Monday, November 2, 2015

ULUMUL QUR'AN : NASIKH DAN MANSUKH

MAKALAH
NASIKH DAN MANSUKH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah                : Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu        : Shobirin M,Ag.





Disusun oleh :
SitiAisyah                   1420210054

 



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS JURUSAN SYARIAH PRODI EKONOMI SYARIAH
 TAHUN 2015

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, ia meninggalkan dua kitab yang akan menjadi pedoman manusia hidup di dunia agar tidak tersesat yaitu Al-qur’an dan Al-hadits. Allah juga menurunkan syariat samawiyah kepada para utusanNya untuk memperbaiki umat di bidang akidah, ibadah dan muamalah. Tentang bidang ibadah dan mu’amalah memilki prinsip yang sama yaitu bertujuan membersihkan jiwa dan memelihara keselamatan masyarakat. Tuntutan kebutuhan setiap umat terkadang berbeda satu dengan yang lain. Apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok lagi pada masa yang lain. Disamping itu, perjalanan dakwah pada taraf pertumbuhan dan pembentukan tidak sama dengan perjalannya sesudah memasuki era perkembangan dan pembangunan. Dengan demikian hikmah tasyri’ (pemberlakuan hukum) pada suatu periode akan berbeda dengan hikmah tasyri’ pada periode yang lain. Tetepi tidak diragukan bahwa pembuat syari’at, yaitu Allah, rahmat dan ilmuNya meliputi segala sesuatu, dan otoritas memerintah dan melarang pun hanya milikNya.
Oleh sebab itu, wajarlah jika Allah menghapuskan sesuatu syari’at dengan syari’at lain untuk menjaga kepentingan para hamba berdasarkan pengetahuanNya yang azali tentang yang pertama dan yang terkemudian.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Nasikh dan Mansukh dan Syarat-syaratnya?
2.      Bagaimana sejarah Nasikh dan Mansukh?
3.      Apa saja klasifikasi Nasikh dan Mansukh?
4.      Apa perbedaan antara Nasikh dan Mansukh?
5.      Apa fungsi memahami Nasikh Mansukh?
6.      Bagaimana pendapat tentang Nasikh dan Mansukh?


BAB II
PEMBAHASAN

1.    Pengertian Nasikh dan Mansukh dan Syarat-Syaratnya
Nasikh menurut bahasa memilki dua arti yaitu: hilangkan dan hapuskan. Misalnya dikatakan nasakhat asy-syamsu azh-zhilla, artinya matahari menghilangkan bayang-bayang dan nasakhat ar-rih atsara al-masyyi, artinya angin menghapuskan jejak langkah kaki. Kata naskh juga dipergunakan untuk makna memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain. Misalnya:nasakhtu al- kitab, artinya, saya menyalin isi kitab. Didalam Al-quran dikatakan:
هَٰذَا كِتَابُنَا يَنْطِقُ عَلَيْكُمْ بِالْحَقِّ ۚ إِنَّا كُنَّا نَسْتَنْسِخُ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ 
Artinya: “ Sesunguhnya kami menyuruh untuk menasakhkan apa dahulu kalian kerjakan.” (Al-jatsiyah:29).
Maksudnya, kami (Allah) memindahkan amal perbuatan kedalam lembaran-lembaran catatan amal.
Sedangkan menurut istilah nakh ialah “mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum syara’ yang lain.” Disebutkan disini kata “hukum”, menunjukkan bahwa prinsip “segala sesuatu hukum asalnya boleh” (Al-Bara’ah Al-ashliyah) tidak termasuk yang di naskh. Kata-kata “dengan dalil hukum syara’” mengecualikan pengangkatan (penghapusan) hukum yang disebabkan kematian atau gila, atau penghapusan dengan ijma’ atau qiyas. Contohnya:
وَ ِللهِ الْمَشْرِقُ وَ الْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ إِنَّ اللهَ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
Artinya: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah[83]. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui. Disitulah wajah Allah” (QS. Al-Baqarah [2] : 115.)
              Kemudian di nasakh oleh ayat:
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
Artinya: “maka palingkanlah mukamu ke arah masjidil haram....”
(QS. Al-Baqarah:144)
Ada yang berpendapat inilah yang benar, bahwa ayat pertama tidak di naskh  sebab ia berkanaan dengan sholat sunnah saat dalam perjalanan yang dilakukan diatas kendaraan, juga dalam keadaan takut dan daruarat. Dengan demikian, hkum ayat ini tetap berlaku, sebagaimana dijelaskan dalam Ash-Shahihain. Sedang ayat kedua berkenaan dengan sholat fardlu lima waktu. Dan yang benar, ayat kedua ini menasakh perintah kehadap Baitul Maqdis yang ditetapkan dalam sunnah.
Sedangkan pengertian mansukh adalah hukum yang diangkat atau
dihapuskan. Maka ayat mawarits (warisan) atau hukum yang terkandung di dalamnya, misalnya adalah menghapuskan (nasikh) hukum wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat.
       Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam naskh diperlukan syarat-syarat berikut:
a.       Hukum yang mansukh adalah hukum syara’
b.      Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih kemudian hari khitab yang hukumnya di mansukh
c.       Khitab yang dihapuskan atau diangkat hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhiranya waktu tersebut. Dan yang demikian tidak dinamakan nasakh.
Makki berkata: “segolongan Ulama menegaskan bahwa khitab yang mengisyaratkan waktu dan batas tertentu, seperti firman Allah: “Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan perintah-Nya” (QS. Al-Baqarah;109), adalah muhkam, tidak mansukh, sebab ia dikaitkan dengan batas waktu, dan sesuatu yang dibatasi oleh waktu tidak ada naskh di dalamnya.



