Monday, November 2, 2015

ULUMUL QUR'AN :ILMU QIRAAT


TUGAS MANDIRI
MAKALAH ILMU QIRAAT
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah ‘Ulum Al-Qur’an
Dosen Pengampu : Shobirin,  M.Ag





Disusun Oleh :
Silvia Khoirunnisa’           : 1420210074


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
PRODI EKONOMI SYARI’AH
TAHUN 2015



KATA PENGANTAR
                                        
            Alhamdulillah segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat, taufik dan hidayah-Nya. Sehingga penyusun  mampu  menyelesaikan makalah ini.
            Shalawat serta salam kepada sang pendidik sejati Rasulullah SAW, serta para sahabat, tabi’in dan para umat yang senantiasa berjalan dalam risalahnya. Dengan terselesainya makalah ini, kami tidak lupa mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak yang memberikan sumbangan baik moral maupun spiritual.
            Selanjutnya penyusun menyadari sepenuhnya bahwa dalam makalah ini banyak terdapat kekurangan, walaupun penyusun sudah berusaha semaksimal mungkin untuk membuat yang terbaik. Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna. Begitu juga dalam penyusunan makalah ini, yang tidak luput dari kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, dengan segala ketulusan dan kerendahan hati penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat konstruktif demi penyempurnaan makalah ini.  Akhirnya penyusun berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat. Amiin.


                                                                                   



Kudus, 31 Mei 2015
                                                                                                                                                                                                                                                Penyusun,






                                                                                                Silvia Khoirunnisa’
DAFTAR  ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………..……….……...2          
DAFTAR ISI…………………………………...………………………………….3           
BAB I PENDAHULUAN                                                                            
A.    LATAR BELAKANG………….……………………………………….4
B.     RUMUSAN MASALAH……………………………………………….4          
BAB II PEMBAHASAN                                                                             
A.    Pengertian Qiraat…….……………………...………………….………..5
B.    Sejarah Perkembangan Qiraat….….……………………….……………5
C.    Syarat-syarat Sahnya Qiraat……………………………………………..8
BAB III PENUTUP                                                                                      
A     KESIMPULAN…………………...…………………………….……...10
B.    SARAN-SARAN…….………………………………….…...….……..10


























BAB I
PENDAHULUAN

A.  LATAR BELAKANG
       Qiraat merupakan salah satu cabang ilmu dalam ‘Ulum al-Qur’an, namun tidak banyak orang yang tertarik kepadanya, kecuali orang-orang tertentu saja, biasanya kalangan akademik. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu,  di antaranya adalah, ilmu ini tidak berhubungan langsung dengan kehidupan dan muamalah manusia sehari-hari; tidak seperti ilmu fiqih, hadis, dan tafsir misalnya,yang dapat dikatakan berhubungan langsung dengan kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan ilmu qira’at tidak mempelajari masalah-masalah yang berkaitan secara langsung dengan halal-haram atau hukum-hukum tertentu dalam kehidupan manusia.
       Selain itu, ilmu ini juga cukup rumit untuk dipelajari, banyak hal yang harus diketahui oleh peminat ilmu qira’at ini, yang terpenting adalah pengenalan al-Qur’an secara mendalam dalam banyak seginya, bahkan hafal sebagian besar dari ayat-ayat al-Qur’an merupakan salah satu kunci memasuki gerbang ilmu ini; pengetahuan bahasa Arab yang mendalam dan luas dalam berbagai seginya, juga merupakan alat pokok dalam menggeluti ilmu ini, pengenalan berbagai macam qiraat dan para perawinya adalah hal yang mutlak bagi pengkaji ilmu ini. Hal-hal inilah barangkali yang menjadikan ilmu ini tidak begitu populer.
       Meskipun demikian keadaannya, ilmu ini telah sangat berjasa dalam menggali, menjaga dan mengajarkan berbagai “cara membaca” al-Qur’an yang benar sesuai dengan yang telah diajarkan Rasulullah SAW. Para ahli qiraat  telah mencurahkan segala kemampuannya demi mengembangkan ilmu ini. Ketelitian dan kehati-hatian mereka telah menjadikan al-Qur’an terjaga dari adanya kemungkinan penyelewengan dan masuknya unsur-unsur asing yang dapat merusak kemurnian al-Qur’an. Tulisan singkat ini akan memaparkan secara global tentang ilmu Qira’at al-Qur’an, dapat dikatakan sebagai pengenalan awal terhadap Ilmu Qira’at al-Qur’an.

