imran (3).
Satu surah berfungsi menjelaskansurat sebelumnya, misalnya di dalam surat al-Fatihah / 1 : 6 disebutkan :
إهدنا الصراط المستقيم (6)
Artinya : “Tunjukilah kami jalan yang lurus” (Q. S al-Fatihah / 1 : 6)
Lalu dijelaskan dalam surat al-Baqarah, bahwa jalan yang lurus itu ialah mengikuti petunjuk al-Qur’an, sebagaimana disebutkan :
تلك الكتاب لا ريب فيه هدى للمتقين( 2)
Artinya : “Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa” (Q. S al-Baqarah / 2 : 2)

2.      Munasabah Antara Nama Surat dengan Kandungan Isinya
Nama satu surat pada dasarnya bersifat tauqifi (tergantung pada petunjuk Allah dan Nabi-Nya). Namun beberapa bukti menunjukkan bahwa suatu surat terkadang memiliki satu nama dan terkadang dua nama atau lebih. Tampaknya ada rahasia dibalik nama tersebut. Para ahli tafsir sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Sayuthi melihat adanya keterkaitan antara nama-nama surat dengan isi atau uraian yang dimuat dalam suatu surat. Kaitan antara nama surat dengan isi ini dapat di identifikasikan sebagai berikut :
a.       Nama diambil dari urgensi isi serta kedudukan surat. Nama surat al-Fatihah disebut dengan umm al-Kitab karena urgensinya dan disebut dengan al-Fatihah karena kedudukannya.
b.      Nama diambil dari perumpamaan , peristiwa, kisah atau peran yang menonjol, yang dipaparkan pada rangkaian ayat-ayatnya; sementara di dalam perumpamaan, peristiwa, kisah atau peran itu sarat dengan ide. Di sini dapat disebut nama-nama surat : al-‘Ankabut, al-Fath, al-Fil, al-Lahab dan sebagainya.
c.       Nama sebagai cerminan isi pokoknya, misalnya al-Ikhlas karena mengandung ide pokok keimanan yang paling mendalam serta kepasrahan : al-Mulk mengandung ide pokok hakikat kekuasaan dan sebagainya.
d.      Nama diambil dari tema spesifik untuk dijadikan acuan bagi ayat-ayat lain yang tersebar diberbagai surat. Contoh al-Hajj (dengan spesifik tema haji), al-Nisa’ (dengan spesifik tema tentang tatanan kehidupan rumah tangga). Kata Nisa’ yang berarti kaum wanita adalah irrig keharmonisan rumah tangga.
e.       Nama diambil dari huruf-huruf tertentu yang terletak dipermulaan surat, sekaligus untuk menuntut perhatian khusus terhadap ayat-ayat di dalamnya yang memakai huruf itu. Contohnya : Thaha, Yasin, Shad, dan Qaf.
3.      Munasabah Antara Satu Kalimat  dengan Kalimat Lainnya dalam Satu Ayat
Munasabah antara satu kalimat dengan kalimat yang lainnya dalam satu ayat dapat dilihat dari dua segi. Pertama adanya hubungan langsung antar kalimat secara konkrit yang jika hilang atau terputus salah satu kalimat akan merusak isi ayat. Identifikasi munasabah dalam tipe ini memperlihatkan irri-ciri ta’kid / tasydid (penguat / penegasan) dan tafsir / i’tiradh (interfretasi /penjelasan dan cirri-cirinya). Contoh sederhana ta’kid :
"فإن لم تفعلوا", diikuti "ولن تفعلوا" (Q.S al-Baqarah / 2:24).
Contoh tafsir:
سبحان الذي اسرى بعبده ليلا من المسجد الحرام الى المسد الأقصى
Kemudian diikuti dengan (1:17/الإسراء) الذي باركنا حوله لنريه من اياتنا
Kedua masing-masing kalimat berdiri sendiri, ada hubungan tetapi tidak langsung secara konkrit, terkadang ada penghubung huruf ‘athaf’ dan terkadang tidak ada. Dalam konteks ini, munasabahnya terletak pada :
a.       Susunan kalimat-kalimatnya berbentuk rangkaian pertanyaan, perintah dan atau larangan yang tak dapat diputus dengan fashilah. Salah satu contoh :
ولإن سألتهم من خلق السماوات والأرض___ليقولون الله___قل الحمد لله (لقمن 25)
b.      Munasabah berbentuk istishrad (penjelasan lebih lanjut). Contoh :
يسألونك عن الأهله___قل هي___ (البقره 189)
c.       Munasabah berbentuk nazhir / matsil (hubungan sebanding) atau mudhaddah / ta’kis (hubungan kontradiksi). Contoh :
ليس البر ان تولوا وجوهكم قبل المشرك والمغرب___ولكن البر___(البقرة 177)

