Monday, November 2, 2015

ULUMUL QUR'AN : SEJARAH NUZULUL QUR'AN

MAKALAH ULUMUL QUR’AN
SEJARAH NUZULUL QUR’AN

Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah                : Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu        : Shobirin, S.Ag, M.Ag
Kelas                           : ESRB-2








Disusun oleh
AGHITSA KHOIRUNNISA’ (1420210047)


            SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM/ PRODI
EKONOMI  SYARIAH
        2015








BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an adalah kitab yang sangat penting bagi manusia di seluruh dunia terutama bagi umat islam. Didalamnya terdapat banyak sekali pelajaran hidup yang dapat kita kaji, bahkan saat ini banyak sekali orang-orang diberbagai belahan dunia sedang mempelajarinya.
Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan ke dunia menyimpan berjuta rahasia. Banyak rahasia yang belum terungkap sampai sekarang sehingga masih menjadi perdebatan para ulama’ dan menjadi mesteri yang belum mampu sepenuhnya terungkap.
Dan alangkah baiknya, sebelum mempelajari lebih dalam ilmu-ilmu yang terkandung didalam Al-Qur’an, kita harus mengetahui terlebih dahulu bagaimana sejarah dan awal mula  Al-Qur’an diturukan kepada Nabi Muhamad, tahapan-tahapan  al-qur’an itu diturunkan kepada Nabi Muhammad.
Oleh karena itu dalam makalah ini akan menguraikan peristiwa tentang nuzulul qur’an.[1]
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian nuzulul qur’an?
2.      Bagaimana sejarah nuzulul qur’an?
3.      Bagaimana proses penurunan Al-Qur’an?
4.      Bagaimana pelestarian Al-Qur’an pada masa nabi Muhammad SAW?
5.      Bagaimana penulisan Al-Qur’an pada masa sahabat dan pelestariannya pada masa selanjutnya?
6.      Bagaimana percetakan Al-Qur’an?




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Nuzulul Qur’an
Nuzul Al-Qur’an atau yang di Indonesia sering ditulis Nuzulul Quran terdiri dari dua kata, yakni Nuzul dan Al-Qur’an. Kata nazala di dalam bahasa Arab berarti “meluncur dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah.” Dalam konteks ini, misalnya, bias ditemui kalimat di dalam salah satu ayat Al-Qur’an yang berbunyi:
وَقُلْ رَبِّ أَنْزِلْنِي مُنْزَلًا مُبَارَكًا وَأَنْتَ خَيْرُ الْمُنْزِلِينَ ْ                   
“…Tuhan, turunkanlah padaku sesuatu berkah, karena Engkau adalah Zat pemberi berkah yang paling baik.” (Q.S. Al-Mu’minun [23]: 29)
Di dalam hubungannya dengan pembahasan Nuzul Al-Qur’an, kata Syekh Abd Al-Wahhab Abd Al-Majid Ghazlan di dalam Al-Bayan fi Mabahitsi ‘Ulum Al-Qur’an-Nya, yang dimaksud dengan nuzul adalah turunnya sesuatu dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah dan sesuatu itu tidak lain adalah Al-Qur’an. Hanya kemudian Syekh Gazlan berkomentar, “Oleh karena yang turun itu bukan berbentuk fisik, maka pengertian nuzul di sini bisa mengandung pengertian kiasan (majazi), dan apabila yang dimaksud turun adalah lafaz, maka nuzul berarti Al-Ishal (penyampaian) dan Al-I’lam (penginformasian).” [2]
Dr. Ahmad as Sayyid al Kumi dan Dr. Muhammad Ahmad Yusuf al Qasim mengatakan, bahwa nuzul mempunyai lima makna yakni:
1.      Meluncurnya sesuatu dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah
2.      Jatuh, tiba, singgah
3.      Tertib, teratur, urutan
4.      Pertemuan
5.      Turun secara berangsur-angsur dan terkadang sekaligus[3]