2.    Sejarah Nasikh dan Mansukh
Asal mula timbulnya teori nasikh ialah bermula adanya ayat-ayat yang menurut anggapan mereka saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan.
Nasikh mansukh alam konteks eksternal agama yang lazim dikenal dengan sebutan al-badadiperselisihkan dikalangan antar pemeluk agama.Penolakan Yahudi dan Nasrani terhadap kemungkinan bada’ dan penerimaan kaum muslimin terhadap naskh antar agama, pada dasarnya timbul karena adanya perbedaan paham ketiga agama ini terhadap kenabian dan kitab sucinya. Yahudi dan Nasrani tidak mengakui adanya naskh, karena menurut mereka, naskh mengandung konsep al-bada’, yakni muncul setelah tersembunyi. Maksudnya mereka adalah, naskh itu adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah. Dan adakalanya karena suatu kejelasan yang didahului oleh ketidakjelasan. Dan ini pun mustahil pula bagi-Nya.
Cara berdalil mereka ini tidak dapat dibenarkan, sebab masing-masing hikmah naskh dan mansukh telah diketahui oleh Allah labih dahulu. Jadi pengetahuan-Nya tentang hikmah tersebut bukan hal yang baru muncul. Ia membawa hamba-hambaNya dari satu hukum ke hukum yang lain adalah karena sesuatu maslahat yang telah diketahuiNya yang absolut terhadap segala milikNya.
Pengetahuan tentang Nasikh dan Mansukh mempunyai manfaat besar, agar pengetahuan tentang hukum tidak menjadi kabur dan tidak terjadi kesalahpahaman. Oleh sebab itu, terdapat banyak atsar yang mendorong agar mengetahui masalah ini. Seperti yang diriwayatkan Ali pada suatu hari, ia bertanya pada seorang hakim “Apakah kamu mengetahui yang naskh dan yang mansukh?” “Tidak” jawab hakim itu. Maka kata Ali, “Celakalah kamu dan kamupun akan mencelakakan orang lain.”
Untuk mengetahui Nasikh dan Mansukh terdapat beberapa cara:
a.       Keterangan tegas dari Nabi
b.      Ijma’ umat bahwa ayat ini nasikh dan yang itu mansukh
c.       Mengetahui mana yang terlebih dahulu dan mana yang belakangan berdasarkan sejarah.