4.      Munasabah Antara Ayat dengan Ayat dalam Satu Surat
Untuk melihat munasabah semacam ini perlu diketahui bahwa ini didaftarkan pada pandangan datar yaitu meskipun dalam satu surat tersebar sejumlah ayat, namun pada hakikatnya semua ayat itu tersusun dengan tertib dengan ikatan yang padu sehingga membentuk fikiran serta jalinan informasi yang sistematis. Untuk menyebut sebuah contoh, ayat-ayat di awal Q. S al-Baqarah : 1 – 20 memberikan sistematika informasi tentang keimanan, kekufuran, serta kemunafikan. Untuk mengidentifikasikan ketiga tipologi iman, kafir dan nifaq, dapat ditarik hubungan ayat-ayat tersebut.
Misalnya surat al-Mu’minun dimulai dengan :
قد افلح المؤمنون
Artinya : “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman”.
Kemudian dibagian akhir surat ini ditemukan kalimat
انه لا يفلح الكافرون
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tidak beruntung”.

5.      Munasabah Antara Penutup Ayat dengan Isi Ayat Itu Sendiri
Munasabah pada bagian ini, Imam al-Sayuthi menyebut empat bentuk yaitu al-Tamkin (mengukuhkan isi ayat), al-Tashdir (memberikan sandaran isi ayat pada sumbernya), al-Tawsyih (mempertajam relevansi makna) dan al-Ighal (tambahan penjelasan). Sebagai contoh :
فتبارك الله احسن الخالقين mengukuhkan ثم خلقنا النطفة علقة bahkan mengukuhkan hubungan dengan dua ayat sebelumnya (al-mukminun: 12-14).

6.      Munasabah Antara Awal Uraian Surat dengan Akhir Uraian Surat
Salah satu rahasia keajaiban al-Qur’an adalah adanya keserasian serta hubungan yang erat antara awal uraian suatu surat dengan akhir uraiannya. Sebagai contoh, dikemukakan oleh al-Zamakhsyari demikian juga al-Kimani bahwa Q. S al-Mu’minun di awali dengan (respek Tuhan kepada orang-orang mukmin) dan di akhiri dengan (sama sekali Allah tidak menaruh respek terhadap orang-orang kafir). Dalam Q. S al-Qasash, al-Sayuthi melihat adanya munasabah antara pembicaraan tentang perjuangan Nabi Musa menghadapi Fir’aun seperti tergambar pada awal surat dengan Nabi Muhammad SAW yang menghadapi tekanan kaumnya seperti tergambar pada situasi yang dihadapi oleh Musa AS dan Muhammad SAW, serta jaminan Allah bahwa akan memperoleh kemenangan.

7.      Munasabah Antara Penutup Suatu Surat dengan Awal Surat Berikutnya.
Misalnya akhir surat al-Waqi’ah / 96 :
فسبح باسم ربك العظيم
Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Besar”.
Lalu surat berikutnya, yakni surat al-Hadid / 57 : 1 :

سبح الله ما في السموات والأرض وهو الزيز الحكيم

Semua yang berada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan Dia-lah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.