B.     Sejarah Nuzulul Qur’an
1.      Hari Pertama Al-qur’an Diturunkan dan Tempatnya
Al-Qur’an mulai diturunkan kepada Nabi ketika Nabi sedang berkhilwat di gua Hira pada malam Senin, bertepatan dengan tanggal tujuh belas Ramadhan, tahun 41 dari kelahiran Nabi Muhammad SAW (6 Agustus 610 M). Sesuai dengan kemuliaan dan kebesaran Al-Qur’an, Allah menjadikan malam permulaan turun Al-Qur’an itu malam Al-Qadar yaitu suatu malam yang tinggi kadarnya. Hal ini diakui dalam Al-Qur’an sendiri.
Tidak ada perselisihan di antara para ulama dalam menetapkan bahwa Al-Qur’an diturunkan di malam bulan Ramadhan. Ketetapan ini ditegaskan juga dalam Al-Qur’an sendiri. Semua ulama sepakat menetapkan yang demikian, hanya mereka berlainan pendapat tentang tanggalnya.
Ibnu Ishaq seorang pujangga tarikh Islam yang ternama menetapkan bahwa malam itu adalah malam tujuh belas Ramadhan. Penetapan ini dapat dikuatkan dengan isyarat Al-Qur’an sendiri:
Firman Allah:
إنْ كُنْتُمْ آمَنْتُمْ بِاللَّهِ وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ ۗ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِير ْ                                      
“…Jika kamu telah beriman kepada Allah dan kepada sesuatu yang telah Kami turunkan kepada hamba Kami pada hari Al-Furqan, hari bertemu dua pasukan.” (Q.S. Al-Anfal [8]: 41 )
Dikehendaki dengan hari bertemu dua pasukan adalah hari bertemu tentara Islam dengan tentara Quraisy dalam pertempuran Badar. Yang demikian itu tepat pada hari Jum’at tanggal 17 Ramadhan tahun yang kedua Hijrah. Dan hari Furqan ialah hari permulaan diturunkan Al-Qur’an. Maka kedua hari itu bersatu sifatnya yaitu sama-sama pada hari Jum’at tujuh belas Ramadhan walaupun tidak dalam setahun.
Menurut hadits Bukhary dari Aisyah r.a. berkata: “Permulaan wahyu yang diterima Rasulullah ialah mimpi yang benar. Beliau bermimpi seakan-akan melihat sinaran subuh dan terjadi persis seperti yang dimimpikan.”
Sesudah itu beliau mulai gemar ber-khilwat. Beliau ber-khalwat di gua Hira, beribadah beberapa malam, sebelum beliau kembali kepada keluarganya untuk mengambil bekal. Sesudah beberapa malam beliau berada dalam gua, beliau kembali kepada Khadijah sekedar untuk mengambil makanan untuk beberapa hari. Beliau terus berbuat demikian sampai datanglah haq (kebenaran) kepadanya. Malaikat datang kepadanya lalu berkata: “iqra’ (bacalah ini).” Nabi menjawab: “saya tidak pandai membaca.” Nabi menerangkan : “ Mendengar jawaban itu, malaikat pun memelukku sampai aku terasa kepayahan karena kerasnya pelukan itu. Kemudian dilepaskan serta disuruh membaca lagi. Aku menjawab seperti yang pertama. Malaikat memelukku lagi. Sesudah itu barulah malaikat berkata:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَق ْ خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ ْ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَم ْ الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ ْ عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَم ْ
Sesudah itu Rasulullah segera kembali pulang dengan badan yang gemetar karena ketakutan. Nabi menjumpai Khadijah dan berkata: “Selimuti aku, selimuti aku!” Sesudah tenang perasaannya, beliau menceritakan kepada Khadijah apa yang telah terjadi, seraya berkata: “Saya khawatir sekali terhadap diriku ini.” Maka Khadijah menjawab: “Tidak sekali-kali tidak, demi Allah, Allah sekali-kali tidak mengabaikan engkau. Engkau seorang yang selalu memikul beban orang, memberikan sesuatu kepada orang yang tidak mampu, memuliakan dan menjamu tamu yang datang dan memberikan bantuan-bantuan terhadap bencana-bencana yang menimpa manusia.”
Sesudah itu Khadijah pergi bersama nabi kepada waraqah ibn naufal, anak dari paman Khadijah yang telah lama memeluk agama Nasrani dan pandai menulis dalam tulisan ibrani. Dia seorang syekh yang sangat tua dan matanya telah buta.
Khadijah berkata kepadanya: “Wahai anak paman, dengarlah apa yang dikatakan oleh anak saudaramu ini.” Waraqah bertanya: “Wahai anak saudaraku, apakah gerangan yang menimpa engkau.” Maka Rasul SAW menerangkan apa yang telah dilihat dan dialaminya.
Mendengar itu waraqah berkata: “itulah Namus (Jibril) yang telah Allah turunkan kepada Musa. Alangkah baiknya jika aku kala itu (kala Muhammad memulai nubuwahnya atau seruannya) masih muda dan kuat! Mudah-mudahan kiranya diwaktu itu aku masih hidup, yaitu diwaktu engkau diusir oleh kaummu.” Maka Rasulullah bertanya : “Apakah mereka akan mengusirku?” Waraqah menjawab: “Ya benar sekali.” Tidak ada seorang lelaki yang membawa seperti yang engkau bawakan, kecuali akan dimusuhi. Jika aku hidup sampai saat itu, aku akan menolongmu dengan sesungguhnya.” Tidak lama kemudian, Waraqah meninggal dunia dan wahyu pun berhenti untuk sementara waktu.[4]
2.      Ayat-ayat yang Mula-mula Diturunkan
Ayat yang mula-mula diturunkan ketika Nabi di dalam gua Hira ialah:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَق ْ خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ ْ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَم ْ الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ ْ عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَم ْ
“Bacalah! Dengan nama Tuhanmu yang telah menjadikan. Yang telah menjadikan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmu yang paling mulia. Yang telah mengajarkan manusia apa yang manusia tidak mengetahuinya.” (Q.S. Al-‘Alaq [96]: 1-5)
Sesudah itu Allah menurunkan ayat:
يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ ْ  قُمْ فَأَنْذِرْ ْ وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ ْ وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ ْ وَالرُّجْزَ فَاهْجُر ْ وَلَا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ ْ وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ ْ فَإِذَا نُقِرَ فِي النَّاقُورِ ْ  فَذَٰلِكَ يَوْمَئِذٍ يَوْمٌ عَسِير ْ عَلَى الْكَافِرِينَ غَيْرُ يَسِير ْ                                                      
“Wahai orang yang berselimut, bangunlah lalu berilah khabar takut dan besarkanlah Tuhanmu, sucikanlah kainmu, jauhilah berhala-hala dan janganlah kamu memberi nikmat untuk memandang banyak nikmat-nikmat itu, dan bersabarlah karena Tuhanmu. Apabila telah ditiup sangkakala, maka itulah hari yang sangat sulit dan sukar, terhadap segala orang kafir tidak pula mudahnya.” (Q.S. Al-Muddatstsir [74]: 1-10)
Jelasnya, sesudah Nabi menerima tugas yang terang untuk menyampaikan unndang-undang Islam kepada para manusia dengan firman:
قُمْ فَأَنْذِرْ ْ                                                             
“Bangunlah engkau lalu berilah pengajaran (menerangkan khabar yang menakutkan.” (Q.S. Al-Muddatstsir [74]: 2)
Kemudian wahyu berhenti, tidak turun lagi. Menurut pendapat Ibnu Ishaq, tiga tahun lamanya wahyu tidak diturunkan. Dalam pada itu ada yang mengatakan selama empat puluh hari, ada yang mengatakan selama lima belas hari dan ada yang mengatakan selama tiga hari. Setelah Nabi merasa kecewa karena tidak turun wahyu yang sangat dirindukannya, kemudian turun surat Adh-Dhuha.
Dan dapat diketahui dari keadaan-keadaan yang mengitari turun surat ini, bahwa dia diturunkan dalam tahun yang ketiga sesudah Nabi dibangkit, atau ketika Nabi berumur empat puluh tiga tahun. Inilah surat yang ketiga yang diturunkan dalam tahun yang ketiga dari kebangkitan Nabi. Sesudah itu baru terus beriringan Al-Qur’an diturunkan menurut kejadian-kejadian yang memerlukannya dan tidak pernah lagi putus.
Pada permulaan tahun yang keempat dari kebangkitannya, barulah Rasulullah memulai tugasnya menjalankan dakwah secara terang-terangan yaitu mengajak umat ke dalam agama yang dibawanya dengan cara terbuka dan tidak lagi bersembunyi-sembunyi guna memenuhi kehendak ayat:
“Maka janganlah apa yang engkau diperintahkan dan berpalinglah kamu dari orang-orang musyrik.” (Q.S. Al-Hajr [15]: 4)
Dan memenuhi kehendak ayat:
وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِين ْ وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ ْ  فَإِنْ عَصَوْكَ فَقُلْ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تَعْمَلُونَ ْ       
“Dan beri khabar takutlah kepada keluargamu yang dekat-dekat dan rendahkanlah sayapmu terhadap orang-orang mukmin yang telah mengikutimu, kemudian jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah bahwasanya saya terlepas dari apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Asy-Syu’ara [26]: 214-216)[5]
3.      Hari Terakhir Al-Qur’an Diturunkan dan Tempatnya
Kebanyakan ulama menetapkan bahwa hari terakhir turunnya Al-Qur’an ialah hari Jum’at 9 Dzulhijjah tahun 10 H atau tahun 63 dari kelahiran Nabi (Maret 632 M).
Pada saat itu Nabi sedang berwukuf di padang Arafah, mengerjakan haji yang terkenal dengan haji Wada’. Kebanyakan ulama tafsir menetapkan bahwa sesudah hari itu Al-Qur’an tidak lagi diturunkan untuk menerangkan hukum dan Nabi pun hidup sesudahnya hanya selama 81 malam. Ahli tarikh menetapkan bahwa Nabi Saw hidup sesudahnya selama kurang lebih tiga bulan. Sebagaimana diketahui bahwa Rasulullah wafat pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awal tahun 11 H (7 Juni 632 M).[6]
4.      Ayat Al-Qur’an  yang Terakhir Diturunkan
Dalam masalah ayat yang paling akhir turun, tak satu pun terdapat riwayat yang marfu’ kepada Nabi Muhammad SAW. Semua riwayat yang ada bersumber dari sahabat dan tabi’in. Itulah sebabnya saat mencari tahu ayat yang paling akhir turun, terjadi kesimpangsiuran dan persilangan pendapat. Berikut ini beberapa riwayat tentang ayat Al-Qur’an yang terakhir diturunkan:
a.       Q.S. Al-Baqarah [2]: 281
Dalil yang dipegang yaitu:
1)      Riwayat yang dikeluarkan oleh Nasa’I dari ‘Ikhrimah, dari Ibnu Abbas;
2)      Riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim, dari Said bin Jubair;
3)      Riwayat Ibnu Jarir dari Ibnu Juraij;
4)      Riwayat Al-Baihaqiy dari Ibnu Abbas.
b.      Q.S. Al-Baqarah [2]: 278
Riwayat yang saama dikeluarkan oleh Al-Baihaqiy.
c.       Q.S. Al-Baqarah [2]: 282
Pendapat ini merujuk pada:
1)      Riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Jarir, dari Said bin Al-Musayyab;
2)      Riwayat yang dikeluarkan oleh Abu ‘Ubaid, dari Ibnu Syihab.
d.      Ayat kalalah adalah ayat Al-Qur’an yang terakhir turun. Pendapat ini merujuk pada hadis mutaffaqun ‘alayhi (riwayat Al-Bukhari dan Muslim) dari Al-Barra’ bin ‘Azib. Riwayat itu menyatakan bahwa surat yang paling akhir turun adalah Bara’ah (At-Taubah) dan akhir ayat yang turun adalah yastaftunaka (yang dikenal dengan ayat kalalah, yakni ayat 176 surat An-Nisa’)
e.       Q.S. Al-Ma’idah [5]: 3
Syekh Muhammad Al-Khudhariy dalam kitabnya, Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami dan Syekh Abdu Al-Aziz Al-Khuli dalam kitabnya, Al-Qur’an: Wash fuhu, Hidayatuhu, ‘Atsaru I’jazihi, termasuk yang memegang ayat 2 surat Al-Ma’idah ini sebagai ayat yang diturunkan paling akhir.[7]