 B. RUMUSAN MASALAH
Secara garis besar terdapat beberapa rumusan masalah, diantaranya:
A.    Pengertian Qiraat.
B.     Sejarah Perkembangan Qiraat.
C.     Syarat-syarat Sahnya Qiraat.








BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Qiraat
Qira’at menurut bahasa berupa isim masdar dari lafal qara’a (fi’il madhi), yang berarti membaca. Maka qira’at berarti bacaan atau membaca. 
Secara istilah, Qira-at ialah salah satu cara membaca Alqur’an yang selaras dengan kaidah bahasa Arab, dan sanadnya mutawatir serta cocok dengan salah satu dari beberapa mushaf Utsman. Terdapat beberapa definisi mengenai arti Qira’at, yakni :
1.      Menurut Al-Zarqani dalam buku Manaahilul Irfan. Qira’at adalah suatu cara membaca Alqur’an yang dipilih oleh salah seorang imam ahli qira’at, yang berbeda dengan cara orang lain  dalam mengucapkan Al-Quranil Karim, sekalipun riwayat (sanad) dan jalannya sama.
2.      Menurut Ibnu Al-Jazari dalam kitab Manjidul Muqri’in. Qira’at adalah ilmu mengenai cara pengungkapan kalimat-kalimat Alqur’an dan perbedaan-perbedaannya.[1]
Ada beberapa kata kunci dalam membicarakan qiraat yang harus diketahui. Kata kunci tersebut adalah qira’at, riwayat dan tariqah. Berikut ini akan dipaparkan pengetian dan perbedaan antara qira’at dengan riwayat dan tariqah, sebagai berikut : Qira’at adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang imam dari qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas; seperti qira’at Nafi’, qira’at Ibn Kasir, qira’at Ya’qub dan lain sebagainya.
Sedangkan Riwayat adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang perawi dari para qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas. Misalnya, Nafi’ mempunyai dua orang perawi, yaitu Qalun dan Warsy, maka disebut dengan riwayat Qalun ‘anNafi’ atau riwayat Warsy ‘an Nafi’.
Adapun yang dimaksud dengan tariqah adalah bacaan yang disandarkan kepada orang yang mengambil qira’at dari periwayat qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas. Misalnya, Warsy mempunyai dua murid yaitu al-Azraq dan al-Asbahani, maka disebut tariq al-Azraq ‘an Warsy, atau riwayat Warsy min thariq al-Azraq. Bisa juga disebut dengan qira’at Nafi’ min riwayati Warsy min tariq al-Azraq.[2]