3.    Klasifikasi Nasikh dan Mansukh
a.       Naskh Al-qur’an dengan Al-qur’an(Naskhul Qur’aani bil Qur’aani)
Bagian ini dsiepakati kebolehannyaa dan telah terjadi di dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya naskh. Misalnya, ayat tentang ‘iddah empat bulan sepuluh hari.
b.      Naskh Al-qur’an dengan As-Sunnah(Naskhul Qur’aani bis Sunnati)
Naskh ini ada dua macam:
1)      Naskh Al-qur’an dengan hadits ahad. Jumhur berpendapat, Al-qur’an tidak boleh dinasakh oleh hadits ahad, sebab Al-qur’an adalah mutawattir dan menunjukkan keyakinan, sedang hadits ahad itu zhanni, bersifat dugaan, disamping tidak sah pula menghapusakan sesuatu yang maklum (jelas diketahui) dengan yang mazhnun (diduga).
2)      Naskh Al-qur’an dengan hadits mutawattir. Naskh senacam ini dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Allah berfirman:
Artinya: “Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.  Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm 3-4)
Dalam pada itu Asy-syafi’i, Zhahiriyah dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain menolak naskh seperti ini, berdasarkan firman Allah,
Artinya: Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” (QS. Al-Baqarah:106)
Sedang hadits tidak lebih baik dari atau sebanding dengan Al-qur’an.
c.       Naskh sunah dengan Al-qur’an(Naskhus Sunnah bil Qur’aani)
Naskh ini menghapuskan hukum yang ditetapkan berdasarkan sunnah diganti dengan hukum yang didasarkan dengan Al-qur’an. Naskh jenis ini diperbolehkan oleh jumhur Ulama’. Contohnnya seperti berpuasa wajib pada hari Asy-Syura yang ditetapkan berdasarkan sunnah juga dinasakh firman Allah:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya: “Maka barang siapa menyaksikan bulan Ramadlan hendaklah ia berpuasa.” (QS. Al-Baqarah:185)[1]
Maksudnya, semula berpuasa hari Asy-Syura itu wajib, tetapi setelah turun ayat yang mewajibkan puasa pada bulan Ramadlan, maka puasa pada hari Asyura itu tidak wajib lagi, sehingga ada orang yang berpuasa dan ada yang tidak.
d.      Nasikh sunah dengan sunah(Naskhus Sunnah bis Sunnah)
Adapun menasakh ijma’ dengan ijma’ dan qiyas dengan qiyas atau menasakh keduanya, maka pendapat yang shohih tidak membolehkannya.[2]
4.      Perbedaan antara Nasikh dan Mansukh
Adat Naskh adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada. Nasikh yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya Nasikh itu berasal dari Allah, karena Dialah yang membuat hukum dan Dia pulalah yang menghapusnya.
Sedangkan Mansukh adalah hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan. Dan Mansukh ‘anh yaitu orang yang dibebani hukum.
5.      Fungsi memahami Nasikh dan Mansukh
Fungsi memahami Nasikh dan Mansukh diantaranya sebagai berikut:
a.       Memelihara kepentingan hamba
b.      Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia
c.       Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak
d.      Menghendaki  kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika Nasikh itu  beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih kehal yang mengandung kemudahan dan keringanan.[3]
Pengetaguan yang benar terhadap teks yang nasikh dan yang mansukh, disamping dapat membantu seseorang di dalam memahami konteks diturunkannya sebuah teks,juga dapat mengetahui bagian mana teks al-Qur’an yang turun lebih dahulu dan yang turun kemudian.Disisi lain, pengetahuan terhadap fenomena ini juga akan memperteguh kekayaan kita bahwa sumber Al-Qur’an yang hakiki adalah Allah. Sebab Dialah yang menghapuskan sesuatu dan menetapkan yang lainnya menurtut kehendakNya dan kekuasaaNya tidak dapat diintervensi oleh kekuatan apapun.[4]
6.      Pendapat tentang Nasikh dan Mansukh dan ketetapannya
Dalam masalah Naskh, para Ulama terbagi atas empat golongan:
a.       Orang Yahudi. Mereka tidak mangakui adanya Naskh, karena menurutnya, Naskh mengandung konsep al-bada’, yakni Nampak jelas setelah kabur (tidak jelas). Yang dimaksud mereka ialah, Naskh itu adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah. Dan adakalanya Karena sesuatu hikmah yang sebelumnya tidak nampak. Ini berarti terdapat suatu kejelasan yang didahului oleh ketidakjelasan. Dan ini pun mustahilbagi-Nya.