C.    Proses Penurunan Al-Qur’an
1.      Tahap-tahap Turunnya Al-Qur’an
a.       Tahapan Pertama (At-Tanazzulul Awwalu)
Tahapan pertama, Al-Qur’an diturunkan/ ditempatkan ke Lauh Mahfudh. Yakni, suatu tempat di mana manusia tidak bias mengetahuinya secara pasti.
Dalil yang mengisyaratkan bahwa Al-Qur’an itu ditempatkan di Lauh Mahfudh itu ialah keterangan firman Allah SWT:
بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَجِيدٌ ْ فِي لَوْحٍ مَحْفُوظٍ ْ                      
 “Bahkan (yang didustakan mereka) itu ialah Al-Qur’an yang mulia yang tersimpan di Lauh Mahfudh.” (Q.S. Al-Buruj: 21-22)
Tetapi mengenai sejak kapan Al-Qur’an ditempatkan di Lauh Mahfudh itu, dan bagaimana caranya adalah hal-hal ghaib tidak ada yang mampu mengetahuinya, selain dari Allah SWT, Dzat yang Maha Mengetahui segala hal yang tersembunyi. Namun, mengenai bagaimana cara turunnya Al-qur’an itu ke Lauh Mahfudh dapat disistematiskan secara sekaligus ke seluruh Al-Qur’an itu.
b.      Tahapan Kedua (At-Tanazzulu Ats-Tsani)
Tahapan kedua, Al-Qur’an turun dari Lauh Mahfudh ke Baitul Izzah di langit dunia. Jadi, setelah berada di Lauh Mahfudh, kitab Al-Qur’an itu turun ke Baitul Izzah di langit dunia atau langit terdekat dengan bumi ini.
c.       Tahapan Ketiga (At-Tanazzulu Ats-Tsaalistu)
Tahapan, Al-Qur’an turun dari Baitul Izzah di langit dunia langsung kepada Nabi Muhammad Saw. Artinya, setelah wahyu kitab Al-Qur’an itu pertama kalinya ditempatkan di Lauh Mahfudh, lalu keduanya diturunkannya ke Baitul Izzah di langit dunia, kemudian ketiganya disampaikan langsung kepada Nabi Muhammad SAW, baik melalui perantaraan Malaikat Jibril, atau pun secara langsung ke dalam hati sanubari Nabi Muhammad SAW, maupun dari balik tabir.[8]
2.      Tempo Nuzul Al-Qur’an
Banyak pendapat dari ‘ulama mengenai tempo Nuzul Al-Qur’an. Ada yang mengatakan, 22 tahun 2 bulan 22 hari. Sebagian dari mereka berpendapat, 20 tahun. Ada pula yang mengatakan 23 tahun, bahkan ada pula yang menetapkan bahwa Al-Qur’an diturunkan selama 25 tahun. Perbedaan pendapat tersebut tidak lepas dari perselisihan pendapat tentang berapa lama Nabi SAW bermukim di Makkah setelah diangkat sebagai rasul. Namun demikian mereka sepakat tentang lama masa Nabi SAW bermukim di Madinah, yakni selama 10 tahun.
Al Khudlari menetapkan bahwa tempo Nuzul Al-Qur’an adalah 2 tahun 2 bulan 22 hari, yakni sejak tanggal 17 Ramadhan tahun ke-41 dari kelahiran Nabi SAW hingga tanggal 9 Dzulhijjah tahun ke-10 H atau tahun ke-63 dari kelahiran NAbi SAW. Sedangkan menurut Kamaludin Marzuki, Nabi SAW menerima wahyu selama 22 tahun 6 bulan, yakni sejak enam bulan setelah beliau menerima wahyu pertama berupa mimpi yang nyata (ar Ru’ya ash shalihah) pada tanggal 12 Rabi’ul awwal atau sejak Ramadhan tahun ke-41 dari kelahiran Nabi SAW hingga menjelang wafatnya, yakni dalam usia 63 tahun.[9]
3.      Cara-cara Turun Wahyu Al-Qur’an
Cara-cara turun wahyu pada pokoknya melalui tiga cara, seperti yang diidentifikasikan Al-Qur’an:
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ ۚ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ ْ          
“Dan tidak ada bagi seseorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia, kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat), lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Asy-syura: 51)
Dari keterangan ayat tersebut, dapatlah diketahui bahwa cara-cara turun wahyu pada umumnya, termasuk cara turun wahyu Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut:
a.       Dengan cara pemberitahuan langsung (secara wahyu) ke dalam hati Nabi atau jiwanya mengenai sesuatu pengetahuan yang dia sediri tidak mampu menolaknya dan tidak sedikit pun meragukan kebenarannya. Cara ini sering disebut dengan cara ra’yu ash-shalihah atau impian nyata diperolehnya dengan jalan mimpi dalam tidur, tetapi kemudian menjadi kenyataan. Contohnya, seperti impian Nabi Ibrahim a.s., ketika menerima wahyu yang memerintahkan supaya menyembelih puteranya, Ismail.
b.      Dengan cara penyampaian dari balik takbir, yakni suara bisikan wahyu disampaikan kepada Nabi SAW dari celah-celah gemerincingnya suara lonceng/bel. Jadi, yang dijadikan tabir menutup pendengaran para sahabat adalah gemuruhnya bunyi lonceng, yang menghalangi telinga mereka mendengar bisikan suara wahyu ayat yang diturunkan. Tetapi telinga Nabi tetap mendengar bisikan suara wahyu itu dari balik suara lonceng tersebut.
c.       Dengan cara melalui perantara Malaikat Jibril a.s. sebagai pembawa wahyunya. Hal ini sebagaimana sudah diisyaratkan oleh Al-Qur’an. Jadi, Malaikat Jibril membacakan wahyu ayat-ayat yang diturunkan, baik dia itu tetap dalam bentuk aslinya dalam alam rohani, dan Nabi SAW yang melepaskan diri dari bentuk tubuh jasmani menjadi bentuk rohani.
Cara ini terasa berat bagi Nabi, sehingga seolah-olah beliau seperti mengigau atau pingsan, meski sebenarnya beliau waktu itu tidak mengigau atau pun pingsan, melainkan karena sedang penuh konsentrasi dalam menghadapi malaikat dalam alam rohani. Hal ini sesuai dengan keterangan Al-Qur’an:
إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا ْ                                     
“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat.” (Q.S. Al-Muzammil: 5)
Atau sebaliknya, Malaikat Jibril a.s. itu menyamar sebagai seorang laki-laki sedangkan Nabi tetap dalam bentuk tubuh jasmani, sehingga cara ini sangat mudah bagi Nabi.[10]