8.      Munasabah Antar Ayat dengan Satu Tema
Munasabah antar ayat tentang satu tema ini, sebagaimana dijelaskan oleh al-Sayuthi, pertama-tama dirintis oleh al-Kisa’i dan al-Sakhawi. Sementara al-Kirmani menggunakan metodologi munasabah dalam membahas mutasyabih al-Qur’an dengan karyanya yang berjudul al-Burhan fi Mutasyabih al-Qur’an. Karya yang dinilainya paling bagus adalah Durrah al-Tanzil wa Gharrat al-Ta’wil oleh Abu ‘Abdullah al-Razi dan Malak al-Ta’wil oleh Abu Ja’far Ibn al-Zubair.
Munasabah ini sebagai contoh dapat dikemukakan tentang tema qiwamah (tegaknya suatu kepemimpinan). Paling tidak terdapat dua ayat yang saling bermunasabah, yakni Q. S al-Nisa’ / 4 : 34 :
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم.
Dan Q. S al-Mujadalah / 58 : 11 :
يرفع الله الذين امنوا منكم والذين اوتو العلم درجات والله بما تعملون خبير.
Tegaknya qiwamah (konteks parsialnya qiwamat al-rijal ‘ala al-nisa’) erat sekali kaitannya dengan faktor ilmu pengetahuan / teknologi dan faktor ekonomi. Q. S an-Nisa’ menunjuk kata kunci “bimaa fadhdhala” dan “al-ilm”. Antara “bimaa fadhdhala” dengan “yarfa” terdapat kaitan dan keserasian arti dalam kata kunci nilai lebih yang muncul karena faktor ‘ilm.
Munasabah al-Qur’an diketahui berdasarkan ijtihad, bukan melalui petunjuk Nabi (tauqifi). Setiap orang bisa saja menghubung-hubungkan antara berbagai hal dalam kitab al-Qur’an.[6]

E.     FUNGSI MEMPELAJARI MUNASABAH

Fungsi dari munasabah Al-Qur’an, Di antaranya adalah sebagai berikut:

1.      Mengetahui persambungan / hubungan antara bagian al-Qur’an, baik antarakalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun surah-surahnya yang satu dengan yanglain sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab al-Qur’an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.Karena itu, Izzuddin Abd. Salam mengatakan bahwa ilmu munasabah itu adalah ilmu yang baik sekali. Ketika menghubungkan kalimat yang satu dengan kalimat yang lain, beliau mensyaratkan harus jatuh pada hal-hal yang betul-betul berkaitan, baik di awal ataupun di akhirnya.

2.      Mempermudah pemahaman al-Qur’an. Misalnya ayat enam dari surat Al-Fatihah yang artinya, “Tujukilah kami kepada jalan yang lurus” disambungdengan ayat tujuh yang artinya, “Yaitu, jalan orang-orang yang Engkau anugerahinikmat atas mereka. “Antara keduanya terdapat hubungan penjelasan bahwa jalanyang lurus dimaksud adalah jalan orang-orang yang telah mendapat nikmat dariAllah SWT.

3.      Menolak tuduhan bahwa susunan al-Qur’an kacau. Tuduhan misalnya munculkarena penempatan surat al-Fatihah pada awal Mushhaf sehingga surat inilahyang pertama dibaca. Padahal, dalam sejarah, lima ayat dari surat al-‘Alaqsebagai ayat-ayat pertama turun kepada Nabi SAW. akan tetapi, Nabi menetapkan letak al-Fatihah di awal Mushhaf yang kemudian disusul dengan surat al-Baqarah.Setelah didalami, ternyata dalam urutan ini terdapat munasabah. Surat al-Fatihah mengandung unsur-unsur pokok dari syariat Islam dan pada surat ini termuat doa manusia untuk memohon petunjuk ke jalan yang lurus. Surat al-Baqarah diawali dengan petunjuk al-Kitab sebagai pedoman menuju jalan uang lurus. Dengandemikian, surat al-Fatihah merupakan titk bahasan yang akan diprinci pada surat berikutnya, al-Baqarah. Dengan mengemukakan munasabah tersebut, ternyatasusunan ayat-ayat dan surat-surat Al-Qur’an tidak kacau melainkan mengandungmakna yang dalam.