Cara berdalil mereka ini tidak dapat dibenarkan, sebab masing-masing hikmah Nasikh dan Mansukh telah diketahui Allah lebih dahulu. Jadi pengetahuannya tentang hikmah tersebut bukan hal yang baru muncul. Ia membawa hamba-hamba-Nya dari satu hokum ke hukum yang lain adalah karena suatu maslahat yang telah diketahui-Nya jauh sebelum itu, sesuai dengan hikmah dan kekuasaan-Nya yang absolut terhadap segala milik-Nya.
Orang Yahudi sendiri mengakui bahwa syari’at Musa menghapuskan syari’at sebelumnya. Dan dalam nas-nas Taurat pun terdapat Naskh, sepert pengharaman sebagian binatang atas Bani Israil yang semula dihalalkan. Berkenaan dengan mereka Allah berfirman:
كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلًّا لِبَنِي إِسْرَائِيلَ إِلَّا مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيلُ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ قُلْ فَأْتُوا بِالتَّوْرَاةِ فَاتْلُوهَا إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’kub) untuk dirinya sendiri.” (QS. Ali Imran [3]:93)[5]
Ditegaskan dalam Taurat, bahwa Adam menikah dengan saudara perempuannya. Tetapi kemudian Allah mengharamkan pernikahan dengan demikian atas Musa, dan Musa memerintahkan Bani Israil agar membunuh siapa saja di antara mereka yang menyembah patung anak sapi namun kemudian perintah in idicabut kembali.
b.      Orang Syi’ah Rafidah, mereka sangat berlebihan dalam menetapkan Naskh dan meluaskannya. Mereka memandang konsep al-bada’ sebagai suatu hal yang mungkin terjadi bagi Allah. Dengan demikian, maka posisi mereka sangat kontradiksi dengan orang Yahudi. Untuk mendukung pendapatnya itu mereka mengajukan argumentasi dengan ucapan-ucapan yang mereka nisbahkan kepada Ali r.a.secara dusta dan palsu. Juga dengan firman Allah:
يَمْحُوا اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَاب
Artinya: “Allah menghapuskan apa yang ia kehendaki dan menetapkan (apa yang ia kehendaki).” (ar-Ra’d [13]:39) dengan pengertian bahwa Allah siap untuk menghapuskan dan menetapkan.
          Paham demikian merupakan kesesatan yang dalam dan penyelewengan terhadap Qur’an. Sebab makna ayat tersebut adalah: Allah menghapuskan segala sesuatu yang dipandang perlu dihapuskan dan menetapkan penggantinya jika penetapannya mengandung maslahat. Disamping itu penghapusan dan penetapan terjadi dalam banyak hal, misalnya menghapuskan keburukan dengan kebaikan.
c.       Abu Muslim al-Asfahani. Menurutnya, secara logika Naskh dapat saja terjadi, tetapi tidak mungkin terjadi menurut syara’. Dikatakan pula bahwa ia menolak sepenuhnya terjadi Naskh dalam Al-Qur’an.
Pendapat Abu Muslim ini tidak dapat diterima, karena makna ayat tersebut ialah, bahwa Qur’an tidak didahului oleh kitab-kitab yang membatalkannya dan tidak datang pula sesudahnya sesuatu yang membatalkannya.
d.      Jumhur Ulama. Mereka berpendapat Naskh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan dalil-dalil:
1.      Perbuatan-perbuatan Allah tidak tergantung padahal alasan dan tujuan. Ia boleh saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Karena hanya Dialah yang lebih mengetahui kepentingan hamba-hamba-Nya.
2.      Nas-nas kitab dan Sunah menunjukkan kebolehan Naskh dan terjadinya. Antara lain:
a)      Firman Allah:
“Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempa ayat yang lain…” (QS.An-Nahl [16]:101)
b)      Dalam sebuah hadist shahih, dari Ibn Abbas r.a., umar r.a.berkata : ”Yang paling paham dan paling menguasai Qur’an diantara kami adalah Ubai. Namun demikian kami pun meninggalkan sebagian perkataannya, karena ia mengatakan: “Aku tidak akan meninggalkan sedikit pun segala apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah SAW, padahal Allah telah berfirman: Apa saja ayat yang Kami Naskhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya…” (Al-Baqarah [2]:106)[6]