D.    Pelestarian Al-Qur’an Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Setiap kali menerima wahyu Al-Qur’an, kata Ibnu Katsir ada tiga tahap penting yang dilalui Rasulullah:
1.      Tahap penghimpunan Al-Qur’an di benak Rasulullah yakni penghafalan.
2.      Tahap pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an. Artinya Jibril membacakan ayat-ayat yang baru saja ia sampaikan di hadapan Rasulullah.
3.      Tahap penjelasan atau tahap bayan. Pada tahap yang terakhir ini, Rasulullah diberitahukan pengertian atau maksud ayat yang beliau terima.
Oleh karena pesan Al-Qur’an tidak hanya untuk Rasulullah, tetapi untuk semua orang terutama yang bertakwa (lihat Al-Baqarah ayat 2), langkah Rasulullah selanjutnya adalah tablig, yakni menyampaikan Al-Qur’an kepada para sahabat tanpa kecuali.
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.”
Kalimat Rasulullah ini ternyata menjadi semacam “alat pemacu” yang mampu menggerakkan kaum Muslimin untuk berlomba-lomba menguasai Al-Qur’an sebanyak mungkin. Tidak sedikit diantara para sahabat Rasulullah yang menguasai keseluruhan ayat Al-Qur’an yang diterima Rasulullah itu. Mereka tak ingin kalau sampai ada ayat Al-Qur’an yang tidak mereka kuasai. Misalnya, Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ubai bin Ka’ab, selain empat sahabat Rasulullah yang sempat menduduki kursi khilafah atau yang biasa juga disebut “empat besar”, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radhiallahu ‘anhum.[11]
Kerinduan Nabi terhadap kedatangan wahyu tidak saja diekspresikan dalam bentuk hafalan, tetapi juga dalam bentuk tulisan. Beliau memiliki sekretaris pribadi yang khusus bertugas mencatat wahyu. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abban bin Sa’id, Khalid bin Sa’id, Khalid bin Al-Walid dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Proses penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi sangatlah sederhana. Mereka menggunakan alat tulis berupa lontaran kayu, pelepah korma, tulang-belulang, dan batu.
Kegiatan tulis-menulis Al-Qur’an pada masa Nabi di samping dilakukan oleh para sekretaris Nabi, juga dilakukan para sahabat lainnya. kegiatan itu didasarkan pada sebuah hadits Nabi sebagaimana telah diriwayatkan oleh Muslim, “Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dariku, kecuali Al-Qur’an. Barang siapa telah menulis dariku selain Al-Qur’an, hendaklah ia menghapusnya.”
Diantara faktor yang mendorong penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi adalah:
1.      Mem-back up hafalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya,
2.      Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna. Bertolak dari hafalan para sahabat saja tidak cukup karena terkadang mereka lupa atau sebagian dari mereka ada yang sudah wafat. Adapun tulisan tetap terpelihara walaupun tidak ditulis pada satu tempat.[12]