4.      Dengan ilmu munasabah itu, dapat diketahui mutu dan tingkat ke-Balaghah-an bahasa al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lain,serta persesuaian ayat / surahnya yang satu dari yang lain, sehingga lebihmenyakinkan kemukjizatannya, bahwa al-Qur’an itu benar-benar wahyu dariAllah SWT dan bukan buatan Nabi Muhammad SAW. karena itu, Abdul Djalaldalam bukunya menambahkan Imam Fakhruddin al-Razi mengatakan kebanyakan keindahan-keindahan al-Qur’an terletak pada susunan dan penyesuaiannya, sedangkan susunan kalimat yang paling bersetaraadalah saling berhubungan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya.Sebagaimana yang dinyatakan oleh ahli ulumul Qur’an diantaranya adalahAbu Bakar bin al-Arabi, Izzuddin bin Abdus-Salam bahwa ilmu munasabah adalahilmu yang baik ( ilmun hasanun ), ilmu mulia ( ilmun syarifun ), ilmu yang agung ( ilmun adzimun ). Dari semua julukan ini menandakan bahwa ilmu munasabah mendapat tempat dan penghargaan yang cukup tinggi atau peran yang cukupsignifikan dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an. Sehingga az-Zarkasyi berpendapat bahwa ilmu ini dapat dijadikan tolak ukur untuk mengetahui kecerdasanseorang mufassir. Kedudukan ilmu ini semakin terasa kebutuhannya manakalah seseorangmenafsirkan al-Qur’an menggunakan metode tafsir al-maudhu’I (tematik) atau al-muqaran (komparasi), karena metode ini memperhatikan keterkaitan ( munasabah)antara ayat yang berbicara tentang masalah yang sejenis. (A Zarkasyi,1988: 63) Berlainan dengan ilmu asbabun-nuzul  yang digolongkan kedalam ilmu sima’I dan karenanya maka bersifat naqli (periwayatan), maka ilmu munasabah digolongkan ke dalam kelompok ilmu-ilmu ijtihadi yang karenanya bersifat penalaran. Sebagai ilmu ijtihadi ilmu ini sangat berpeluang untuk dikembangkan dalam upayamemperkaya dan memperkuat penafsiran al-Qur’an, yaitu dengan cara mencarihubungan antara ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai aspeknya.[7]