B.  Sejarah Perkembangan Qiraat      
Pembahasan tentang sejarah dan perkembangan ilmu qira’at ini dimulai dengan adanya perbedaan pendapat tentang  waktu mulai diturunkannya qira’at. Ada dua pendapat tentang hal ini;
Pertama, qira’at mulai diturunkan di Makkah bersamaan dengan turunnya al-Qur’an. Alasannya adalah bahwa sebagian besar surat-surat al-Qur’an adalah Makkiyah di mana terdapat juga di dalamnya qira’at sebagaimana yang terdapat pada surat-surat Madaniyah. Hal ini menunjukkan bahwa qira’at itu sudah mulai diturunkan sejak di Makkah.
Kedua, qira’at mulai diturunkan di Madinah sesudah peristiwa Hijrah, dimana orang-orang yang masuk Islam sudah banyak dan saling berbeda ungkapan bahasa Arab dan dialeknya. Pendapat ini dikuatkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya, demikian juga Ibn Jarir al-Tabari dalam kitab tafsirnya. Hadis yang panjang tersebut menunjukkan tentang waktu dibolehkannya membaca al-Qur’an dengan tujuh huruf adalah sesudah Hijrah, sebab sumber air Bani Gaffar – yang disebutkan dalam hadis tersebut--terletak di dekat kota Madinah.
            Kuatnya pendapat yang kedua ini tidak berarti menolak membaca surat-surat yang diturunkan di Makkah dalam tujuh huruf, karena ada hadis yang menceritakan tentang adanya perselisihan dalam bacaan surat al-Furqan yang termasuk dalam surat Makkiyah, jadi jelas bahwa dalam surat-surat Makkiyah juga dalam tujuh huruf.
            Ketika mushaf disalin pada masa Usman bin Affan, tulisannya sengaja tidak diberi titik dan harakat, sehingga kalimat-kalimatnya dapat menampung lebih dari satu qira’at yang berbeda. Jika tidak bisa dicakup oleh satu kalimat, maka ditulis pada mushaf yang lain. Demikian seterusnya, sehingga mushaf Usmani mencakup ahruf sab’ah dan berbagai qira’at yang ada.
            Periwayatan dan Talaqqi (si guru membaca dan murid mengikuti bacaan tersebut) dari orang-orang yang tsiqoh dan dipercaya merupakan kunci utama pengambilan qira’at al-Qur’an secara benar dan tepat sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW kepada para sahabatnya. Para sahabat berbeda-beda ketika menerima qira’at dari Rasulullah. Ketika Usman mengirimkan mushaf-mushaf ke berbagai kota Islam, beliau menyertakan  orang yang sesuai qiraatnya dengan mushaf tersebut. Qira’at orang-orang ini berbeda-beda satu sama lain, sebagaimana mereka mengambil qira’at dari  sahabat yang berbeda pula, sedangkan sahabat juga berbeda-beda  dalam mengambil qira’at dari Rasulullah SAW.
            Dapat disebutkan di sini para Sahabat ahli qira’at, antara lain adalah : Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab,  Zaid bin Tsabit, Ibn Mas’ud, Abu al-Darda’, dan Abu Musa al-‘Asy’ari.
            Para sahabat kemudian menyebar ke seluruh pelosok negeri Islam dengan membawa qira’at masing-masing. Hal ini menyebabkan berbeda-beda juga ketika Tabi’in mengambil qira’at dari para Sahabat. Demikian halnya dengan Tabiut-tabi’in yang berbeda-beda dalam mengambil qira’at dari para Tabi’in.
            Ahli-ahli qira’at di kalangan Tabi’in juga telah menyebar di berbagai kota. Para Tabi’in ahli qira’at yang tinggal di Madinah antara lain : Ibn al-Musayyab, ‘Urwah, Salim, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman dan’Ata’ (keduanya putra Yasar), Muadz bin Harits yang terkenal dengan Mu’ad al-Qari’, Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj, Ibn Syihab al-Zuhri, Muslim bin Jundab dan Zaid bin Aslam.
            Yang tinggal di Makkah, yaitu: ‘Ubaid bin’Umair, ‘Ata’ bin Abu Rabah, Tawus, Mujahid, ‘Ikrimah dan Ibn Abu Malikah.
Tabi’in yang tinggal di Kufah, ialah : ‘Alqamah, al-Aswad, Maruq, ‘Ubaidah, ‘Amr bin Surahbil, al-Haris bin Qais,’Amr bin Maimun, Abu Abdurrahman al-Sulami, Said bin Jabir, al-Nakha’i dan al-Sya'bi.
            Sementara Tabi’in yang tinggal di Basrah , adalah Abu ‘Aliyah, Abu Raja’, Nasr bin ‘Asim, Yahya bin Ya’mar, al-Hasan, Ibn Sirin dan Qatadah.
Sedangkan Tabi’in yang tinggal di Syam adalah : al-Mugirah bin Abu Syihab al-Makhzumi dan Khalid bin Sa’d.
            Keadaan ini terus berlangsung sehingga muncul para imam qiraat yang termasyhur, yang mengkhususkan diri dalam qira’at – qira’at tertentu dan mengajarkan qira’at mereka masing-masing.
            Perkembangan selanjutnya ditandai dengan munculnya masa pembukuan qira’at. Para ahli sejarah menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qira’at  adalah Imam Abu Ubaid al-Qasim bin Salam yang wafat pada tahun 224 H. Ia menulis kitab yang diberi nama al-Qira’at yang menghimpun qiraat dari 25 orang perawi. Pendapat lain menyatakan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qiraat adalah Husain bin Usman bin Tsabit al-Baghdadi al-Dharir yang wafat pada tahun 378 H.  Dengan demikian mulai saat itu qira’at menjadi ilmu tersendiri dalam ‘Ulum al-Qur’an.
            Menurut Sya’ban Muhammad Ismail, kedua pendapat itu dapat dikompromikan. Orang yang pertama kali menulis masalah qiraat dalam bentuk prosa adalah al-Qasim bin Salam, dan orang yang pertama kali menullis tentang qira’at sab’ah dalam bentuk puisi adalah Husain bin Usman al-Baghdadi.
            Pada penghujung Abad ke III Hijriyah, Ibn Mujahid menyusun qira’at Sab’ah dalam kitabnya Kitab al-Sab’ah. Dia hanya memasukkan para imam qiraat yang terkenal siqat dan amanah serta panjang pengabdiannya dalam mengajarkan al-Qur’an, yang berjumlah tujuh orang. Tentunya masih banyak imam qira’at yanng lain yang dapat dimasukkan dalam kitabnya.
            Ibn Mujahid menamakan kitabnya dengan Kitab al-Sab’ah hanyalah secara kebetulan, tanpa ada maksud tertentu. Setelah munculnya kitab ini, orang-orang awam menyangka bahwa yang dimaksud dengan ahruf sab’ah  adalah qira’at sab’ah oleh Ibn Mujahid ini. Padahal masih banyak lagi imam qira’at lain yang kadar kemampuannya setara  dengan tujuh imam qira’at dalam kitab Ibn Mujahid
            Abu al-Abbas bin Ammar mengecam Ibn Mujahid karena telah mengumpulkan qira’at sab’ah. Menurutnya Ibn Mujahid telah melakukan hal yang tidak selayaknya dilakukan, yang mengaburkan pengertian orang awam bahwa Qiraat Sab’ah itu adalah ahruf sab’ah seperti dalam hadis Nabi itu. Dia juga menyatakan, tentunya akan lebih baik jika Ibn Mujahid mau mengurangi atau menambah jumlahnya dari tujuh, agar tidak terjadi syubhat.
            Banyak sekali kitab-kitab qiraat yang ditulis para ulama setelah Kitab Sab’ah ini. Yang paling terkenal diantaranya adalah :  al-Taysir fi al-Qiraat al-Sab’i yang diisusun oleh Abu Amr al-Dani, Matan al-Syatibiyah fi Qira’at al-Sab’i karya Imam al-Syatibi, al-Nasyr fi Qira’at al-‘Asyr karya Ibn al-Jazari dan Itaf Fudala’ al-Basyar fi al-Qira’at al-Arba’ah ‘Asyara karya Imam al-Dimyati al-Banna.  Masih banyak lagi kitab-kitab lain tentang qira’at yang membahas qiraat dari berbagai segi secara luas, hingga saat ini.[3]