BAB III
SIMPULAN
Nasikh ialah menghapuskan hukum syara’ dengan dalil hokum syara’ yang lain. Disebutkan kata “hukum” disisni, menunjukkan bahwa prinsip “segala sesuatu hokum asalnya boleh”. Sedangkan Mansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan. Nasikh terdapat empat macam bagian, diantaranya:
1.      Naskh Al-qur’andengan Al-qur’an
2.      Naskh Al-qur’andengan As-sunnah
3.      Naskh As-sunnahdengan Al-qur’an
4.      Naskh As-sunnahdengan As-sunnah
Fungsi memahami Nasikh dan Mansukh diantaranya sebagai berikut:
1.      Memelihara kepentingan hamba
2.      Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia
3.      Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak
4.      Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika Nasikh itu beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang kebihringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.
Jumhur Ulama. Mereka berpendapat Naskh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan dalil-dalil:
1.      Perbuatan-perbuatan Allah tidak tergantung pada alasan dan tujuan. Ia boleh saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Karena hanya Dialah yang lebih mengetahui kepentingan hamba-hamba-Nya.
2.      Nas-nas kitab dan Sunah menunjukkan kebolehan Naskh dan terjadinya.yaitu Firman Allah:
“Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempa ayat yang lain…” (QS.An-Nahl [16]:101)
Dalam sebuah hadist shahih, dari Ibn Abbas r.a., umar r.a.berkata : ”Yang paling paham dan paling menguasai Qur’an diantara kami adalah Ubai. Namun demikian kami pun meninggalkan sebagian perkataannya, karena ia mengatakan: “Aku tidak akan meninggalkan sedikit pun segala apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah SAW, padahal Allah telah berfirman: Apa saja ayat yang Kami Naskhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya…” (Al-Baqarah [2]:106)









DAFTAR PUSTAKA
http://saifuddinasm.com/2013/01/23/ali-imran93-94-batalnya-yahudi-yang-
           mengharamkan-makanan/
Manna Khalil Al-Qattan, StudiIlmu-Ilmu Qur’an, PustakaLiteraAntarNusa, Jakarta:
            2001.
Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung: 2001.
Rosihon Anwar,  Ulum Al-Qur’an,PustakaSetia, Bandung: 2000.




[1] http://muslim.or.id/tafsir/tafsir-surat-al-baqarah-185.html
[2]Manna Khalil Al-Qattan, StudiIlmu-Ilmu Qur’an, PustakaLiteraAntarNusa, Jakarta:2001.Hlm. 325-334.
[3]Rosihon Anwar,  Ulum Al-Qur’an,PustakaSetia, Bandung: 2000.Hlm.165-166.
[4] [4] Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung: 2001.hlm.278.
[5] http://saifuddinasm.com/2013/01/23/ali-imran93-94-batalnya-yahudi-yang-mengharamkan-makanan/
[6]Manna Khalil Al-Qattan, Op.Cit. hlm.330-334.

No comments:

Post a Comment