E.     Penulisan Al-Qur’an Pada Masa Sahabat dan Pelestariannya Pada Masa Selanjutnya
1.      Penulisan Al-Qur’an Pada Masa Abu Bakar Ash-Shiddiq
Pada dasarnya, seluruh Al-Qur’an sudah ditulis pada masa Nabi. Hanya saja, surat-surat dan ayat-ayatnya ditulis dengan terpencar-pencar. Orang yang pertama kali menyusunnya dalam satu mushaf adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Usaha pengumpulan tulisan Al-Qur’an itu terjadi setelah Perang Yamamah pada tahun 12 H. Peperangan yang bertujuan menumpas para pemurtad yang juga para pengikut Musailamah Al-Kadzdzab itu ternyata menyebabkan 700 orang sahabat penghafal Al-Qur’an syahid. Khawatir akan semakin hilangnya para penghafal Al-Qur’an, sehingga kelestarian Al-Qur’an juga ikut terancam, Umar datang menemui khalifah pertama, Abu Bakar, agar segera menginstruksikan pengumpulan Al-Qur’an dari berbagai sumber, baik yang tersimpan di dalam hafalan maupun tulisan.
Zaid bin Tsabit, salah seorang sekretaris Nabi, berdasarkan riwayat Bukhari, mengisahkan, setelah peristiwa berdarah yang menimpa sekitar 700 orang penghafal Al-Qur’an, Zaid diminta bertemu Abu Bakar. Turut hadir dalam pertemuan itu adalah Umar bin Al-Khaththab. Abu Bakar membuka pertemuan itu dengan mengatakan, “Umar telah mendatangiku dan mengatakan bahwa peperangan Yamamah telah meminta korban sejumlah qari’ Al-Qur’an. Aku khawatir hal ini meluas kepada para penduduk. Kalau demikian, banyak penghafal Al-Qur’an yang hilang. Aku memandang perlunya penghimpunan Al-Qur’an.”
Zaid bin Tsabit berkata kepada Umar karena usul penulisan datang darinya, “Bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang belum dilakukan Rasulullah?” Umar lalu menjawab, “Demi Allah, ini sesuatu yang baik.” Ketika Umar belum selesai mengucapkan kalimatnya, Allah telah melegakan hati Zaid tentang perlunya penghimpunan Al-Qur’an.
Abu Bakar berkata kepada Zaid, “Engkau adalah seorang lelaki yang msih muda dan pintar. Kami tidak menuduhmu (cacat mental). Dahulu engkau menulis wahyu untuk Rasulullah, (sekarang) lacaklah Al-Qur’an.”
Tugas yang dipercayakan Khalifah Abu Bakar padanya bukan hal yang ringan. Ia berkata di hadapan Abu Bakar dan Umar pada waktu itu, “Demi Allah, jika sekiranya orang-orang membebaniku memindahkan suatu gunung hal itu tidak lebih berat daripada perintah untuk menghimpun Al-Qur’an.”
Dalam melaksanakan tugasnya, Zaid menetapkan kriteria yang ketat untuk setiap ayat yang dikumpulkannya. Ia tidak menerima ayat yang hanya berdasarkan hafalan, tanpa didukung tulisan. Sikap kehati-hatian Zaid dalam mengumpulkan Al-Qur’an sebenarnya juga atas dasar pesan Abu Bakar kepada Zaid dan Umar. Abu Bakar berkata, “Duduklah kalian di pintu masjid. Siapa saja yang datang kepada kalian membawa catatan Al-Qur’an dengan dua saksi, catatlah.
Umar juga pernah berkata, “Siapa saja yang pernah mendengar seberapa saja ayat Al-Qur’an dari Rasulullah, sampaikanlah (kepada Zaid). Dan (pada waktu itu) para sahabat telah menulisnya pada suhuf, papan, dan pelepah kurma. Zaid sendiri tidak menerima laporan ayat dari siapapun sebelum diperkuat dua saksi.”
Dalam menerangkan pengertian dua saksi, perlu disimak pendapat Ibnu Hajar. Menurut tokoh hadis kenamaan ini, yang dimaksud dengan syahidain (dua saksi) di sini tidak harus keduanya dalam bentuk hafalan, atau keduanya dalam bentuk tulisan. Sahabat tertentu yang membawa ayat tertentu dapat diterima bila ayat yang disodorkannya didukung dua hafalan dan atau tulisan sahabat lainnya. Demikian juga, suatu hafalan ayat tertentu yang dibawa oleh sahabat tertentu dapat diterima bila dikuatkan oleh dua catatan dan atau dua hafalan sahabat lainnya.
Pekerjaan yang dibebankan ke pundak Zaid dapat diselesaikan dalam waktu kurang lebih satu tahun, yaitu pada tahun ke-3 H di bawah pengawasan Abu Bakar, Umar, dan para tokoh sahabat lainnya. Tidak ragu lagi, ketiga tokoh yang telah disebut-sebut dalam pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar, yitu Abu Bakar sendiri, Umar, dan Zaid, mempunyai peranan yang sangat penting. Umar yang terkenal dengan terobosan-terobosan jitunya menjadi pencetus ide. Ini tentunya punya arti tersendiri. Zaid, sudah tentu mendapat kehormatan besar karena dipercaya menghimpun kitab suci Al-Qur’an yang memerlukan kejujuran, kecermatan, ketelitian, dan kerja keras. Adapun Khalifah Abu Bakar sebagai decision maker juga menduduki porsi tersendiri. Tak berlebihan bila Ali bin Abi Thalib memujinya dengan mengatakan, “Semoga Allah merahmati Abu Bakar. Ia adalah orang yang pertama kali (mengambil keputusan) mengumpulkan kitab Allah.”
Setelah sempurna, berdasarkan musyawarah, tulisan Al-Qur’an yang sudah terkumpul itu dinamakan Mushaf. Setelah Abu Bakar wafat, suhuf-suhuf Al-Qur’an itu disimpan Khalifah Umar. Setelah Umar wafat, mushaf itu disimpan Hafsah, bukan oleh Utsman bin Affan sebagai khalifah yang menggantikan Umar karena sebelum wafat, Umar memberikan kesempatan kepada enam sahabat untuk bermusyawarah memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah. Kalau Umar memberikan mushaf kepada salah seorang di antara keenam sahabat itu, ia khawatir hal itu diinterprestasikan sebagai dukungan kepada sahabat yang memegang mushaf. Padahal, Umar ingin memberikan kebebasan sepenuhnya kepada enam sahabat untuk memilih mereka yang layak menjadi khalifah. Maka, ia menyerahkan mushaf itu kepada Hafsah yang sesungguhnya lebih dari layak memegang mushaf yang sangat bernilai, terlebih ia adalah istri Nabi dan sudah menghafal Al-Qur’an secara keseluruhannya.
2.      Penulisan Al-Qur’an Pada Masa Utsman bin Affan
Inisiatif Utsman untuk menyatukan penulisan Al-Qur’an tampaknya sangat beralasan. Betapa tidak, menurut beberapa riwayat, perbedaan cara membaca Al-Qur’an pada saat itu sudah berada pada titik yang menyebabkan umat Islam saling menyalahkan dan selanjutnya terjadi perselisihan di antara mereka. Sebuah riwayat menjelaskan bahwa perbedaan cara membaca Al-Qur’an ini terlihat pada waktu pertemuan pasukan perang Islam yang datang dari Irak dan Syiria. Mereka yang datang dari Syam (Syiria) mengikuti qira’at Ubai bin Ka’ab, sedangkan mereka yang berasal dari Irak membacanya sesuai dengan qira’at Ibnu Mas’ud. Tak jarang pula, di antara mereka yang mengikuti qira’at Abu Musa Al-Asy’ari. Sangat disayangkan, masing-masing pihak merasa bahwa qira’at yang dimilikinya lebih baik.
Adapun mengenai jumlah pasti naskah standar yang dibuat dan tempat-tempat pengirimannya, hadits memberikan penjelasan yang berbeda-beda, tetapi kemungkinannya, satu salinan disimpan di Madinah, sedangkan salinan lain dikirim ke Kufah, Bashrah dan Damaskus, serta mungkin juga ke Mekah. Salinan-salinan Al-Qur’an yang ada sebelumnya, yakni sebelum adanya resensi Utsmani, diberitakan telah dimusnahkan sehingga teks seluruh salinan Al-Qur’an yang akan dibuat pada masa-masa selanjutnya harus didasarkan pada naskah-naskah standar tersebut.
Utsman memutuskan agar mushaf-mushaf yang beredar harus memenuhi persyaratan berikut:
a.       Terbukti mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad.
b.      Mangabaikan ayat yang bacaannya di-nasikh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca kembali di hadapan Nabi pada saat-saat terakhir.
c.       Kronologi surat dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda dengan mushaf Abu Bakar yang susunan suratnya berbeda dengan mushaf Utsmani.
d.      Sistem penulisan yang digunakan mushaf mampu mencakup qira’at yang berbeda sesuai dengan lafazh-lafazh Al-Qur’an ketika turun.
e.       Semua yang bukan termasuk Al-Qur’an dihilangkan. Misalnya yang ditulis di mushaf sebagian sahabat juga menulis makna ayat atau penjelasan nasikh-mansukh di dalam mushaf.
3.      Penulisan Al-Qur’an Pada Masa Selanjutnya
Mushaf yang ditulis atas perintah Utsman tidak memiliki harakat dan tanda titik sehingga dapat dibaca dengan salah satu qira’at yang tujuh. Setelah banyak orang non-Arab memeluk Islam, mereka merasa kesulitan membaca mushaf yang tidak berharakat dan bertitik itu. Pada masa Khalifah Abd-Al-Malik (685-7705), ketidakmemadainya mushaf ini telah dimaklumi para sarjana muslim terkemuka saat itu. Oleh karena itu, penyempurnaan pun segera dilakukan. Tersebutlah dua tokoh yang berjasa dalam hal ini, yaitu Ubaidillah bin Ziyad (wafat 67 H) dan Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi (wafat 95 H). Ibnu Ziyad diberitakan memerintahkan seorang lelaki dari Persia untuk meletakkan alif sebagai pengganti dari huruf yang dibuang. Adapun Al-Hajjaj melakukan penyempurnaan terhadap mushaf Utsmani pada sebelas tempat yang memudahkan membaca mushaf.
Upaya penyempurnaan itu tidak berlangsung sekaligus, tetapi bertahap dan dilakukan oleh setiap generasi sampai abad III H (atau akhir abad IX M) ketika proses penyempurnaan naskah Al-Qur’an (mushaf Utsmani) selesai dilakukan. Tercatat pula tiga nama yang disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali meletakkan tanda titik pada mushaf Utsmani. Ketiga orang itu adalah Abu Al-Aswad Ad-Du’ali, Yahya bin Ya’mar (45-129 H), dan Nashr bin Ashmin Al-Laits (wafat 89 H). Adapun orang yang disebut-sebut pertama kali meletakkan hamzah, tasydid, ar-rum, dan al-isyam adalah Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi Al-Azdi yang diberi kun-yah Abu Abdirrahman (wafat 175 H).
Upaya penulisan Al-Qur’an dengan tulisan yang bagus merupakan upaya lain yang telah dilakukan generasi terdahulu. Diberitakan bahwa Khalifah Al-Walid (memerintah dari tahun 86-96 H) memerintahkan Khalid bin Al-Khayyaj yang terkenal keindahan tulisannya untuk menulis mushaf Al-Qur’an.[13]