C. Syarat-syarat Sahnya Qiraat
Para ulama menetapkan tiga syarat sah dan diterimanya qiraat. yaitu :
1. Sesuai dengan salah satu kaidah bahasa Arab.
2. Sesuai dengan tulisan pada salah satu mushaf Usmani, walaupun hanya tersirat.
3. Shahih sanadnya.
            Yang dimaksud dengan “sesuai dengan salah satu kaidah bahasa Arab“ ialah: tidak menyalahi salah satu segi dari segi-segi  qawa’id bahasa Arab, baik bahasa Arab yang paling fasih ataupun sekedar fasih, atau berbeda sedikit tetapi tidak mempengaruhi maknanya. Yang lebih dijadikan pegangan adalah qiraat yang telah tersebar secara luas dan diterima para imam dengan sanad yang shahih.
            Sementara yang dimaksud dengan “sesuai dengan salah satu tulisan pada mushaf Usmani” adalah sesuainya qiraat itu dengan tulisan pada salah satu mushaf yang ditulis oleh panitia yang dibentuk oleh Usman bin ‘Affan dan dikirimkannya ke kota-kota besar Islam pada masa itu.
            Mengenai maksud dari “shahih sanadnya” ini ulama berbeda pendapat. Sebagian menganggap cukup dengan shahih saja, sebagian yang lain mensyaratkan harus mutawatir.
            Syaikh Makki bin Abu Talib al-Qaisi menyatakan : “Qiraat shahih adalah qiraat yang shahih sanadnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW, ungkapan kalimatnya sempurna menurut kaedah tata bahasa Arab dan sesuai dengan tulisan pada salah satu mushaf Usmani.” Pendapat ini diikuti oleh Ibnl Jazari, sebagaimana disebutkan dalam kitabnya Tayyibatun Nasyar fi al-Qira’at al-‘Asyar..
            Menurut Sya’ban Muhammad Ismail, mengutip pendapat al-Shafaaqasi, pendapat ini lemah karena membawa akibat tidak adanya perbedaan antara al-Qur’an dengan yang bukan al-Qur’an.
            Akan tetapi pada kesempatan lain, Ibnl Jazari mensyaratkan mutawatir untuk diterimanya qiraat yang shahih, seperti disebutkan pada kitabnya Munjid al-Muqriin wa Mursyid al-Talibin.  Jadi, mungkin yang dimaksud dengan “shahih sanadnya” oleh Ibnl Jazari di sini adalah Mutawatir.
            Menurut Imam al-Nuwairi : “ Meniadakan syarat mutawatir adalah pendapat yang baru, bertentangan dengan ijma’ para ahli fiqih, ahli hadis dan yang lain-lain. Sebab al-Qur’an menurut jumhur ulama empat mazhab yang terkemuka adalah kalamullah yang diriwayatkan  secara mutawatir dan dituliskan pada mushaf. Semua orang yang memegang definisi ini pasti mensyaratkan mutawatir, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn Hajib. Dengan demikian, menurut para imam dan pemuka mazhab yang empat, syarat mutawatir itu merupakan keharusan. Banyak orang yang secara jelas menerangkan pendapat ini seperti Abu Abdul Barr, al-Azra’i, Ibn ‘Athiyah, al-Zarkasyi dan al-Asnawi. Pendapat yang mensyaratkan mutawatir inipun telah menjadi ijma’ para ahli qiraat. Tidak ada ulama mutaakhirin yang tidak sependapat kecuali al-Makki dan beberapa orang lainnya.”[4]






























BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan tentang qiraat di atas dapat diambil beberapa kesimpulan, sebagai berikut :
Qira-at ialah salah satu cara membaca Alqur’an yang selaras dengan kaidah bahasa Arab, dan sanadnya mutawatir serta cocok dengan salah satu dari beberapa mushaf Utsman.
Syarat-syarat Sahnya Qiraat
1. Sesuai dengan salah satu kaidah bahasa Arab.
2. Sesuai dengan tulisan pada salah satu mushaf Usmani.
3. Shahih sanadnya.
B.Saran-Saran
Dengan selesainya makalah ini tentunya masih banyak yang kurang di dalamnyai maka dari itu kami mengharapkan kritikan dan saran yang sifatnya membangun dari Bapak  dosen yang membawakan mata kuliah ini.
            Selanjutnya selaku Penyusun makalah ini kami hanya memberikan himbauan khususnya kepada teman-teman mahasiswa karena seperti yang kita ketahui bahwa mahasiswa “agent social of change dan agent social of control”, maka untuk mengaplikasikannya itu maka kita dituntut untuk mengadakan inovasi dan tidak lupa kita harus membenahi diri kekurangan yang ada untuk menuju kesempurnaan.
















DAFTAR PUSTAKA


Al-Qattan, Manna Khalil.2001. Mabahis Fi Ulumil Qur’an.Jakarta. Al-hidayah.
Abdul, Djalal.1998. Ulumul Quran.Surabaya. Dunia Ilmu





[1] Abdul Djalal,.Ulumul Qur’an, Surabaya, Dunia Ilmu, 1998, halaman 327
[2]Manna Khalil Al-qattan,jakarta, Studi Ilmu-ilmu Quran,2001, halaman 247
[3] Abdul Djalal, opcit.,hlm 330
[4] Ibid.,hlm 332

No comments:

Post a Comment