F.      PANDANGAN ULAMA’ MENGENAI MUNASABAH

Dalam menyikapi munasabah, para ulama terbagi kedalam dua golongan yang pertama: golongan yang tertarik dengan munasabah, dan yang kedua, Golongan yang tidak tertarik dan menganggap munasabah tidak perlu di kaji. Golongan pertama diwakili oleh Abu Bakar al-Nisabury, Fakhrudin al-Razi, Fakhrudin al-Razi seorang ulama yang sangat peduli terhadap munasabah, baik munasabah antar ayat atau antar surat.
Ia pernah memberikan apresiasi terhadap surat al-Baqarah dengan mengatakan bahwa “barangsiapa yang menghayati dan merenungkan bagian-bagian dari susunan dan keindahan urutan surat ini, maka pastiia akan mengetahui bahwa al-Quran itu merupakan mukjizat lantaran kefasihan lafal-lafalnya dan ketinggian mutu makna-maknanya. Jalaluddin al-Suyuthiy, ibn al-Arabiy , Izzuddin ibn Abdis Salam, dll.
Golongan ulama yang menolak adanya munasabah dalam al-Quran diwakili oleh Ma’ruf Dualibi. Ia paling keras menentang menggunakan munasabah untuk menafsirkan ayat-ayat dan surat-surat dalam al-Quran. Ia mengatakan, ‘maka termasuk usaha yang tidak perlu dilakukan adalah mencari-cari hubungan di antara ayat-ayat dan surat-surat al-Quran.’ Karena menurutnya, “al-Quran dalam berbagai ayat yang ditampilkannya hanya mengungkapkan hal-hal yang bersifat prinsip (mabd’a) dan norma umum (kaidah) saja. Dengan demikian tidaklah pada tempatnya bila orang bersikeras dan memaksakan diri mencari korelasi (tanasub) antara ayat-ayat dan surat-surat yang bersifat tafshil lantaran kefasihan lafal-lafalnya dan ketinggian mutu makna-maknanya.
Mahmud Syaltut seorang ulama kontemporer, kurang setuju dengan analisis munasabah dan menolak menjadikan munasabah sebagai bagian dari ilmu-ilmu  al-Quran. Ia tidak setuju dengan mufasir yang menggunakan munasabah untuk menafsirkan al-Quran.
Di sisi lain terdapat pendapat-pendapat tentang munasabah: tertib surah dan ayat:
Para ulama sepakat bahwa tertib ayat-ayat dalam al-qur’an adalah tauQifiy, artinya penetapan dari Rasul, Sementara tertib  surah dalam Al-Qur’an masih terjadi perbedaan pendapat.
Al-Qhurtubi meriwayatkan pernyataan Ibn Ath-Thibb bahwa tertib surat Al-Quran di perselisihkan, Dalam hal ini ada tiga golongan:
a.    Tertib surat berdasarkan ijtihad para sahabat. Pendapat ini diikuti oleh jumhur ulama seperti Imam Malik, Al-Qhadi Abu Bakr At-Thibb. Beberapa alasan mereka adalah :
1.    Tidak ada petunjuk langsung dari Rasulullah tentang tertib surah dalam Al-Quran.
2.    Sahabat pernah mendengar Rasul membaca Al-Quran berbeda dengan susunan surah sekarang, hal ini di buktikan dengan munculnya empat buah mushaf dari kalangan sahabat yang berbeda susunannya antara yang satu dengan yang lainnya. Yaitu mushaf Ali, mushaf ‘Ubay, mushaf Ibn Mas’ud, mushaf Ibnu Abbas.
3.    Mushaf yang ada pada catatan sahabat berbeda-beda ini menunjukkan bahwa susunan surah tidak ada petunjuk resmi dari Rasul.
4.    Alasan lain adalah riwayat Abu Muhammad Al-Quraysi bahwa Umar memerintahkan agar mengurutkan surat At-Tiwal. Akan tetapi, riwayat ini diberi catatan kaki oleh As-Sayuthi agar diteliti kembali.
b.    Susunan surat berdasarkan petunjuk Rasulullah Saw (taukifi).
Di antara ulama yang  yang berpendapat demikian adalah Al-Qadhi Abu Bakr Al-Anbari, Ibn Hajar, Al-Zarkasyi dan As-Sayuthi. Alasan yang dikemukakan sebagai berikut :
1.      Ijma’ sahabat terhadap mushaf Utsman. Ijma’ ini tak akan mungkin terjadi kecuali kalau tertib itu tauqifiy, seandainya bersifat ijtihadiy, niscaya pemilik mushaf lainnya akan berpegang teguh pada mushafnya.
2.    Hadist tentang hijzb Al-Quran yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Dawud dari Huzaifah As-Syaqafi.
c.     Tertib surat sebagian taukifi dan sebagian ijtihadiy. Di antara yang berpendapat demikian adalah Al-Baihaqi. Menurutnya: “seluruh surat susunannya berdasarkan tauqif  Rasul kecuali surat Baraah dan Al-Anfal.
            Al-Qhadi Abu Muhammad Ibn Athiyah termasuk golongan ini, Dan alasan Lainnya:
Ternyata tidak semua nama-nama surah itu diberikan oleh Allah, tapi sebagiannya diberikan oleh Nabi dan bahkan ada yang diberikan oleh para sahabat. Adapun yang diberikan oleh Allah adalah misalnya surat Al-Baqarah, At-Taubah, Ali Imran dll. Nama surah yang diberikan oleh Nabi adalah yang Nabi sendiri menyebutkan surah tersebut, seperti surah Thaha dan Yasin. Oleh para sahabat seperti Al-Baro’ah, yaitu surat yang di awali dengan lafal basmalah.[8]





