F.     Percetakan Al-Qur’an
Sebelum berkenalan dengan percetakan, mushaf-mushaf ditulis dengan tangan. Al-Qur’an cetakan pertama kali muncul di Bunduqiyah, tahun 1530 M. Namun, begitu lahir, penguasa gereja mengeluarkan perintah pemusnahan kitab suci agama Islam itu. Barulah lahir lagi cetakan selanjutnya atas usaha seorang Jerman bernama Hinkelmann pada tahun 1694 M di Hamburg. Disusul kemudian oleh Marracci yang menerbitkan lagi Al-Qur’an tahun 1698 di Padoue. Sayangnya, tak satu pun dari Al-Qur’an cetakan pertama, kedua, maupun ketiga itu yang tersisa di dunia Islam (Mabahits fi ‘Ulum Al-Quran, hlm. 99). Sayangnya pula, perintis penerbitan Al-Qur’an pertama itu dari kalangan bukan Muslim.
Penerbitan Al-Qur’an dengan label Islam baru dimulai pada tahun 1787. Yang menerbitkannya adalah Maulaya Utsman. Dan mushaf cetakan itu lahir di Leningrad, Uni Soviet atau St. Petersburg, Rusia, sekarang. Lahir lagi kemudian mushaf cetakan di Kazan. Kemudian terbit lagi di Iran. Tahun 1248 H/1828 M, negeri Persia menerbitkan mushaf cetakan di kota Teheran. Lima tahun kemudian, yakni tahun 1833, terbit lagi mushaf cetakan di Tabriz. Setelah dua kali diterbitkan di Iran, setahun kemudian (1834) terbit lagi mushaf cetakan di Leipzig, Jerman.
Di negara Arab, Raja Fuad dari Mesir membentuk panitia khusus penerbitan Al-Qur’an di perempatan pertama abad ke-20. Panitia yang dimotori oleh para Syekh Al-Azhar itu pada tahun 1342 H/1923 M berhasil menerbitkan mushaf Al-Qur’an cetakan yang bagus. Mushaf yang pertama terbit di negara Arab itu, di-dlabit sesuai dengan riwayat Hafsh atas qiraat ‘Ashim. Sejak itu, berjuta-juta mushaf dicetak, di Mesir dan di berbagai negara.[14]




BAB III
SIMPULAN & SARAN

A.    Simpulan
1.      Nuzul Al-Qur’an atau yang di Indonesia sering ditulis Nuzulul Quran terdiri dari dua kata, yakni Nuzul dan Al-Qur’an. Kata nazala di dalam bahasa Arab berarti “meluncur dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah.”
2.      Al-Qur’an mulai diturunkan kepada Nabi ketika Nabi sedang berkhilwat di gua Hira pada malam Senin, bertepatan dengan tanggal tujuh belas Ramadhan, tahun 41 dari kelahiran Nabi Muhammad SAW (6 Agustus 610 M). Sesuai dengan kemuliaan dan kebesaran Al-Qur’an, Allah menjadikan malam permulaan turun Al-Qur’an itu malam Al-Qadar yaitu suatu malam yang tinggi kadarnya. Hal ini diakui dalam Al-Qur’an sendiri. Ayat yang mula-mula diturunkan ketika Nabi di dalam gua Hira adalah Q.S. Al-Alaq ayat 1-5, sesudah itu Allah menurunkan Q.S. Al-Muddatstsir ayat 1-10. Kemudian wahyu berhenti, tidak turun lagi. Menurut pendapat Ibnu Ishaq, tiga tahun lamanya wahyu tidak diturunkan. Dalam pada itu ada yang mengatakan selama empat puluh hari, ada yang mengatakan selama lima belas hari dan ada yang mengatakan selama tiga hari. Setelah Nabi merasa kecewa karena tidak turun wahyu yang sangat dirindukannya, kemudian turun surat Adh-Dhuha. Kemudian ulama menetapkan bahwa hari terakhir turunnya Al-Qur’an ialah hari Jum’at 9 Dzulhijjah tahun 10 H atau tahun 63 dari kelahiran Nabi (Maret 632 M). Namun dalam masalah ayat yang paling akhir turun, tak satu pun terdapat riwayat yang marfu’ kepada Nabi Muhammad SAW. Semua riwayat yang ada bersumber dari sahabat dan tabi’in. Itulah sebabnya saat mencari tahu ayat yang paling akhir turun, terjadi kesimpangsiuran dan persilangan pendapat.
3.      Allah menurunkan al-quran kepada rasulullah melalui 3 tahap:
a.       Tahapan Pertama (At-Tanazzulul Awwalu)
Al-Qur’an diturunkan/ ditempatkan ke Lauh Mahfudh.
b.      Tahapan Kedua (At-Tanazzulu Ats-Tsani)
Al-Qur’an turun dari Lauh Mahfudh ke Baitul Izzah di langit dunia.
c.       Tahapan Ketiga (At-Tanazzulu Ats-Tsaalistu)
Al-Qur’an turun dari Baitul Izzah di langit dunia langsung kepada Nabi Muhammad Saw.
4.      Pada masa ketika Nabi Muhammad masih hidup, terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan.
5.      Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran yang mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal Al-Qur'an dalam jumlah yang signifikan. Umar bin Khattab yang saat itu merasa sangat khawatir akan keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur'an yang saat itu tersebar di antara para sahabat. Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksanaan tugas tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur'an tersusun secara rapi dalam satu mushaf, hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafshah yang juga istri Nabi Muhammad.
Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini.
Pasca sahabat pemaliharaan Al-Qur’an pada masa khalifah Abdul Malik ibn Marwan pada tahun 65 H. Kemudian berkembang pada abad ke 3 H, dalam perkara ini selalu saja disebut 3 orang tokoh Abu Aswad ad-Duali dialah yang paling terkenal, Yahya bin Ya’mar, dan Nashr bin ‘Ashim al-Laitsi. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya al-Khalil ibn Ahmad yang membuat tanda-tanda baca dalam al-Qur’an dan berkembanglah tulisan-tulisan itu sampai abad ke 5 H.
6.      Al-Quran pertama sudah mulai dicetak di Negara bagian Eropa tepatnya yaitu di kota Bunduqiyah (Italia) pada tahun 1530 M. Tetapi begitu mushaf cetakan itu muncul kekuasaan gereja pada masa itu mulai kembali berkembang dan memliki rencana untuk membasmi musahf-mushaf Al-Quran. Namun dalam pendapat lain juga mengatakan bahwasanya awal mula pencetakan Al-Quran dilakukan pada tahun 1694 M, Hinkelman mencetak mushaf di Hambourg (jerman). Pada tahun 1698 M, Merracci juga mencetak Al-Quran di kota Podova (Italia Utara).

B.     Saran
Demikianlah makalah ini saya selesaikan. Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif sangat saya harapkan demi kesempurnaan makalah-makalah selanjutnya. Akhirnya semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.



DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon. 2009. Pengantar Ulumul Quran. Bandung: Pustaka Setia.
Ash-Shiddieqy, Teungku. 2011. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Semarang: Pustaka Riski Putra.
Djalal, Abdul. 2012. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu.
Hermawan, Acep. 2011. ‘Ulumul Quran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.
Sf, Syakur. 2001. Ulum Al-Qur’an. Semarang: PKP12. FAI Universitas Wahid Hasyim.
Lestari, Sri. “Makalah Sejarah Nuzulul Qur’an”. http://www.slideshare.net/nobericsoember/makalah-24885701 diakses pada tanggal 21 Februari 2015, jam 23:06:33 WIB.




[1] Sri Wiji Lestari, Makalah Sejarah Nuzulul Qur’an, http://www.slideshare.net/nobericsoember/makalah-24885701 diakses pada tanggal 21 Februari 2015, jam 23:06:33 WIB.
[2]Acep Hermawan, ‘Ulumul Quran, (Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 2011), hlm. 29-30.
[3] M. Syakur Sf, Ulum Al-Qur’an, (Semarang: PKP12. FAI Universitas Wahid Hasyim, 2001), hlm. 32.
[4]Teungku M. Hasbi as-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran dan Tafsir, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2011), hlm. 19-20.
[5] Ibid., hlm. 24-26.
[6] Ibid., hlm. 32.
[7] Acep Hermawan, Op. Cit., hlm. 25-28.
[8] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1998), hlm. 51-56.
[9] M. Syakur Sf, Op. Cit., hlm. 37-38.
[10]Abdul Djalal, Op. Cit., hlm. 67-69.
[11] Acep Hermawan, Op. Cit., hlm. 65-66.
[12] Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Quran, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 74-75.
[13] Ibid., hlm. 74-81.
[14] Acep Hermawan, Op. Cit., hlm. 87.

No comments:

Post a Comment