BAB III
PENUTUP
A.        KESIMPULAN

Dari uraian tentang “Munasabah Al-Qur’an” diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ‘Ilm Munâsabah adalah ilmu tentang keterkaitan antara satu surat/ayat dengan surat/ayat lainnya yang merupakan bagian dari Ulum al-Qur’an. Ilmu ini posisinya cukup urgen dalam rangka menjadikan keseluruhan ayat al-Qur’an sebagai satu kesatuan yang utuh (holistik). Sedangkan Munasabah adalah usaha pemikiran manusia dalam menggali rahasia hubungan antar ayat atau surat yang dapat diterima oleh akal. Dengan demikian diharapkan ilmu ini dapat menyingkap rahasia Ilahi, sekaligus sanggahan-Nya, bagi mereka yang meragukan keberadaan Al-Qur’an sebagai wahyu.
Secara umum Munasabah terbagi menjadi beberapa macam, yaitu:
1. Munasabah antara surah dengan surah
2. Munasabah antara nama surah dengan kandunganya
3. Munasabah antara ayat dengan ayat dalam surah yang sama.
4. Munasabah antara ayat dengan ayat dan hubungan antara satu sama lain.
5. Munasabah antara akhir suatu surat dengan awal surat berikunya.
6. Munasabah antara kalimah dengan kalimah dalam satu surah.
7. Munasabah awal uraian surat dengan akhirnya
              Pengetahuan antara Munasabah ini sangat bermanfaat dalam memahami keserasian antara makna, kejelasan, keterangan, keteraturan susunan kalimatnya dan keindahan gaya bahasa.














DAFTAR PUSTAKA

1.      Ad-Darraz, ‘Abdullah. An-Naba’ Al-‘Azhim, Dar-‘Urubah, Mesir, 1974.
2.      al-Zarkasyi, Badr al-Din. al Burhany fii ulum Al-Qur’an, (beirut:Dar al-Ma’rifah li al-Tiba’ah wa al_Nasyir, 1972).
3.      Ash Shiddiqy, Hasbi. Sejarah Dan Pengantar Ilmui Tafsir, (Jakarta:Bulan Bintang, 1965).
7.      http://www.scribd.com/doc/45969536/Munasabah-Al-Qur-An#scribd




[1] Badr al-Din al-Zarkasyi, al Burhany fii ulum Al-Qur’an, (beirut:Dar al-Ma’rifah li al-Tiba’ah wa al_Nasyir, 1972), hal. 35-36.
[2] Ibid
[3] Hasbi Ash Shiddiqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmui Tafsir, (Jakarta:Bulan Bintang, 1965), hal. 95.
[4] http://ki-stainsamarinda.blogspot.com/2012/09/munasabah-al-quran.html di akses tanggal 30 mei 2015 pukul 12.00 WIB.
[5] ‘Abdullah Ad-Darraz, An-Naba’ Al-‘Azhim, Dar-‘Urubah, Mesir, 1974, hlm. 159.

[7] http://www.scribd.com/doc/45969536/Munasabah-Al-Qur-An#scribd di akses tanggal 30 mei 2015 pukul 12.00 WIB.
[8] http://muhamri03.blogspot.com/2013/12/munasabah-al-quran.html di akses tanggal 30 mei 2015 pukul 12.00 WIB.

No comments:

Post a Comment